Hari Pahlawan

Kritik Megawati, ARCB Sebut Bangsa Besar Bukan yang Hidup dari Luka Tapi Penghormatan

Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB) Wahyu Irawan menilai penolakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri

Istimewa
KRITIK MEGAWATI - Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB) Wahyu Irawan menilai penolakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, mencerminkan cara pandang yang terlalu personal terhadap sejarah bangsa. Menurut Wahyu, bangsa besar seharusnya tidak hidup dari luka masa lalu, melainkan tumbuh melalui penghormatan terhadap jasa para pemimpinnya. 
Ringkasan Berita:
  • Koordinator ARCB Wahyu Irawan menilai penolakan Megawati terhadap gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto terlalu personal dan mencerminkan bangsa yang belum berdamai dengan masa lalu.
  • Wahyu menilai jasa Soeharto dalam pembangunan dan stabilitas nasional tak bisa dihapus karena perbedaan politik.
  • Sebaliknya, politisi PDIP Guntur Romli mengecam wacana itu karena Soeharto dinilai terlibat korupsi Rp4,4 triliun dan pelanggaran HAM berat.

 

WARTAKOTALIVE.COM -- Koordinator Aliansi Rakyat Cirebon Bersatu (ARCB) Wahyu Irawan menilai penolakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, mencerminkan cara pandang yang terlalu personal terhadap sejarah bangsa. 

Menurut Wahyu, bangsa besar seharusnya tidak hidup dari luka masa lalu, melainkan tumbuh melalui penghormatan terhadap jasa para pemimpinnya.

“Kalau setiap luka pribadi dijadikan ukuran dalam menilai sejarah, maka bangsa ini akan terjebak dalam ruang dendam yang tidak ada ujungnya. Indonesia tidak dibangun oleh satu keluarga, tapi oleh banyak tangan dan pengorbanan," kata Wahyu kepada wartawan, Sabtu, 8 November 2025.

Pernyataan Megawati sebelumnya disampaikan dalam seminar internasional memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar.

Ia menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dengan alasan adanya luka sejarah keluarga, terutama terkait masa-masa akhir kepemimpinan Soekarno.

Wahyu menilai, alasan tersebut justru berpotensi mengaburkan esensi kepahlawanan yang bersifat nasional. 

“Luka pribadi seharusnya disembuhkan, bukan diwariskan. Kalau bangsa ini terus memelihara luka, kapan kita belajar berdamai dengan sejarah?” ujarnya. 

Baca juga: Soeharto Wajib Ganti Rugi Rp 4,4 Trilun dan Otak 12 Pembantaian Massal, Guntur: Dijadikan Pahlawan? 

Menurutnya, jasa Soeharto terhadap pembangunan bangsa tidak bisa dihapus begitu saja oleh perbedaan tafsir politik.

Ia mengingatkan, selama lebih dari tiga dekade, Soeharto berhasil menjaga stabilitas nasional, menumbuhkan ekonomi rakyat, dan memperkuat pertahanan negara.  

"Pak Harto punya catatan panjang dalam pembangunan dan diplomasi. Kita bisa berdebat tentang kekurangannya, tapi menutup mata terhadap jasanya itu bentuk ketidakadilan sejarah,” katanya.

Wahyu menambahkan, Indonesia membutuhkan keteladanan untuk berdamai dengan masa lalu, bukan terus-menerus terjebak dalam narasi luka.

“Kita sering dengar partai bicara tentang perdamaian, tapi jika perdamaian dimulai dengan menolak pengakuan atas jasa, bukankah itu paradoks?” tuturnya.

Ia juga menyindir kecenderungan sebagian elit politik yang masih melihat sejarah sebagai milik keluarga, bukan bangsa.

“Sejarah bukan album keluarga, apalagi tempat menyimpan sakit hati. Sejarah adalah cermin bangsa untuk menatap masa depan,” kata Wahyu.

ARCB, kata Wahyu, mendorong pemerintah untuk segera mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto sebagai bentuk penghormatan atas jasa kepemimpinannya. 

“Kami di Cirebon masih merasakan hasil nyata dari kebijakan Orde Baru, mulai dari pertanian, pendidikan, hingga infrastruktur. Itu bagian dari sejarah pembangunan yang tak bisa dihapus hanya karena perasaan,” ujarnya.

Wahyu mengajak seluruh pihak untuk menempatkan sejarah secara proporsional.

“Bangsa besar bukan yang hidup dari luka, tapi dari penghormatan terhadap mereka yang telah berjuang. Mengakui jasa Soeharto bukan berarti melupakan Soekarno, justru itu cara terbaik untuk menjaga keseimbangan sejarah Indonesia,” pungkasnya.

Korupsi dan Pembantaian Massal

Sementara Politisi PDI Perjuangan Mohamad Guntur Romli mengaku semakin tidak mengerti dengan negara ini dan sejumlah pihak yang mendukung Presiden ke 2 RI Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional.

Sebab kata Guntur banyak sekali kejahatan Soeharto di era Orde Baru yang menyakiti hati rakyat.

Mulai dari mencuri uang rakyat atau korupsi sampai dengan pembantaian massal dan penghilangan aktivis demokrasi.

Hal itu dikatakan Romli lewat akun X nya @GunRomli.

"Aku kok ngelihat negara ini semakin aneh ya, semakin gak ngerti ya. Orang seperti Soeharto dan ahli warisnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Agung harus membayar ganti rugi Rp 4,4 Triliun ke negara karena terbukti korupsi lewat Yayasan Super Semar, kok malah mau dikasih gelar Pahlawan.Pahlawan nasional lagi," kata Romli dalam video di akun X-nya.

Menurut Romli, korupsi itu baru dari satu yayasan milik Soeharto.

"Padahal Soeharto dan keluarganya punya ratusan yayasan. Gimana dengan yayasan-yayasan lainnya. Lah sudah terbukti nyuri duit negara. Tapi kok malah mau dikasih gelar Pahlawan?" kecam Romli.

Kemudian kata Guntur pada zaman Jokowi tahun 2023 sudah ditetapkan ada 12  pelanggaran HAM berat yang dilakukan Soeharto.

"Dari peristiwa 65, pembantaian Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, penghilangan paksa para aktivis, pembantaian dukun santet tapi sebenarnya bukan dukun santet tapi kyai-kyai yang ada di Banyuwangi total korbannya ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia," katanya.

Menurut Guntur, semua peristiwa itu yang bertanggung jawab adalah Soeharto.  

"Tapi kok malah mau diberi gelar pahlawan? Jadi orang yang membunuh rakyatnya sendiri, ratusan ribu hingga jutaan itu mau dikasih gelar pahlawan?' tanya Guntur.

Baca juga: Forum Pemuda Islam Minta Megawati Dewasa dalam Berpolitik Karena Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Guntur mengatakan lalu bagaimana mahasiswa dan masyarakat yang menggulingkan Soeharto pada tahun 98.

"Apakah mereka menjadi penghianat, penjahat, karena orang yang diturunkan oleh mereka yakni Soeharto menjadi pahlawan," katanya.

"Jadi aku semakin gak mengerti dengan negara ini, semakin aneh. Pencuri duit negara, pembantai rakyatnya sendiri, kok malah mau diberi gelar pahlawan?" kata Romli.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News dan WhatsApp

 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved