Aksi Terorisme

Sarankan Ada Reward Bagi Aparat yang Tumpas Teroris MIT, Neta S Pane: Jangan Kosong-kosong Bae

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ali Kalora, pimpinan Kelompok teroris MIT.

WARTAKOTALIVE, SEMANGGI - Sudah seminggu kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora yang membunuh empat warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dan membakar enam rumah serta satu gereja, belum bisa ditangkap polisi.

Padahal, jumlah teroris Poso itu hanya sekitar 20 orang.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, setelah melakukan aksi teror, kelompok Ali Kalora kembali bersembunyi di hutan lebat Sulteng.

Baca juga: DAFTAR Terbaru 50 Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Jawa Tengah Mendominasi, DIY Sumbang Dua

"Sementara aparatur kepolisian yang ditugaskan memburu tidak berpengalaman di 'medan tempur hutan belantara'," kata Neta kepada Wartakotalive, Kamis (3/12/2020).

Menurut Neta, medan tempur ada tiga kategori, yakni hutan, gunung, dan perkotaan.

"Masing-masing medan berbeda situasi dan karakteristiknya."

Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Melonjak 52 Orang, Paling Banyak di Kecamatan Cileungsi

"Sehingga strategi, stamina fisik personel, mental, dan peralatan yang harus dimiliki aparat juga harus berbeda," tuturnya.

Personel kepolisian yang tidak punya pengalaman di medan hutan, menurutnya, pasti takut masuk hutan memburu Ali Kalora cs.

"Mereka hanya berada di luar hutan hingga waktu penempatannya di Poso berakhir, dan akhirnya pulang ke Jawa."

Baca juga: Anies-Ariza Tetap Pimpin Ibu Kota Meski Positif Covid-19, Minta Jajaran Pemprov Giat Layani Warga

"Akibatnya, Ali Kalora cs yang 20 orang itu tidak akan pernah tertangkap."

"Sejak 2016 mereka bebas menebar teror di Sulteng," ujarnya.

Untuk itu, menurut Neta, Mabes Polri perlu mengonsolidasikan Brimob dan TNI yang memang punya pengalaman di Medan tempur hutan, untuk memburu teroris MTI.

Baca juga: Pengesahan APBD DKI 2021 Ditargetkan Tepat Waktu Meski Anies-Ariza Terpapar Covid-19

"Densus 88 sekali pun tidak punya pengalaman di medan tempur hutan."

"Mereka hanya piawai di perkotaan," ucapnya.

Syarat lain yang harus dipenuhi Mabes Polri, tambahnya, adalah biaya operasional harus memadai dan tidak dipotong oknum pimpinan.

Baca juga: DAFTAR Terbaru 15 Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Cuma Ada di Papua dan NTT

"Begitu juga insentif bisa diperoleh utuh untuk ditinggal di rumah, peralatannya dipenuhi agar memadai."

"Dan ada reward yang jelas ketika mereka berhasil menghabisi kelompok MTI."

"Misalnya bisa mengikuti pendidikan atau memegang posisi jabatan."

Baca juga: Buru Teroris MIT, Kapolri Perintahkan Kapolda Sulteng Berkantor di Poso, Foto Wajah 11 Buron Disebar

"'Jangan kosong kosong bae', sementara mereka harus menyambung nyawa di hutan," papar Neta.

Jika tidak ada jaminan soal keempat hal itu, katanya, jangan harap Ali Kalora cs bisa 'dihabisi'.

"Strategi inilah yang perlu diperhatikan, sehingga Mabes Polri tidak hanya sekadar 'perintah kosong'."

Baca juga: Mau Diperiksa Sebagai Tersangka Kasus Dugaan Makar, Eggi Sudjana Minta Kapolda Balas Suratnya Dulu

"Sementara mereka melihat teman-temannya yang bertugas di belakang meja, di kota-kota di Jawa bisa sekolah dan gampang dapat jabatan empuk," ucapnya.

Padahal, kasus Sigi, menurut Neta, semakin menunjukkan kelompok radikal dan garis keras keagamaan yang bersekutu dengan terorisme, makin bercokol kuat di Indonesia.

"Sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk membuat teror yang menakutkan masyarakat."

Baca juga: Timbulkan Kerumunan Manusia di Masa Pandemi Covid-19, Rizieq Shihab Minta Maaf

"Untuk itu Polri perlu bekerja cepat dan membuat strategi taktis untuk menangkap dan membongkar jaringan MTI di hutan maupun di luar hutan Sulteng," paparnya.

Sebab, apa yang mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai tempat.

"Untuk itu, Mabes Polri perlu mewaspadai akan munculnya aksi terorisme di Indonesia menjelang akhir tahun ini."

Baca juga: 48 Tahanan Bareskrim yang Sempat Positif Covid-19 Sudah Sembuh, Kini Kembali ke Sel

"Dengan maraknya aksi kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir-akhir ini."

"Telah membuat kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali beraksi secara masif," bebernya.

Dari pendataan IPW, tambah Neta, simpatisan ormas yang sering melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme.

Baca juga: Kasus Covid-19 di Jakarta dan Jawa Tengah Melonjak, Pilihan Terapkan PSBB Total Lagi di Tangan Pemda

Pada tahun 2017 jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan lainnya.

Beberapa di antaranya sempat ditahan di Nusakambangan, Gunung Sindur Bogor, dan lapas lainnya.

"Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak keberadaannya," katanya.

Baca juga: Antarkan Surat Kedua Panggilan untuk Rizieq Shihab, Polisi Disuruh Tunggu 30 Menit oleh Laskar FPI

Neta mengatakan, keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari menyembunyikan buronan terorisme, hingga melakukan aksi teror itu sendiri.

Dikhawatirkan dengan meluasnya aksi-aksi kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini, membuat mereka kembali bermanuver dan melakukan aksi teror.

"Saat ini jumlah narapidana terorisme yang tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang."

Baca juga: JADWAL Terbaru Cuti Bersama Natal dan Tahun Baru Setelah Dikurangi 3 Hari, Tak Ada Libur Pengganti

"Napi terorisme yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui program deradikalisasi."

"Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya memang perlu diwaspadai, agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror kembali," papar Neta.

Kabaintelkam Polri, imbuh Neta, perlu bekerja ekstra keras mencermati hal ini, agar jajaran kepolisian tidak kecolongan.

Baca juga: Aparat Polresta Bogor Kota Bekuk 21 Pengedar Narkoba Sepanjang November 2020, Terbanyak Lewat Online

Sebab, dalam kerumunan massa akhir akhir ini, terutama menjelang kedatangan Rizieq Shihab, Baintelkam Polri seperti kecolongan karena tidak membuat pemetaan komprehensif, seperti apa antisipasi yang perlu dilakukan Polri.

Aksi aksi kerumunan massa seperti terbiarkan dan tidak terantisipasi oleh Baintelkam, sehingga tidak hanya melanggar protokol kesehatan.

Tapi, aksi kerumunan massa itu sempat mengganggu jadwal penerbangan di Bandara Soetta dan kemacetan para di berbagai tempat.

"Menjelang akhir tahun ini Baintelkam Polri perlu memetakan situasi dan kondisi yang ada, sehingga situasi Kamtibmas benar-benar terkendali," ulasnya. (*)

Berita Terkini