Demonstrasi

Dianggap Tak Rasional, Buruh Minta Program Tapera Dibatalkan: Buat DP Rumah Saja Tak Cukup

Menurut Said Iqbal, program Tapera juga sangat tidak rasional jika dihitung berdasarkan nilai duit yang dipotong dari pekerja dan perusahaan.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota/Yulianto
Sejumlah buruh yang tergabung dari Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (6//6/2024). Dalam aksi tersebut mereka menolak Pemerintah Pusat terkait PP Tapera, Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, KRIS BPJS Kesehatan, Omnibuslaw Cipta Kerja dan meminta menghapus OutSourching Tolak Upah Murah. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Ribuan buruh menolak keras kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) lewat potongan gaji sebesar 2,5 persen, dan perusahaan 0,5 persen.

Penolakan buruh itu bukan tanpa alasan, tapi berkaca pada kasus dugaan korupsi pengelolaan duit di Perum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dan Asuransi Jiwasraya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mempertanyakan, lokasi hunian perumahan yang dijanjikan pemerintah.

Jika berkaca pada masa lalu di era 1980-an dan 1990-an, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan hunian terlebih dahulu melalui Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas).

"Sekarang pertanyaannya iuran sudah dipotong terus rumahnya di mana? Dulu tahun tahun 80-90, seorang PNS, prajurit TNI-Polri begitu dia dipotong iuran rumah, dia sudah tahu, oh rumahnya di Perumnas 1, Perumnas 2, Perumnas 3, di Bekasi, di Depok, Tangerang, di Jakarta Perumnas Pondok Kopi," kata Iqbal pada Kamis (6/6/2024).

Iqbal menuding, pemerintah memang tidak berniat memberikan rumah untuk rakyatnya.

Hal ini dapat dilihat dari pihak yang mengeluarkan iuran, yakni hanya pekerja dan perusahaan, sedangkan pemerintah justru bertugas mengelola duitnya.

"Hari ini coba kalian tanya sama BP Tapera dan Menteri-Menteri itu rumahnya di mana, programnya dijalankan upahnya dipotong. Pertanyaannya sederhana tanya dulu rumahnya di mana. Memang niatnya nggak mau ngasih rumah kok, hanya mau motong uang masyarakat, kami menolak terhadap program Tapera, cabut PP Nomor 21 Tahun 2024," tegas Iqbal.

Menurut dia, program Tapera juga sangat tidak rasional jika dihitung berdasarkan nilai duit yang dipotong dari pekerja dan perusahaan.

Dengan rata-rata upah Rp 3,5 juta per bulan, kata Iqbal, potongan untuk Tapera sebesar Rp 105.000 per bulan.

Jika dikali selama 12 bulan atau setahun, duit yang terkumpul hanya Rp 12,6 juta. Sementara jika tabungannya mencapai 20 tahun, totalnya Rp 25,2 juta.

"Mana ada rumah harganya Rp 12,6 juta sampai Rp 25,2 juta, bahkan sekadar untuk mendapatkan uang muka rumah itu tidak mungkin cukup, jadi Tapera didesain hanya untuk tidak punya rumah, pertanyaan nya, uang iuran ini dikumpulkan untuk apa?" ucap Iqbal.

"Pemerintah harus menjelaskan apa tujuan dari pengumpulan iuran Tapera ini, bukan dengan sombongnya tidak akan dibatalkan. Kalau memang tidak dibatalkan, uang ini untuk apa? kalau untuk uang muka 10 tahun saja nggak cukup kok, apalagi memiliki rumah," lanjut Iqbal.

Dia menjelaskan, setiap bulan para buruh harus mengikhlaskan dengan berbagai potongan dari gaji yang diperoleh. Rinciannya, potongan jaminan pensiun 1 persen, jaminan kesehatan 1 persen, PPh 21 pajak 5 persen, jaminan hari tua 2 persen dan lain-lain, hingga totalnya menjadi 12 persen sebulan.

Total potongan ini, lanjut dia, akan diperparah dengan adanya Tapera sebesar 2,5 persen oleh buruh atau pekerja. Jika kebijakan ini diberlakukan, karyawan hanya membawa bukti atau slip pembayaran gaji yang diterima dari perusahaan.

"Ini memberatkan di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen akibat upah naik 1,58 persen, sedangkan inflasi 8 persen ditambah lagi Tapera 2,5 persen. Oleh karena ini kami meminta pemerintah mencabut PP 21 tentang Tapera dan terkahir kalau dia dikelola oleh pemerintah padahal uangnya rakyat, pertanyaannya ada jaminan nggak bakal dikorupsi?," ucapnya.

"Asabri dikorupsi besar-besaran, Taspen korupsi besar-besaran, itu dikelola oleh pemerintah oleh para menteri yang bertanggung jawab, buktinya diorupsi. Kami masyarakat sipil khususnya buruh, tidak rela uang ini dikorupsi," sambungnya. 

Penjelasan pemerintah

Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) menjadi buah bibir masyarakat lantaran dianggap memberatkan. 

Pasalnya, program tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), tetapi pekerja swasta juga terkena getahnya.

Di mana nantinya, gaji pekerja akan dipotong 3 persen untuk program Tapera sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 Tahun 2024. 2,5?rasal dari pekerja dan 0,5?ri pemberi kerja.

Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Moeldoko, yakin Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak akan bernasib sama seperti Asabri.

Pasalnya, kata Moeldoko, pemerintah telah membangun sistem pengawasan pengelolaan keuangan untuk menjamin dana dikelola dengan baik, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan Tapera.

Baca juga: Moeldoko Tegaskan Tapera Wajib, Karyawan yang Sudah Punya Rumah Bisa Ambil Cash saat Pensiun

Moeldoko menjelaskan Tapera akan diawasi melalui Komite Tapera yang diketuai Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono.

"Pengawasan salah satunya melalui Komite Tapera yang akan melakukan pengawasan pengelolaan Tapera, ketuanya adalah Menteri PUPR, dengan anggota Menteri keuangan, Menaker, OJK dan profesional," kata Moeldoko dilansir dari Kompas.tv, Jumat (31/5/2024).

"Nah ini akan saya sampaikan kepada teman-teman, jangan sampai terjadi seperti Asabri. Asabri waktu saya menjadi panglima TNI, saya nyentuh saja gak bisa, nempatkan orang aja gak bisa, akhirya saya jengkel, saya undang orang, waktu itu pak Adang, Pak dateng ke sini, tolong saya minta dipresentasikan. Ini uang prajurit saya, masa saya gak tahu gimana sih," lanjut Moeldoko.

Menurutnya, pembentukan Komite Tapera akan membuat pengelolaannya lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Bayangkan Panglima TNI punya anggota 500.000 prajurit gak boleh nyentuh Asabri, akhirnya kejadian seperti kemarin, saya gak ngerti. Nah dengan dibentuknya komite ini saya yakin pengelolaanya akan lebih transparan, akuntabel tidak bisa macem-macem, karena semua bentuk-bentuk investasi akan dijalankan akan pasti dikontrol dengan baik, minimum oleh para komite dan secara umum oleh OJK," tutur Moeldoko.

Moeldoko berharap masyarakat memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk bekerja memikirkan cara yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat.

"Kedepan pemerintah akan menggencarkan komunikasi dan dialog dengan masy dan dunia usaha, kita masih ada waktu sampai tahun 2027," tuturnya.

Sebagai informasi, PT Asabri (Persero) adalah sebuah BUMN yang bergerak di bidang asuransi sosial dan pembayaran pensiun khusus untuk prajurit TNI, anggota Polri, serta ASN yang bekerja di Kementerian Pertahanan RI dan Polri.

Asabri kemudian tersandung kasus korupsi dengan 8 terdakwa yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Asabri Maret 2016 - Juli 2020 Letjen Purn. Sonny Widjaja, Dirut PT Asabri 2012 - Maret 2016 Mayjen Purn. Adam Rachmat Damiri, Dikretur Investasi dan Keuangan PT Asabri Juli 2014 - Agustus 2019 Hari Setianto, Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) Lukman Purnomosidi, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

Tindak pidana korupsi di PT Asabri disebut juga kasus megakorupsi karena nilai kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp 22,7 triliun.

Karyawan makin tergencet

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal memandang bahwa pemerintah sebenarnya punya niat yang bagus melalui program Tapera.

Hanya saja, Faisal mempertanyakan bagaimana sistem manajemen dan kelengapan aturan dalam Tapera itu sendiri.

Pasalnya, potongan tersebut menurut Faisal cukup besar untuk pekerja-pekerja swasta kelas menengah ke bawah yang pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja.

"Apakah kemudian efektif bisa mendorong bagi pemenuhan perumahan bagi karyawan atau bagi pekerja dengan potongan 2,5 persen ?," kata Faisal saat dihubungi Warta Kota, Kamis (30/5/2024).

"Kapan, seperti apa dan efisien atau tidak dari sisi manajemennya itu perlu dipastikan dulu karena yang dikhawatirkan kalau dia tidak efisien, tidak lantas memenuhi tujuan pemenuhan perumahan dengan tepat," imbuhnya.

Oleh karena itu, sistem manajemen dalam program Tapera perlu dibeberkan secara rinci agar terang benderang.

Selain itu, Faisal juga mempertanyakan terkait apakah ada kebijakan pendukung Tapera dalam dalam rangka menjamin perumahan untuk masyarakat atau tidak. 

Misalnya, terkait lahan dan klaim peserta Tapera yang sudah menginvestasikan uangnya kepada negara.

"Jadi bukan hanya dari sisi pembiayaan saja, yang mana itu dibebankan kepada masing-masing pekerja dan juga pemberi kerja dalam konteks ini setengah persen," jelas Faisal.

"Tapi juga ada permasalahan-permasalahan yang lain dalam pemenuhan perumahan yang harus diselesaikan pemerintah yaitu terutama yang salah satu paling besar menurut saya adalah penyediaan lahan," lanjutnya.

Faisal berujuar, pembahasan terkait lahan dalam program Tapera menjadi sangat penting lantaran harga lahan saat ini mengalami pertumbuhan yang cepat.

Akibatnya, ada kemungkinan harga tersebut nantinya susah diimbangi dengan terkumpulnya dana dari Tapera.

"Ya makin lama tetap makin mahal, makin susah terjangkau, walaupun sudah ada Tapera," ungkapnya.

Faisal mengatakan, salah satu solusi yang fundamental terkait lahan adalah pemerintah harus tegas dalam pembatasan kepemilikan lahan kepada para pemilik modal.

Sehingga, lahan itu bisa disisihkan untuk masyarakat yang tingkat ekonomi menengah dan ke bawah.

"Selama ini kepemilikan lahan yang tidak dibatasi ini memberikan peluang atau mendorong kenaikan harga lahan karena para pemilik modal mudah memilih lahan tanpa batas," kata Faisal.

"Sementara yang kalangan tidak manpu makin kesusahan untuk memperoleh lahan walaupun dengan besaran yang sangat kecil, yang sangat sempit," lanjutnya.

Apabila hal itu tidak dialamatkan dengan baik, kata Faisal, program Tapera tersebut belum tentu menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanannya.

Alih-alih menjadi efektif, Faisal justru melihat ada beban ekonomi lain yang ditanggung masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pemotongan upah 2,5 persen itu.

"Karena 2,5?gi kalangan bawah itu besar dari gaji. Karena gajinya sendiri sudah terbatas," kata Faisal.

"Upah ril pekerja itu turun, kontraksi, negatif, artinya daya beli sudah turun, ditambah lagi dengan potongan dari pajak, BPJS, ditambah tapera lagi, jadi akhirnya makin menekan kebutuhan yang basic (dasar) bagi masyarakat itu," pungkasnya.

FITRA tuding pemerintah ambisius

Di sisi lain, Manajer Riset sSekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Badiul Hadi menyebut tidak jelasnya mekanisme aturan Tapera dan sosialisasi yang baik dari pemerintah membuat heboh masyarakat.

"Mekanisme ini saya kira tidak fair (adil) bagi masyarakat. Kemudian pemerintah terlalu ambisius sehingga kebijakan ini tergesa-gesa," ujarnya, Kamis (30/5/2024).

Baca juga: Said Iqbal Apatis Buruh Bisa Beli Rumah Lewat Tapera, Bamsoet: Pemerintah Jangan Memotong Daya Beli

Ia menilai pemerintah tidak melihat kondisi ekonomi yang dialami masyarakat saat ini.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang memajibkan pekerja membayar iuran dinilai menjadi masalah. 

Iuran yang wajib dibayar pekerja mencapai tiga persen, dimana 2.5 persen ditanggung pekerja, sisanya dibayarkan pemberi kerja.

"Sifat wajib ini yang menurut saya akan menjadi persoalan karena gaji akan otomatis kepotong baik yang PNS, BUMN, swasta bahkan pekerja mandiri," katanya.

Baidul Hadi menduga ada permasalahan serius dalam pemerintahan sehingga mewajibkan pekerja membayar iuran Tapera

Ia berujar jika pemerintah berniat menghilangkan tuna wisma, masyarakatpun punya niat sama.

Namun mekanismenya harus adil.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Mandek, Iuran Tapera Disebut Bisa Menimbulkan Kemiskinan Baru

"Jang jadi beban baru bagi masyarakat, apalagi dengan masyarakat dengan penghasilan rendah. Ini akan bertentangan terus dengan prinsip keadilan yang diharapkan masyarakat," katanya.

Baidul mengatakan pemerintah agak ceroboh dalam pengelolaan anggaran publik.

Ia menyinggung kelemahan pemerintah akan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik. Sebagai contoh ia menyebut pengelolaan dana umat naik haji.

Dengan mewajibkan Tapera, kecurigaan mengarah pada ketidakmampuan pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan target-target pembangunan yang ditetapkan.

"Mereka kemudian memilih jalan pintas paling mudah dengan mengumpulkan dana publik. Kalau dilihat mekanismenya mengarah ke sana," ujarnya.

"Jangan kemudian pemerintah terus membebani masyarakat. Mensejahterakannya belum tapi terus membebani," sambungnya.

Ia meminta agar pemerintah lebih dulu memperbaiki mekanisme pengelolaan dana publik, terutama transparansi dan akuntabilitas guna dipercaya masyarakat.

Baca juga: Respon Menteri Basuki Soal Pemotongan Gaji Pekerja untuk Iuran Tapera

Pemerintah pun diminta sadar diri.

"Jangan terus membebani masyarakat atas dasar kesejahteraan sementara pada hakekatnya membebani. Karena banyak pengusaha juga menolak termasuk pekerjanya," katanya.

Penolakan dari masyarakat diduga gegara beban pekerja yang terlalu berat dengan banyaknya pungutan iuran meskipun iuaran tersebut akan kembali ke individu masing-masing.

Namun, UMR yang pas-pasan membuat berat masyarakat.

Ia juga berharap agar pemerintah tidak menganggap enteng hal tersebut.

"Kalau dari sisi kami harus ada mekanisme yang baik dari sisi pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel," ujarnya.

Perwakilan pekerja dari swasta yaitu Deni Zainudin kepada Wartakotalive.com mengatakan tidak setuju dengan kewajiban membayar iuran Tapera.

Menurutnya, gaji yang ia terima akan terpotong banyak untuk iuran.

Selama ini gajinya telah terpotong pada BPJS kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, cicilan rumah dan lainnya.

"Kalau terpotong lagi untuk iuran, habis dong gaji bulanan. Lagi pula saya sudah punya rumah, masa harus bayar lagi. Ini tanpa sosialisasi tau-taunya langsung iuran wajib," katanya.

Hal senada diutarakan pekerja lain bernama Adit Prabowo. Adit merasa iuran tersebut belum tepat dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Menurutnya, perekonomian belum sepenuhnya pulih pasca Covid-19.

"Apalagi saya lagi fokus menabung untuk biaya nikah, uang tersebut bagi saya penting untuk melengkapi target-target yang sudah saya rencanakan. Ini pun saya sudah menghemat loh," tutupnya. 

 

Baca Wartakotalive.com berita lainnya di Google News

Dapatkan informasi lain dari WartaKotaLive.Com

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved