Pemilu 2024

MK Tidak Koreksi Hasil Pilpres 2024, Siap-siap Ada Gerakan Masyarakat Sipil Selamatkan Indonesia

Langkah Mahkamah Konstitusi (MK) apabila tidak mengoreksi proses Pilpres 2024 kemarin, diyakini bakal ada menimbulkan gerakan pada masyarakat sipil.

Istimewa
Langkah Mahkamah Konstitusi (MK) apabila tidak mengoreksi proses Pilpres 2024 kemarin, diyakini bakal ada menimbulkan gerakan pada masyarakat sipil. 

WARTAKOTALIVE.COM JAKARTA - Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto mengatakan, apabila Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengoreksi proses Pilpres 2024 harapan selanjutnya adalah pada masyarakat sipil.

Sejarah membuktikan, bahwa masyarakat sipil menyelamatkan Indonesia dari berbagai peristiwa berat yang pernah ada seperti tragedi 1998 dan kejadian-kejadian sebelumnya. 

"Saya berharap masyarakat tidak berhenti bersuara dan bergandengan tangan, tidak usah sampai bakar-bakaran, tetapi membuat masyarakat melek hukum, melek politik sehingga tahu hak, kewajiban dan bisa memperjuangkannya," ucap Sulistyowati dalam keterangannya, Selasa (26/3/2024).

Dia mengakui, saat ini ada ketidakpercayaan terhadap para hakim di MK di tengah masyarakat yang dipacu oleh putusan MK Nomor 90/2023. 

Putusan itu menjadi 'karpet merah' bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan Prabowo Subianto sekali pun usianya belum memenuhi usia minimal untuk menjadi Capres/Cawapres.

Putusan MK 90/2023 dinilai legal, tetapi tidak memperoleh legitimasi dari publik. 

Dari persprektif antropologi hukum, menurut Sulistyowati, harus dinyatakan tidak berlaku, tapi paradigma hukum tata negara tidak memperbolehkan putusan itu diruntuhkan.

"Kalau saya sebenarnya tidak percaya MK, sama dengan masyarakat. Jadi, berdasarkan sejarah bangsa ini yang menyelamatkan Indonesia dari peristiwa berat adalah masyarakat sipil," jelas dia.

Sulistyowati berharap, MK tidak hanya mempertimbangkan angka (hasi Pilpres 2024) semata dalam membuat putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

Dia menyarankan lembaga yudikatif itu mempertimbangkan temuan-temuan oleh forum pemantau pemilu independen untuk menjadi dasar membuat keputusan.

"Kami tidak tahu apakah mereka akan menjadikan demokrasi sebatas angka atau mereka menghitung prosesnya, kita lihat saja. Saya berharap hakim MK mempunyai pertimbangan untuk memasukkan proses ini," ucap dia.

Baca juga: Hotman Paris Ledek Gugatan Kubu 01 ke MK Super Cengeng, Timnas AMIN: Kami akan Buat Dia Menangis

Kepentingan Politik

Sulistyowati menyebut, penggunaan hukum untuk kepentingan politik sebagai hal yang sangat menyedihkan dan demokrasi di Indonesia tidak matang, lebih pada demokrasi  elektoral dan angka-angka. 

Padahal, mesin demokrasi harus bekerja pada setiap langkah yang dilakukan di lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif. 

Saat Presiden Amerika Serkat (AS) Donald Trump melakulan kesalahan,  Senat langsung bekerja. Di Belanda, ada politikus berkampanye menggunakan politik identitas, mesin demokrasi langsung bekerja. 

"Jadi tidak membiarkan pemimpin yang lalim menggunakan kekuasaan untuk bisa langgeng. Kita itu tidak, sehingga mudah dilakukan rekayasa atas nama demokrasi," jelas dia.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian dan sudah dibukukan, demokrasi bisa dijual dengan bantuan sosial (bansos) dan janji iming-iming.

Sementara, di level rakyat kelas menegah ada yang menerima hasil Pilpres 2024 karena dijanjikan jabatan dan uang. 

"Ini kelas menengah itu harusnya jadi agen perubahan, malah tidak kritikal, jadi yang berjuang sedikit," ucap dia.

Baca juga: Habiburokhman Ledek Kubu 01 dan 03 Miskin Bukti, Timnas AMIN tak Gentar: Kita Adu aja di MK!

Kekuasaan dan Uang

Sulistyowati menyebut, sebagai akademisi sukar menerima tindakan menggunakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan kekuasaan dan uang. 

Hasil penelitian Universitas Oslo Norwegia menyebut otokrasi di Indonesia bisa tumbuh dan berkembang seiring melemahnya masyarakat sipil.

Disebutkan, ada beberapa hal yang melemahkan masyarakat sipil seperti politik gentong babi, kesadaran palsu yang disebarkan ke masyarakat seperti klaim kebenaran karena punya kekuasaan, memobiliasi aparat desa dan aparat keamanan.

Hal-hal itu membuat dia kini berhadapan dengan Presiden Jokowi karena tidak menginginkan Orde Baru kembali berkuasa.(m27)

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved