Viral Media Sosial

Biasanya Berbeda Pandangan, Musni Umar Kini Dukung PDIP Ajukan Hak Angket MK, Ini Alasannya

Biasanya Berbeda Pandangan, Musni Umar Kini Dukung PDIP Ajukan Hak Angket Terhadap MK: Jika Tidak, Diduga Keras MK Tak Adil Terhadap Hasil Pemilu 2024

Editor: Dwi Rizki
Warta Kota/Miftahul Munir
Sosiolog, Musni Umar 

Apabila terbukti benar, tak hanya putusan soal batas usia capres-cawapres yang dibatalkan, paman dari Gibran itu terancam dipecat.

"Di persidangan MKMK kemarin saya berargumen, yang terjadi bukan hanya pelanggaran etika yang telanjang, tapi lebih jauh adalah kejahatan yang terencana dan terorganisir (planned and organized crime)," tulis Denny.

"Karena itu, sanksinya tidak cukup hanya pemecatan kepada Anwar Usman, tapi juga Putusan 90 harus dinyatakan tidak sah, dan jika terbukti ada keterlibatan Istana, maka Presiden Jokowi juga harus bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mendukung ada hak angket atas Mahkamah Keluarga-Gate ini," bebernya.

Postingan Denny Indrayana pun disambut ramai masyarakat.

Beragam pendapat pun dituliskan dalam kolom komentar statusnya.

Diminta Mundur dari Jabatan Ketua MK, Ini Jawaban Paman Gibran

Terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman selesai menjalani pemeriksaan perdana Majelis Kehormatan MK (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam memutus perkara batas usia capres-cawapres, Selasa (31/10/2023).

Setelah pemeriksaan yang berlangsung tak sampai 1,5 jam itu, paman Gibran Rakabuming Raka tersebut ditanya awak media soal alasannya bersikeras ikut mengadili perkara yang akhirnya menguntungkan keponakannya itu.

"Yang menentukan jabatan milik Allah Yang Maha Kuasa," kata Anwar kepada wartawan.

Ia juga tetap merasa tidak perlu mengundurkan diri dalam perkara tersebut walaupun pemohon secara eksplisit menjadikan sosok Gibran sebagai alasan untuk menggugat batas usia capres-cawapres.

Menurut dia, yang dilihat untuk menentukan apakah ada konflik kepentingan atau tidak adalah si pemohon itu sendiri.

"Pemohonnya itu siapa? Kan begitu," ucap Anwar.

Denny Indrayana Tegaskan Putusan Soal Batas Usia Capres Tidak Sah

Sebelumnya, pelapor dugaan etik hakim MK, Denny Indrayana membeberkan argumentasi hukum bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diduga direkayasa oleh konflik kepentingan keluarga Presiden Joko Widodo seharusnya tidak sah.

Ia mengutip Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Di dalam beleid itu, tercantum jelas bahwa hakim yang terlibat konflik kepentingan dapat membuat putusan tidak sah jika ia tidak mundur.

"Lihat Pasal 17 Ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman," kata Denny selaku pelapor dalam sidang pemeriksaan MKMK, Selasa (31/10/2023).

Secara lengkap, ketentuan itu berbunyi:

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Denny berpendapat bahwa beleid itu juga mengikat untuk hakim konstitusi walaupun MK bukan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA).

"Memang ada yang berpandangan bahwa ketentuan tidak sahnya putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (5) dan (6) di atas hanya berlaku untuk Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya tetapi tidak untuk MK," kata dia.

Namun, ia menyoroti, kata 'hakim' di pasal itu ditulis dengan huruf 'h' kecil, bukan 'Hakim' yang dimaksudkan hanya untuk hakim agung dan peradilan di bawahnya.

"Yang artinya, ('hakim' dengan huruf 'h' kecil) artinya generik berlaku untuk semua hakim," ucap Denny yang terhubung secara daring itu.

Denny menuturkan bagaimana prosedur hukum yang dibayangkannya dapat membuat Putusan 90 itu tidak sah.

Pertama, jika Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etika berat, yang bersangkutan dapat dijatuhi pemberhentian tidak dengan hormat.

Kedua, dengan komposisi hakim berbeda, tanpa Anwar Usman, MK menetapkan Putusan 90 tidak sah karena ikut diputus oleh Anwar yang seharusnya mengundurkan diri karena mempunyai benturan kepentingan.

Ketiga, dengan komposisi Hakim yang berbeda tanpa Anwar Usman, MK memeriksa dan memutus ulang perkara nomor 90 itu.

"Pernyataan 'tidak sah' itu lebih tepat dilakukan oleh MK sendiri melalui pemeriksaan kembali perkara yang sama. Pemeriksaan kembali demikian tidak boleh dinyatakan melanggar prinsip nebis in idem," kata dia.

Putusan Soal Batas Usia Cawapres Bisa Dibatalkan

Sementara itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menantang para pelapor untuk meyakinkan mereka, bahwa putusan etik yang mereka terbitkan nanti bisa menjadi dasar untuk mengoreksi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Prinsipnya ini adalah lembaga penegak etik. Kita tidak menilai putusan MK. Tapi kalau Anda ini bisa meyakinkan kami bertiga, dengan pendapat yang rasional, logis, dan masuk akal, bisa diterima akal sehat, why not?" ungkap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Selama ini, perdebatan publik mengenai relevansi MKMK bermuara pada satu topik: apakah lembaga penegak etik itu dapat membatalkan putusan MK, seandainya terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunannya.

Jimly mengakui bahwa hal itu menjadi problem yang harus dijawab MKMK.

Namun, membatalkan putusan MK melalui sebuah putusan etik dinilai sebagai langkah yang dilematis dan, bisa dibilang, sangat berani.

"Harus dibuktikan. Tadi sudah dibuktikan, tapi kami belum rapat. Saya enggak tahu dari kami bertiga ini berapa orang yang sudah yakin, saya kok belum terlalu yakin," ujar Jimly.

Pembuktian yang dimaksud Jimly ada pada penjelasan salah satu pelapor, Denny Indrayana, yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, pada sidang pemeriksaan kemarin pagi.

Dalam bayangan Denny, putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimum capres-cawapres yang kontroversial itu.

Namun, putusan etik MKMK diharapkan bisa menjadi dasar untuk sidang pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu, dengan asumsi Ketua MK Anwar Usman dinyatakan terbukti melanggar etik.

Pemeriksaan ulang perkara nomor 90 itu harus dengan formasi hakim yang baru, otomatis tanpa Anwar Usman karena terlibat pelanggaran etik.

Soal Tafsir Putusan MK Pemeriksaan ulang ini sebagai bentuk koreksi karena proses perumusan putusan sebelumnya terdapat pelanggaran etik.

Simulasi ini persis sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 ayat (5) sampai (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Secara rinci, ketiga ayat tersebut berbunyi: Ayat 5 berbunyi: "Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara;"

Ayat 6 berbunyi:

"Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;"

Ayat 7 berbunyi: "Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda."

Namun, ada dua masalahnya. Pertama, timbul perdebatan apakah aturan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman itu hanya meliputi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung atau juga mencakup MK, walau Denny meyakini yang kedua.

Kedua, Jimly menegaskan, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga seharusnya tertutup ruang untuk koreksi atas putusan MK.

Pendiri MK itu menantang para pelapor untuk bisa meyakinkan dirinya, Bintan R Saragih, dan Wahiduddin Adams, bahwa dalam kasus ini, UU Kekuasaan Kehakiman bisa mengesampingkan UUD 1945.

"Nah, bagaimana itu? Nah, bagaimana (pelapor) meyakinkan kami bahwa undang-undang dasar itu bisa kita langgar. Kan yang mengatur ini Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, lebih rendah dari Undang-Undang Dasar," kata dia.

"Silakan besok itu akan ada lagi ahli-ahli lain berusaha meyakinkan. Bisa saja kita berubah, karena negara sedang berkembang seperti kita ini memerlukan keputusan-keputusan yang progresif, jangan kaku memahami hukum dan konstitusi," jelas Jimly.

Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.

Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023). 

Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 18 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.

MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.

Apa itu Hak Angket?

Hak Angket sendiri merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat.

Termasuk pelaksanaan sebuah aturan yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Syarat dan tahapan hak angket setidaknya harus diusulkan paling sedikit oleh 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi.

Pengusulan hak angket harus disertai dokumen yang memuat materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki serta alasan penyelidikan.

Usulan itu baru menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.

Apa yang membedakan hak interpelasi dan hak angket DPR

Secara sederhana dapat disimpulkan Hak interpelasi dilakukan DPR untuk meminta keterangan, penjelasan, dan pertanggung jawaban politik dari pemerintah.

Sedangkan, hak angket dilakukan DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan kebijakan yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan.

Hak interpelasi hanya meminta pertanggungjawaban pemerintah secara politik.

Sedangkan, hak angket melakukan penyelidikan pada pemerintah mengenai pertanggungjawaban hukum.

Artinya, hak interpelasi tidak bisa digunakan untuk meminta pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran hukum perundang-undangan yang diduga dilakukan oleh pemerintah.

Mengutip Kompas.com, menurut Hananto Widodo dalam jurnal Politik Hukum Hak Interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2012) jika hak interpelasi tidak bisa digunakan, hak angketlah yang dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden.

Hak angket akan digunakan untuk menyelidiki dan mencari bukti-bukti jika benar-benar ada pelanggaran perundang-undangan yang dilakukan pemerintah.

Sedangkan, hak interpelasi digunakan untuk mendapat penjelasan pemerintah dalam rapat paripurna DPR.

Jika penjelasan diterima, maka hak interpelasi selesai. Namun, jika penjelasan tidak diterima maka DPR bisa mengajukan hak lainnya, misalnya hak angket.

Namun, baik hak interpelasi dan juga hak angket, keduanya merupakan bentuk pengawasan DPR terhadap lembaga eksekutif.

Pengawasan dilakukan agar menjaga keseimbangan negara juga memastikan seluruh kebijakan yang diambil pemerintah tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diambil demi kepentingan rakyat. (Fersianus Waku-Tribunnews.com/ Warta Kota)

Baca Berita Warta Kota lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved