Pilpres 2024

Hakim MK Arief Hidayat Kecewa pada Oknum Penguasa: Zaman Soeharto dan SBY aja tak Begini

Hakim MK Arief Hidayat akhirnya berani bicara keadaan Indonesia jelang Pilpres 2024. Prihatin, karena sistem ketatanegaraan dirusak oknum penguasa.

Editor: Valentino Verry
Kompas.com/Rakhmat Nur Hakim
Hakim MK Arief Hidayat akhirnya berani bicara soal keadaan Indonesia. Menurutnya, oknum penguasa telah merusak hukum ketatanegaraan yang ada, lebih parah dari zaman Soeharto dan SBY. 

"Ini tidak pernah terjadi di zaman Soeharto. Bahkan di zamannya Pak SBY belum nampak betul seperti di zaman sekarang," imbuh Arief.

Sebagai informasi, baru-baru ini MK menjadi sorotan usai mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Senin (16/10/2023).

Lewat putusan itu, Mahkamah memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal di pagi hari yang sama, MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Saat memutus perkara tersebut, tampak 4 hakim konstitusi termasuk Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut Arief, adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

Salah satu keganjilannya adalah soal penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.

Bahkan, prosesnya memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Ia mengakui, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

"Hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik manapun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara yang berdasar pada ideologi Pancasila," kata Arief saat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Mahkamah Konstitusi (MK) menanggapi kejahilan netizen yang mengubah nama lokasi MK menjadi Mahkamah Keluarga di Google Maps.

Kepala Subbagian Humas MK Mutia Fria mengaku sudah tahu dengan perubahan nama MK menjadi Mahkamah Keluarga di Google Maps tersebut.

Dikutip dari Kompas.com MK mengaku masih menelusuri perihal ini.

"Kami sudah mengetahui, kami sedang membahas dulu, apa akan kami sikapi nanti setelah pembahasan itu," ujar mutia.

Pada Google Maps terlihat MK yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat berubah namanya menjadi Mahkamah Keluarga.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved