Penganiayaan

Pelaku yang Seret, Tendang, dan Hajar Siswa SMP 2 Cimanggu Tidak Tepat Disebut Lakukan Perundungan

Pelaku yang Seret, Tendang, dan Hajar Siswa SMP 2 Cimanggu Tidak Pantas Disebut Lakukan Perundungan karena peristiwa serius dan kekerasan fisik

Tribun Banyumas
Kolase Wakapolresta Cilacap, AKBP Arif Fajar Satria memberikan keterangan terkait kasus kekerasan fisik yang melibatkan siswa SMP 2 di Cimanggu, Cilacap, Jawa Tengah. Pelaku anak yang berhadapan dengan hukum telah ditangkap untuk dilakukan pemeriksaan. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan tak setuju dengan istilah perundungan atau bullying dalam kasus tersebut. Menurut Reza, kata perundungan tidak mewakili keseriusan peristiwa tersebut 'Kekerasan fisik' atau 'penganiayaan' lebih representatif. 

WARTAKOTALIVE.COM -- MK, seorang siswa pelajar kelas 9 SMPN 2 Cimanggu, Cilacap menganiaya rekannya FF, pelajar kelas 8, secara brutal dan bertubi-tubi hingga korban lemas tak berdaya.

Video penganiayaan yang dilakukan MK atas FF beredar di media sosial dan viral.

Pihak terkait mulai sekolah, dinas pendidikan setempat hingga polisi menyebut ini adalah kasus bullying atau perundungan.

Namun Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan tak setuju dengan istilah perundungan atau bullying dalam kasus tersebut.

Menurut Reza, kata perundungan tidak mewakili keseriusan peristiwa tersebut.

"Kata 'perundungan' itu sepertinya tidak lagi mewakili keseriusan peristiwa. 'Kekerasan fisik' atau 'penganiayaan' lebih representatif," kata Reza kepada Wartakotalive.com, Rabu (27/9/2023).

Baca juga: Ayu Aulia Tidak Mau Lapor Balik, Meski Telah Dipolisikan Abhinaya Terkait Kasus Dugaan Penganiayaan

"Tapi, secara umum, ancaman pidana bagi anak-anak yang melakukan kekerasan fisik, saya khawatirkan tidak cukup menjerakan pelaku," tambah Reza.

Apalagi, kata Reza, ketika kekerasan tersebut dilakukan sebagai respon terhadap anak lain yang notabene sudah melakukan perundungan lebih dulu.

"Lagi-lagi, disamping litigasi, juga dilakukan restorative justice secara simultan," kata Reza.

Lalu apa nilai tambah restorative justice?

"Pertama, pelaku lebih kapok, sehingga tidak menjadi residivis. Kedua, jika korban berharap mendapat restitusi, peluangnya lebih tinggi."

"Ketiga, meredam perluasan konflik, antar keluarga misalnya, dan keempat, biaya proses penyelenggaraan restorative justice lebih rendah ketimbang litigasi," papar Reza.

Baca juga: Divonis 5 Tahun Penjara Terkait Penganiayaan David Ozora, Shane Lukas Ajukan Banding

Sisi lain, menurut Reza, kalau pelaku pindah-pindah sekolah karena melakukan perundungan, maka boleh jadi dia pada dasarnya sudah bisa disebut sebagi residivis.

"Perhitungannya berdasarkan re-offence (pengulangan tindak pidana), bukan re-entry (keluar masuk lapas). Re-offence yang tidak menjadi kasus hukum," Reza.

Sebelumnya, sebuah video viral aksi keji siswa SMP di Cilacap yang tengah menghajar teman.

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved