Konflik Rempang

Pakar Hukum Pertanahan: Sebagian Besar Pulau Rempang adalah Hutan yang Digarap, Bukan Tanah Adat

Tjahjo Arianto menyebut bahwa Pulau Rempang adalah hutan yang digarap oleh masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

Editor: Feryanto Hadi
Tribun Batam
Ilustrasi: Penampakan Lokasi Relokasi Warga Rempang Masih Berupa Hutan dan Belum Rampung 

Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden. "Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian."

Sementara Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Agus pun meminta agar Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.

"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000 an, kemudian banyak yang mencari tanah disana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," kata Agus.

Ia mengatakan bahwa perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an. Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka ngga punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," kata dia.

Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," katanya.

Masalah konflik agraria itu pun menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya statement janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.

"Tadi saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," kata dia.

Sehingga, lanjutnya, ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi. Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya.

Agus juga menduga adanya konflik kepentingan dibalik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang. "Ya pasti lah ada yang menunggang. Kalau soal politik, pasti ada kepentingan lain apalagi mau Pemilu," kata dia.

Proyek tak akan dibatalkan

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan tidak ada alasan mencabut proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City dicabut.

Luhut pun mempertanyakan mengapa ada pihak yang menginginkan proyek strategis itu dibatalkan.

Halaman
123
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved