Pemilu 2024

Puisi Denny Indrayana Jelang MK Putuskan Sistem Pemilu 2024, Singgung Hukum Diperjualbelikan

Jelang Mahkamah Konstitusi putuskan sistem Pemilu 2024 pada Rabu (14/6/2023), mantan guru besar Universitas Gajah Mada Denny Indrayana membuat puisi

Kompas.com
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana. 

Makna Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008

Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 merupakan putusan atas perkara pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 10 Tahun 2008 diubah dengan UU No. 17 Tahun 2009.

Kemudian, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Selanjutnya, UU No. 8 Tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2022.

Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kalau membaca putusan a quo, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, pertama, memberikan penekanan agar ada keseimbangan antara peran partai politik di satu sisi dan penghargaan pada prinsip kedaulatan rakyat di sisi lain dalam hal penentuan pimpinan politik in casu anggota legislatif.

Prinsip kedaulatan rakyat, menurut MK, menjadi sangat penting karena, kecuali merupakan norma dasar juga sebagai moralitas konstitusi.

Baik peran partai politik maupun prinsip kedaulatan rakyat harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man) (halamann 102).

Kedua, Mahkamah secara tersirat menyatakan pentingnya peran partai politik dalam proses rekrutmen pimpinan politik.

Mahkamah menghendaki peran partai politik agar mampu memilih calon-calon legislatif yang cakap untuk kepentingan rakyat.

Karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dikehendakinya tanpa melalui partai politik (halaman 103).

Ketiga, Mahkamah memberikan tafsir ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dalam kaitan pemilu, mengandung makna rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat.

Rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam pemenangan pemilu oleh partai politik sebagai peserta pemilu (halaman 103-104).

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Putusan MK Tentang Sistem Pemilu: Terbuka atau Tertutup?"

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved