Pemilu 2024
Puisi Denny Indrayana Jelang MK Putuskan Sistem Pemilu 2024, Singgung Hukum Diperjualbelikan
Jelang Mahkamah Konstitusi putuskan sistem Pemilu 2024 pada Rabu (14/6/2023), mantan guru besar Universitas Gajah Mada Denny Indrayana membuat puisi
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Jelang Mahkamah Konstitusi putuskan sistem Pemilu 2024 pada Rabu (14/6/2023), mantan guru besar Universitas Gajah Mada Denny Indrayana membuat puisi menohok.
Lewat akun Twitter, Denny Indraya membuat puisi berjudul Hukum Is Not For Sale.
Ini kutipan puisinya:
Ketika hukum menghadirkan keadilan Maka kita wajib hormat tanpa pecicilan
Ketika kehormatan hukum diperjualbelikan Maka tidak ada pilihan
Selain menyuarakan perlawanan Mahkamah bukan tempat untuk para bromocorah Yang menghisap darah, mengunyah nanah Seolah-olah putusan titah obral jual murah gegabah tanpa moral bukanlah salah
Denny Indrayana memprediksi lima jenis putusan yang berpeluang diambil Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu.
Pertama, Denny menduga putusan gugatan pemohon tidak dapat diterima karena para pemohon tidak punya legal standing.
Dengan demikian sistem pileg tetap proporsional terbuka atau tidak ada perubahan. Kemungkinan kedua menurut Denny yaitu MK menolak seluruhnya karena permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk dikabulkan.
Baca juga: DKPP Terima 207 Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
"Artinya sistem pileg tetap proporsional terbuka, tidak ada perubahan," kata Prof Denny kepada wartawan dalam keterangannya, Selasa (13/6/2023).
Peluang putusan ketiga menurut Denny MK mengabulkan seluruhnya atau artinya sistem pileg berubah menjadi proporsional tertutup.
Hanya saja, patut disimak apakah MK akan langsung memutuskannya bisa diterapkan pada Pemilu 2024 atau ditunda pelaksanaannya.
"Kalau MK mencari jalan kompromi antara berbagai kepentingan politik maka putusannya akan mengabulkan seluruh permohonan, yang artinya mengganti sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, namun diberlakukan untuk pemilu selanjutnya, tidak langsung berlaku di 2024," ujar Denny.
Seperti diketahui Mahkamah konstitusi (MK) telah selesai melakukan pemeriksaan uji materiIl mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perkara yang diregister dengan No. 114/PUU-XX/2022 ini tengah ditunggu publik dan akan segera diputuskan pada Kamis, 15 Juni 2023.
Partai-partai politik di Senayan terbelah sikapnya.
PDI Perjuangan mendukung dikembalikannya sistem proporsional tertutup.
Baca juga: Singgung Potensi Kekacauan, Ini 5 Prediksi Denny Indrayana soal Keputusan MK terkait Sistem Pemilu
Sikap ini diikuti oleh Partai bulan Bintang (PBB) yang diketuai Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahandera.
Sementara delapan partai politik menolak, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat (Demokrat), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN).
Belakangan, bahkan “mengancam” akan mengubah Undang-Undang terkait Mahkamah Konstitusi (MK) jika hakim MK memutuskan mengubah sistem Pemilu yang sekarang berlaku.
Menunggu MK memutuskan sistem pemilu, sebanyak 25 akademisi juga tidak mau ketinggalan.
Mereka mengajukan sahabat pengadilan (amicus curiae) ke MK. Dalam amicus curiae-nya, mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research & Consulting pada Mei 2023, menyebutkan jika lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia menyatakan setuju dengan sistem proporsional terbuka.
Partai politik yang prosistem proporsional terbuka berargumentasi sistem ini menyediakan ruang bagi rakyat untuk menentukan calon legislatif yang terpilih, yang sebelumnya telah dicalonkan oleh partai politik.
Sistem ini dinilai sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Sedangkan bagi partai politik yang setuju sistem proporsional tertutup berdalih sistem proporsional terbuka berdampak negatif adanya pembajakan oleh calon pragmatis yang karena popularitas dan kemampuan finansial berhasil terpilih dalam pemilu.
Sistem ini berakibat merugikan partai karena pudarnya ikatan ideologis antara calon terpilih dengan partai politik yang telah mencalonkannya.
Partai-partai politik yang hendak mempertahankan sistem proporsional terbuka juga membawa alasan penguat adanya Putusan MK. Menurut mereka, sistem proporsional terbuka sesuai dengan Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008.
Pertanyaannya, apakah benar Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu yang sesuai untuk diterapkan dalam pemilu kita?
Apakah sebaliknya, sistem proporsional tertutup dinilai MK sebagai sistem pemilu yang tidak sesuai untuk digunakan?
Bagaimana sebenarnya isi atau makna dari Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 tersebut?
Makna Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008
Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 merupakan putusan atas perkara pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU No. 10 Tahun 2008 diubah dengan UU No. 17 Tahun 2009.
Kemudian, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Selanjutnya, UU No. 8 Tahun 2012 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan UU No. 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2022.
Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kalau membaca putusan a quo, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, pertama, memberikan penekanan agar ada keseimbangan antara peran partai politik di satu sisi dan penghargaan pada prinsip kedaulatan rakyat di sisi lain dalam hal penentuan pimpinan politik in casu anggota legislatif.
Prinsip kedaulatan rakyat, menurut MK, menjadi sangat penting karena, kecuali merupakan norma dasar juga sebagai moralitas konstitusi.
Baik peran partai politik maupun prinsip kedaulatan rakyat harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia (the dignity of man) (halamann 102).
Kedua, Mahkamah secara tersirat menyatakan pentingnya peran partai politik dalam proses rekrutmen pimpinan politik.
Mahkamah menghendaki peran partai politik agar mampu memilih calon-calon legislatif yang cakap untuk kepentingan rakyat.
Karena rakyat tidak mungkin secara keseluruhan mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang dikehendakinya tanpa melalui partai politik (halaman 103).
Ketiga, Mahkamah memberikan tafsir ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dalam kaitan pemilu, mengandung makna rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat.
Rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek dalam pemenangan pemilu oleh partai politik sebagai peserta pemilu (halaman 103-104).
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Putusan MK Tentang Sistem Pemilu: Terbuka atau Tertutup?"
Sekretaris KPU Jakarta Dirja Abdul Kadir Ungkap Pekerjaan KPUD Jakarta Belum Selesai |
![]() |
---|
Sempat Khawatir pada Kerawanan, KPU Jakarta Apresiasi Kinerja Polri Amankan Pelaksanaan Pilkada 2024 |
![]() |
---|
DKPP Prihatin Masih Banyak Penyelenggara Pemilu Tidak Netral di Pemilu 2024 |
![]() |
---|
Bawaslu Kabupaten Bekasi Rilis Laporan Akhir Pengawasan Pemilu 2024, Ini Hasilnya |
![]() |
---|
Gugatan Kader PKB Calon Anggota DPR Terpilih yang Dipecat Cak Imin Dikabulkan Bawaslu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.