Berita Jakarta
Aksi Ribuan Mahasiswa Menolak RKUHP di Depan Gedung DPR RI Memanas, Sebut Negara Sedang Sakit
Bayu Satrio mengatakan, aksi tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa masyarakat indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Feryanto Hadi
"Diberikan waktu masyarakat untuk berpendapat iya, tapi hanya didengar secara teknis, tidak dipertimbangkan pendapatnya," ujar Citra.
2. Tidak percaya produk Mahkamah Konstitusi (MK)
Dengan menggugat RKUHP ke MK, menurut Citra, akan menghasilkan jawaban yang berbeda.
Pasalnya, pejabat yang duduk di MK itu sudah disetir oleh pemerintah dan DPR. Sehingga, mediumnya sudah dikondisikan.
"Buktinya, undang-undang MK sudah direvisi. Lalu, hakim MK malah diberikan penghargaan oleh presiden," ujar Citra.
Artinya, kata Citra, MK sudah dikooptasi. Adapun bukti lainnya yang mendukung hal tersebut adalah Undang-Undang Cipta Kerja, terkait uji formil dan materil.
"MK yang seharusnya menjaga konstitusi, malah memberikan seolah-seolah ada negosiasi," jelasnya.
"Jadi kalau kami bawa RKUHP ke MK, akan beda jawabannya," sambung Citra.
3. Pasal-pasal penghinaan presiden, sama saja dengan anti kritik
Sebagai yang mewakili LBH, Citra banyak mendampingi kasus-kasus salah tangkap. Misalnya, orang yang melakukan aksi unjuk rasa, kemudian dikriminalisasi.
Mnurut Citra, mereka merupakan bukti nyata orang yang ruang hidupnya direnggut pemerintah.
"Mereka ada yang disiksa, digusur, hanya karena menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Tentu, seharusnya sah," ujar Citra.
Oleh karena itu, Citra menganggap, dengan adanya pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, serta pemerintah, maka setiap kritik akan ditindak sebagai bentuk penghinaan.
"Ke depan, kritik itu akan dianggap sebagai bentuk penghinaan, karena ada di dalam rumusan pasal RKUHP," kata Citra.
Padahal menurutnya, terkait penghinaan tersebut tergantung pada moralitas presiden, wakil presiden, serta pemerintah itu sendiri.
