Berita Jakarta

Aksi Ribuan Mahasiswa Menolak RKUHP di Depan Gedung DPR RI Memanas, Sebut Negara Sedang Sakit

Bayu Satrio mengatakan, aksi tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa masyarakat indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota/Nuri Yatul Hikmah
Ribuan mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mulai membekar ban bekas 

"Diberikan waktu masyarakat untuk berpendapat iya, tapi hanya didengar secara teknis, tidak dipertimbangkan pendapatnya," ujar Citra.

2. Tidak percaya produk Mahkamah Konstitusi (MK)

Dengan menggugat RKUHP ke MK, menurut Citra, akan menghasilkan jawaban yang berbeda.

Pasalnya, pejabat yang duduk di MK itu sudah disetir oleh pemerintah dan DPR. Sehingga, mediumnya sudah dikondisikan.

"Buktinya, undang-undang MK sudah direvisi. Lalu, hakim MK malah diberikan penghargaan oleh presiden," ujar Citra.

Disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hari ini, Selasa (6/12/2022) membuat sejumlah koalisi masyarakat sipil meradang. Mereka kembali melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hari ini, Selasa (6/12/2022) membuat sejumlah koalisi masyarakat sipil meradang. Mereka kembali melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah)

Artinya, kata Citra, MK sudah dikooptasi. Adapun bukti lainnya yang mendukung hal tersebut adalah Undang-Undang Cipta Kerja, terkait uji formil dan materil.

"MK yang seharusnya menjaga konstitusi, malah memberikan seolah-seolah ada negosiasi," jelasnya.

"Jadi kalau kami bawa RKUHP ke MK, akan beda jawabannya," sambung Citra.

3. Pasal-pasal penghinaan presiden, sama saja dengan anti kritik

Sebagai yang mewakili LBH, Citra banyak mendampingi kasus-kasus salah tangkap. Misalnya, orang yang melakukan aksi unjuk rasa, kemudian dikriminalisasi.

Mnurut Citra, mereka merupakan bukti nyata orang yang ruang hidupnya direnggut pemerintah.

"Mereka ada yang disiksa, digusur, hanya karena menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Tentu, seharusnya sah," ujar Citra.

Oleh karena itu, Citra menganggap, dengan adanya pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, serta pemerintah, maka setiap kritik akan ditindak sebagai bentuk penghinaan.

"Ke depan, kritik itu akan dianggap sebagai bentuk penghinaan, karena ada di dalam rumusan pasal RKUHP," kata Citra.

Padahal menurutnya, terkait penghinaan tersebut tergantung pada moralitas presiden, wakil presiden, serta pemerintah itu sendiri.

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved