Penggelapan Dana

Tak Ajukan Eksepsi, Mantan Bos ACT Ahyudin Ingin Persidangannya Segera Selesai

Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin tidak mengajukan nota keberatan alias eksepsi setelah mendengar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU)

Penulis: Ramadhan L Q | Editor: Feryanto Hadi
Facebook Ahyudin
Pendiri lembaga kemanusiaan Aks Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022). 

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Ramadhan L Q

WARTAKOTALIVE.COM, PASAR MINGGU - Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin tidak mengajukan nota keberatan alias eksepsi setelah mendengar dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) atas kasus dugaan penggelapan dana donasi di lembaga filantropi tersebut.

Kuasa hukum Ahyudin, Irfan Junaedi menuturkan bahwa pihaknya memilih tidak mengajukan nota keberatan atas dakwaan tersebut agar dilanjutkan pada tahap pemeriksaan saksi.

Selain itu, Irfan ingin agar persidangan terhadap kliennya segera selesai.

"Agar proses sidang cepat dan memang segera divonis seadil-adilnya, apabila klien kami bersalah," kata dia, di depan ruang sidang 3 Dr. Mr. Kusumah Atmadja, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).

Adapun persidangan terhadap Ahyudin berlangsung secara virtual.

Irfan mengatakan, soal kliennya tidak hadir secara langsung di persidangan, hal itu merupakan kewenangan jaksa.

Baca juga: Jalani Sidang Perdana Kasus Dugaan Penggelapan Dana di ACT, Ahyudin Tak Ajukan Eksepsi

"Kita berharap terdakwa dihadirkan (secara langsung)," ujar dia.

Sementara itu, JPU mendakwa Ahyudin dengan Pasal 374 dan atau Pasal 372 junto Pasal 55 KUHP.

Hal itu terkait dengan dugaan penggelapan dana Boeing Community Investment Fund (BCIF) senilai 25 juta dolar AS bagi korban tragedi Lion Air pada 2018 lalu.

Irfan menambahkan, banyak dugaan tindak pidana yang ditujukan terhadap Ahyudin sejak awal atau dalam prosesnya di Bareskrim Mabes Polri.

Kendati demikian, sidang perdana kliennya tersebut hanya dikenakan Pasal 374 dan Pasal 372 KUHP.

"Karena memang sejak awal pada proses di Bareskrim Polri, banyak sekali dugaan tindak pidana yang dikenakan oleh klien kami, cuman pada tahap P21 ini dan pada sidang perdana ini klien kami dikenakan pasal 374 dan Pasal 372," kata dia.

Dalam pembacaan dakwaan, terdakwa Ahyudin bersama-sama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana yang juga jadi tersangka, turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Baca juga: Publik Bisa Saksikan Keadilan, Bos ACT yang Selewengkan Dana Umat Segera Disidangkan

"Barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," ujar jaksa, dalam persidangan, Selasa.

Ahyudin didakwa melakukan penggelapan dana donasi dari Boeing untuk para ahli waris dari korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018. Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.

"Atas peristiwa tersebut, Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ujar jaksa.

"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan, di mana dana tersebut tidak langsung diterima oleh para ahli waris korban, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban," lanjut jaksa.

Terkait hal tersebut, kata jaksa, Boeing telah mendelegasikan kewenangan kepada administrator dari BCIF yaitu Mr Feinberg dan Ms Biros untuk menentukan program individual, proyek atau badan amal yang akan didanai dengan uang yang diberikan Boeing untuk BCIF dan untuk mengawasi penggunaan dana tersebut agar digunakan dengan benar.

Boeing telah menentukan persyaratan-persyaratan mendasar yang harus dipenuhi oleh para penerima dana, termasuk kondisi di mana uang tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi setiap individu, namun Boeing tidak menentukan persyaratan untuk memilih atau mengawasi administrasi penggunaan BCIF.

Administrator bekerja bersama-sama dengan para keluarga untuk memilih program-program individual, proyek atau kegiatan amal yang akan didanai merujuk pada lampiran Protokol Boeing Community Investment Fund (BCIF) tertanggal 20 April 2020.

Kemudian sebanyak 189 keluarga korban selaku ahli waris telah mendapatkan santunan dari perusahaan Boeing yaitu masing-masing ahli waris mendapakan dana sebesar USD 144.320 atau senilai Rp 2.000.000.000,00 (kurs Rp 14.000)

Baca juga: Bertambah Lagi, Dana Bantuan Boeing yang Diselewengkan Tersangka Kasus ACT Tembus Rp107,3 Miliar

"Di mana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris sendiri. Selain itu ahli waris juga mendapatkan dana santunan berupa dana sosial BCIF dari perusahaan Boeing yang mana selanjutnya secara aktif pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban dan mengatakan bahwa Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah mendapatkan amanah (ditunjuk) dari Perusahaan Boeing untuk menjadi Lembaga yang akan mengelola dana sosial/BCIF dari Perusahaan Boeing dan meminta keluarga korban untuk merekomendasikan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kepada pihak Perusahaan Boeing," kata jaksa.

"Yang mana kemudian keluarga korban diminta pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menandatangani dan mengisi beberapa dokumen/formulir pengajuan, yang harus dikirim melalui email ke Perusahaan Boeing, agar dana sosial/BCIF tersebut dapat dicairkan oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dapat dikelola oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan fasilitas sosial. Dan selanjutnya atas petunjuk dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) keluarga korban diminta untuk mengisi formulir yang formatnya didapat dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT)," lanjut jaksa.

Kemudian email yang dikirimkan ke pihak Perusahaan Boeing atas petunjuk pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di dalam email tersebut disebutkan dengan jelas bahwa dana social/BCIF yang diminta untuk dikelola oleh pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah sebesar USD 144.500.

"Dan selanjutnya pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) menghubungi keluarga korban agar menyetujui/merekomendasikan dana sosial/BCIF akan digunakan untuk pembangunan fasilitasi sosial yang direkomendasikan dari pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk mendapatkan bantuan dana sosial (BCIF) dari perusahaan Boeing tersebut kepada pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT)," kata jaksa.

"Bahwa pembangunan fasilitas sosial yang ditujukan kepada penerima manfaat berdasarkan rekomendasi dari ahli waris korban kecelakaan pesawat lion air JT610 yang terjadi pada bulan Oktober 2018 yang merekomendasikan kepada pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk pembangunan sarana Pendidikan dengan menggunakan anggaran dana CSR dari perusahaan Boeing adalah sebanyak 68 ahli waris," sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, terdakwa Ahyudin bersama-sama Hariyana dan Ibnu Khajar yang mengetahui penggunaan dana BCIF harus sesuai dengan peruntukkannya sebagaimana tertulis dalam Protocol BCIF April 2020 pada kenyataannya tetap memproses pengajuan dan pencairan dana pembangunan fasilitas pendidikan program implementasi Boeing tersebut sekalipun mengetahui nilai RAB yang disetujui oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) jauh di bawah nilai proposal yang diajukan dan yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari pihak Boeing.

"Bahwa Kemudian berdasarkan "Laporan Akuntan Independen Atas Penerapan Prosedur Yang Disepakati Bersama Mengenai Penerimaan dan Pengelolaan Dana BCIF BOEING Tahun 2018 sampai dengan 2021” oleh akuntan Gideon Adi Siallagan. M. Acc. CA. CPA tanggal 8 Agustus 2022 ditemukan bahwa dari jumlah uang sebesar Rp 138.546.388.500 dana BCIF yang diterima oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari Boeing tersebut yang benar-benar digunakan untuk implementasi kegiatan Boeing adalah hanyalah sejumlah Rp 20.563.857.503 dengan perincian sebagai berikut, pembayaran proyek boeing sesuai PKS, pembayaran proyek boeing atas nama Lilis Uswatun, pembayaran proyek boeing atas nama Francisco," kata jaksa.

Sedangkan sisa dana BCIF tersebut digunakan oleh Ahyudin bersama-sama dengan Ibnu Khajar dan Hariyana tidak sesuai dengan implementasi Boeing dan malah digunakan bukan untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Protocol BCIF adalah sebesar Rp 117 miliar.

"Bahwa untuk proses pencairan dana di luar implementasi dana Boeing tersebut dilakukan oleh Terdakwa Ahyuding selaku President GIP dengan cara memberi instruksi melalui chat/panggilan whatsapp maupun lisan kepada Saksi Hariyana binti Hermain selaku VIce President GIP," ujar jaksa.

"Padahal Terdakwa Ahyudin dan Saksi Hariyana binti Hermain, serta dengan sepengetahuan Saksi Ibnu Khajar selaku Presiden ACT, padahal mereka mengetahui bahwa dana BCIF tersebut tidak boleh digunakan untuk peruntukan lain selain untuk kegiatan implementasi Boeing, namun Saksi Hariyana tetap meneruskan instruksi tersebut kepada Saksi Echwan Churniawan selaku Bendahara Yayasan ACT sehingga tim keuangan memprosesnya agar dapat dilakukan pencairan dimana dana tersebut dipergunakan di luar peruntukan kegiatan implementasi Boeing," lanjut jaksa.

Usai seluruh dakwaan dibacakan, Ahyudin yang ditanya hakim mengaku mengerti atas dakwaan itu.

Sementara itu, tim penasihat hukum terdakwa memutuskan untuk tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi.

Sehingga sidang atas terdakwa Ahyudin dilanjutkan pada Selasa (22/11/2022) pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. (m31)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved