Gratifikasi
Karena Lukas Enembe, Masyarakat Adat Papua Pernah Denda KPK Rp 10 Triliun
Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sementara KPK pernah didenda adat Rp10 Triliun oleh masyarakat adat Papua.
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Budi Sam Law Malau
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap dan gratifikasi Rp 1 miliar, sejak 5 September 2022 lalu.
Karenanya KPK melakukan pemanggilan kepada Lukas Enembe sebagai tersangka di Mako Brimob Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Senin (12/9/2022) dan diwakili oleh tim kuasa hukumnya karena sakit.
Koordinator tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, mempertanyakan dasar penetapan tersangka terhadap Lukas Enembe. Sebab seseorang yang dijadikan sebagai tersangka, katanya harus ada dua alat bukti dan sudah diperiksa sesuai keputusan MK Nomor 21 tahun 2014.
Sementara Lukas Enembe belum sekalipun diperiksa KPK terkait hal yang dituduhkan kepadanya.
"Saya mendapat informasi bahwa perkara ini sudah penyidikan, itu artinya sudah ada tersangka. Ada surat dari KPK, 5 September bapak gubernur sudah jadi tersangka, padahal pak gubernur sama sekali belum didengar keterangannya," kata Roy, Senin (12/9/2022) kemarin.
Polemik antara KPK dengan Lukas Enembe, sudah terjadi sejak 2019 lalu. Kala itu penyelidik KPK berupaya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Lukas Enembe dan jajarannya, yang sedang menggelar rapat evaluasi anggaran bersama DPRD Papua dan Kemendagri di Hotel Borobodur, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019).
Baca juga: Usai Karantina Mandiri, Gubernur Lukas Enembe Bakal Tiba di Tanah Papua, Minta Tak Disambut
Namun OTT yang dilakukan penyelidik KPK tanpa bukti permulaan yang cukup itu, gagal.
Hingga berujung pelaporan adanya pengeroyokan terhadap penyelidik KPK di sana oleh pegawai Pemprov Papua ke Polda Metro Jaya.
Karena pelaporan itu, Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik sesuai UU ITE.
Dari kasus ini, sejumlah pendukung dan tokoh adat Papua bereaksi keras.
Baca juga: Gubernur Papua Lukas Enembe Dicegah ke Luar Negeri, Kuasa Hukum Bilang Statusnya Sudah Tersangka
Masyarakat adat Papua yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu Bela Papua menjatuhkan sanksi berupa denda adat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 10 Triliun.
Secara konstitusi denda adat ini diakui di Indonesia berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4.
KPK dinilai oleh masyarakat adat Papua telah berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya.
Pembunuhan karakter itu dilakukan pegawai KPK dalam peristiwa di Hotel Borobodur, Sabtu (2/2/2019) tersebut.
Baca juga: Pergi ke Papua Nugini tanpa Izin, Mendagri Beri Teguran Keras kepada Gubernur Papua Lukas Enembe
Kuasa Hukum Pemprov Papua yang juga kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Sfefanus Roy Rening mengatakan putusan denda adat Rp 10 Triliun kepada KPK ini ditandai dengan unjuk rasa dan demo oleh seribuan masyarakat adat Papua di depan Kantor Gubernur Papua, Rabu 13 Februari 2019.
Mereka memprotes upaya kriminalisasi Gubernur Papua oleh KPK yang juga dianggap sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe.
Karenanya masyarakat adat berunjuk rasa sebagai bentuk dukungan terhadap Gubernur Papua, yang dinilai telah menjadi korban kesewenang-wenangan KPK.
"KPK dianggap telah mempermalukan Gubernur Papua Lukas Enembe yang merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua," kata Roy.
"Masyarakat adat Papua marah karena harkat, martabat, dan wibawa pemimpin mereka telah direndahkan oleh KPK," kata Roy kepada Warta Kota, Minggu (17/2/2019).
Denda KPK Dari 5 Wilayah Hukum Adat
Ia mengatakan denda adat masih berlaku di Papua meliputi 5 wilayah hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran.
Denda adat ini kerap diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah diantara warga mulai dari pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku.
Secara konstitusi katanya denda adat ini diakui di Indonesia berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4.
Baca juga: Kronologi Gubernur Papua Lukas Enembe Dideportasi dari Papua Nugini Hingga Trending Topik di Twitter
Bunyinya menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Dalam konteks hukum adat, KPK dianggap oleh masyarakat adat Papua yang mencermati kasus ini sejak awal, telah mempermalukan pemimpin mereka Gubernur Papua," ujar Roy.
Karenanya KPK harus merespon putusan masyarakat adat dengan berkomunikasi kepada para pemimpin suku di masyarakat adat Papua.
Sebagai penegak hukum, kata Roy, KPK harus hadir ke Papua atas putusan denda adat ini dan memiliki kewajiban menyelesaikannya.
"Intinya KPK sebagai penegak hukum mesti mengkomunikasikan sanksi denda adat ini ke masyarakat adat Papua," kata Roy.
Baca juga: Gubernur Papua Lukas Enembe Dilarikan ke RSPAD Jakarta Gunakan Pesawat Carteran, Ternyata Karena Ini
Dengan mengkomunikasikan denda adat ke masyarakat adat Papua, kata Roy, KPK bisa menjelaskan permasalahan ini hingga menegosiasikan sanksi denda adat yang diberikan.
"KPK bisa meminta maaf kepada masyarakay adat Papua atas yang dilakukannya, juga meminta maaf ke Gubernur Papua.
Jika KPK tidak merespon denda adat yang dijatuhkan masyarakat adat Papua, kata Roy maka ada konsekuensi yang akan diterima KPK.
"Yakni penegakan hukum oleh KPK di Papua tidak akan efektif. Pemberantasan korupsi oleh KPK di Papua, tidak akan berjalan maksimal. Sebab masyarakat Papua sudah tidak percaya, akibat KPK tidak mentaati dan menghormati serta mengkomunikasikan denda adat yang diputuskan oleh masyarakat adat Papua kepadanya," kata Roy.
Seperti diketahui akibat peristiwa di Hotel Borobudur, Sabtu (2/2/2019) tengah malam lalu, KPK dan Pemprov Papua saling melaporkan tindak pidana ke Polda Metro Jaya.
KPK melaporkan dugaan pengeroyokan terhadap penyelidiknya oleh pegawai Pemprov Papua ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, sesuai Pasal 170 KUHP, serta Pasal 211 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP tentang menghalang-halangi petugas negara, Minggu (3/2/2019).
Saat itu pegawaI KPK sedang ditugaskan untuk melakukan pengecekan lapangan merespon laporan masyarakat tentang adanya indikasi korupsi saat rapat evaluasi anggaran Pemprov Papua digelar di sana.
Dalam rapat, hadir Gubernur Papua Lukas Enembe serta jajarannya, anggota DPRD Papua dan pihak Kemendagri.
Menyayangkan KPK
Terkait penetapan tersangka Lukas Enembe dalam kasus suap dan gratifikasi, Koordinator tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening mengaku menyayangkan hal tersebut.
"Saya mendapat informasi bahwa perkara ini sudah penyidikan, itu artinya sudah ada tersangka. Ada surat dari KPK, 5 September bapak gubernur sudah jadi tersangka, padahal pak gubernur sama sekali belum didengar keterangannya," kata Roy.
Roy menegaskan KUHP menyatakan bahwa seseorang yang dijadikan sebagai tersangka harus ada dua alat bukti dan sudah diperiksa sesuai keputusan MK Nomor 21 tahun 2014.
"Kita menyayangkan sikap KPK yang tidak profesional seperti ini," sambung Roy.
Roy menjelaskan gratifikasi dana sebesar Rp 1 miliar yang masuk ke rekening Lukas Enembe adalah dana pribadi yang bersangkutan untuk berobat di Singapura pada Maret 2020.
"Uang itu dikirim Mei 2020 karena pak gubernur mau berobat. Kalau dibilang kriminalisasi, iya kriminalisasi karena memalukan seorang gubernur menerima gratifikasi Rp 1 miliar, gratifikasi kok melalui transfer, memalukan," tuturnya.
Baca juga: Pergi ke Papua Nugini tanpa Izin, Mendagri Beri Teguran Keras kepada Gubernur Papua Lukas Enembe
Selain itu, Roy menegaskan bahwa proses hukum tersebut sangat aneh karena sebelumnya Lukas Enembe pernah dipanggil KPK sebagai saksi atas kasus berbeda.
Namun Lukas Enembe belum dapat memenuhi panggilan tersebut karena alasan kesehatan.
"Panggilan itu ada tapi bukan perkara ini karena deliknya Pasal 3 bukan Pasal 5, 11 dan 12 tentang gratifikasi, tapi itu kaitannya dengan penyelidikan, saat itu bapak sedang sakit jadi tidak bisa hadir," kata dia.
KPK sebelumnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gubernur Lukas Enembe di Mako Brimob Polda Papua, Senin 12 September 2022.
Agenda pemeriksaan tersebut membuat Mako Brimob Polda Papua digeruduk simpatisan Gubernur Lukas Enembe.
Namun agenda pemeriksaan gubernur hanya diwakili oleh kuasa hukumnya Stephanus Roy Rening, Aloysius Renwarin dan timnya serta juru bicara Gubernur Papua Rifai Darus.
Baca juga: Presiden RI Joko Widodo Resmi Membuka PON XX Papua di Stadion Lukas Enembe
Kendati demikian, massa simpatisan Gubernur Lukas mendatangi Mako Brimob Kotaraja begitu mengetahui adanya agenda pemeriksaan.
Massa tersebut berorasi di halaman Mako Brimob dan mendesak agar KPK hadir menemui mereka.
Massa aksi menuntut KPK menjelaskan secara langsung perkara yang membuat Gubernur Papua dua periode ini harus diperiksa.
Juru Bicara Gubernur Papua Muh Rifai Darus mengatakan bahwa Gubenur Lukas belum bisa menghadiri panggilan KPK karena sakit.
"Kita tahu Gubernur sampai saat ini kondisinya belum pulih betul, kaki beliau bengkak sehingga masih sulit jalan, dan pita suaranya juga terganggu," kata Rifai.
"Jadi memang kondisinya tidak dimungkinkan untuk hadir memenuhi panggilan KPK hari ini," lanjut dia.