Berita Nasional

Ketua APPKSI Ungkap Dampak Buruk Kebijakan Pungutan Ekspor CPO Terhadap Petani Sawit

Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Muhamadyah ungkap dampak buruk kebijakan pungutan ekspor CPO.

Editor: PanjiBaskhara
dok. Asian Agri
Ilustrasi: Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Muhamadyah ungkap dampak buruk kebijakan pungutan ekspor CPO. 

Namun permasalahan yang belum usai sampai hari ini adalah pemberlakuan Pungutan Ekspor (Levy)

Kini, harga rata-rata CPO di USD 1.615 perton.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.103 /PMK.05/2022 akan dikenakan Levy sebesar USD 200 dan Bea Keluar sebesar USD 280.

Bahkan, pengenaan Pungutan Levy tersebut lebih dari 90 persen digunakan untuk subsidi program biodiesel.

HIP BBM per bulan Juli 2022 sebesar Rp 15.118 per liter.

Sedangkan HIP BBN sebesar Rp 11.070 per liter.

Artinya kini harga BBM lebih tinggi dari BBN, tidak diperlukan subsidi.

"Pungutan Levy memberatkan dan menekan harga CPO dan TBS, perlu dihapus agar tidak memberatkan Petani," tambah Muhamadyah.

Sebab menurut data pada 5 Juli 2022, harga itu turun jadi Rp 898 di petani swadaya, dan Rp 1.236 di petani bermitra atau plasma.

Harga kembali turun pada 6 Juli 2022 jadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/plasma.

Menurut APPKSI tidak ada satu pun pabrik kelapa sawit (PKS) mematuhi harga penetapan TBS oleh Dinas Perkebunan.

Dimana harga TBS sebelum larangan ekspor mencapai Rp 4.250 per kg.

Sementara itu tanggapan lainnya datang dari Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng.

Ia menilai pungutan ekspor CPO berdampak bagi petani sawit dan merugikan.

Menurutnya, pemerintah seharusnya membantu petani sawit, dan bukan membuat petani sawit menderita akibat kebijakan tersebut.

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved