Gugatan PT 20 Persen Ditolak MK, LaNyalla: Kemenangan Sementara Oligarki, Hukum Bukan Skema Final!
Menurut LaNyalla, hal itu adalah kemenangan sementara oligarki politik dan ekonomi, yang menyandera dan mengatur negara ini.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu, terkait syarat ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold, yang diajukan Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Menurut LaNyalla, hal itu adalah kemenangan sementara oligarki politik dan ekonomi, yang menyandera dan mengatur negara ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini."
Baca juga: Draf RKUHP Ancam Penghina Presiden dan Wapres Dibui 3 Tahun 6 Bulan, Menyerang Fisik 5 Tahun
"Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” tegas LaNyalla, Kamis (7/7/2022).
Ia menambahkan, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa.
"Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam."
Baca juga: Draf RKUHP Atur Penghina DPR, Polri, Kejaksaan, dan Pemda Bisa Dipenjara 18 Bulan Asal Ada Aduan
“Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa."
"Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik,” tuturnya.
Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika majelis hakim MK menyatakan pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional.
Baca juga: Demonstrasi Tanpa Lebih Dahulu Beri Tahu Aparat Terancam Dipenjara Enam Bulan Menurut Draf RKUHP
Padahal, dia menyebut nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di pasal 6A konstitusi.
“Dan yang paling inti adalah majelis hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat."
"Padahal hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum."
Baca juga: Pelaku Santet Dibui 18 Bulan Atau Denda Rp200 Juta di Draf RKUHP, Diperberat Jika Jadi Pekerjaan
"Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” beber LaNyalla.
Sebelumnya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu, terkait syarat ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold.
Uji materi ini diajukan oleh Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattaliti.
"Menyatakan permohonan pemohon I (DPD) tidak dapat diterima."
"Menolak permohonan pemohon II (Yusril) untuk seluruhnya," kata hakim ketua Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (7/7/2022).
Hakim menilai, kedudukan hukum DPD adalah sebagai sebuah lembaga negara, bukan merupakan partai politik.
DPD juga dinilai tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dalam pengujian konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden.
Baca juga: Epidemiolog UI: PPKM Sudah Tak Berpengaruh, Masyarakat Sudah Abai, Pemerintah Fokus Booster Saja
"Pemohon I tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dalam pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017."
"Serta tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional dengan pelaksanaan hak serta kewajiban Pemohon I," ujar Hakim MK Manahan Sitompul.
Sedangkan alasan Pemohon II (Yusril) yang menyebut adanya oligarki dan polarisasi masyarakat melalui Pasal 222 UU 7/2017, hakim menilai tak beralasan menurut hukum.
Baca juga: Penista Agama Dibui Lima Tahun pada Draf Final RKUHP, Ajak Orang Lain Tak Beragama Dipenjara 2 Tahun
"Karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik, maka kesempatan putra-putri daerah untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan.
Sementara alasan Pemohon II (Yusril) yang menyebut adanya oligarki dan polarisasi masyarakat melalui Pasal 222 UU 7/2017, hakim menilai tak beralasan menurut hukum.
"Karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik, maka berbagai ekses sebagimana didalilkan tidak akan terjadi lagi," papar Manahan.
Baca juga: Draf RKUHP Ancam Pelaku Hubungan Sedarah Dibui 12 Tahun, Penzina Setahun, Kumpul Kebo Enam Bulan
Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan, pada pokoknya pihaknya menegaskan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden adalah konstitusional.
Sedangkan soal besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk UU. (Reza Deni)