Mengenal Vihara Tertua di Tangerang Selatan, Sejarah, Jejak dan Tradisi Hingga Sambut Imlek
Dilihat dari kondisinya, mungkin tak akan menyangka jika vihara ini sudah berusia 3 abad lebih atau 300 tahun lebih.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Ornamen dan lilin-lilin besar yang didominasi warna merah akan langsung menyambut kita saat masuk ke Vihara Karuna Jala Boen Hay Bio di Pasar Lama Serpong, di RT 14/ RW 5, Cilenggang, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Bau harum hio juga akan terasa semerbak saat memasuki area bangunan vihara ini.
Dilihat dari kondisinya, mungkin tak akan menyangka jika vihara ini sudah berusia 3 abad lebih atau 300 tahun lebih.
"Sekarang umur atau usia vihara ini sekitar 300 tahun lebih. Vihara ini sudah berdiri pada tahun 1694," kata Tatang Jong Fendy selaku Ketua Boen Hay Bio Vihara Karuna Jala, saat ditemui Wartakotalive.com di vihara itu, Sabtu (22/1/2022).
Karenanya Vihara Karuna Jala Boen Hay Bio, dapat dikatakan yang tertua di Kota Tangsel, mengingat usia maupun tahun berdirinya.
Tatang mengatakan ada kisah dan sejarah mengenai berdirinya vihara tersebut.
Sejarah dan kisah itu diceritakan secara turun menurun dan diwariskan kepada penerusnya.
Baca juga: 95 Ribu Anak di Banten Ditargetkan Sudah Vaksin COVID-19 pada Januari 2022
Baca juga: Ganjar Ramadhan Tokoh Muda Cianjur: Jangan Lukai Hati Masyarakat Sunda
Menurut Tatang, berdirinya Vihara Karuna Jala Boen Hay Bio berawal adanya pelarian warga etnis Tionghoa ke Batavia di masa kolonial saat itu.
"Cerita leluhur saya atau nenek moyang saya, dulunya ini vihara didirikan sama orang terkaya di sini. Tapi dengan bangunan seadanya saat itu. Jadi waktu itu sebuah desa ada kerusuhan akhirnya banyak orang Tionghoa mengungsi ke Jakarta," ucapnya.
Tatang menuturkan tak lama pelarian itu, warga etnis Tionghoa berniat kembali ke asalnya.

Baca juga: Wagub Ariza Sebut Pemprov DKI akan Siapkan Tempat Tinggal Terbaik bagi Masyarakat Terdampak JIS
Baca juga: Pedagang Minyak Goreng di Pasar Agung Depok Merugi 90 Persen Karena Kebijakan Satu Harga
Namun sepanjang perjalanan kembali ke tempat asal, warga etnis Tionghoa itu memilih singgah sementara waktu di vihara tersebut.
Sebab, terdapat informasi lokasi desa tujuan etnis Tionghoa masih diselimuti suasana kerusuhan maupun peperangan.
"Saat sudah dalam keadaan aman, mereka mau kembali ke daerah dan singgah dulu di vihara sini sampai menunggu situasi benar-benar aman, hingga kumpul-kumpul di Boen Hay Bio sini," ungkapnya.
Dengan berjalannya waktu, sejumlah warga yang berniat singgah sementara waktu itu, justru mendapati rasa aman dan nyaman saat mendiami vihara tersebut.
Baca juga: Lolos Sertifikasi TKDN, Pertanda Xiaomi Redmi Note 11S Segera Masuk Indonesia
Baca juga: Kemenkes Umumkan Dua Pasien Omicron Meninggal Dunia di RS Sari Asih Ciputat dan RSPI Sulianti Saroso
Mereka pun memilih tinggal dan mendiami vihara tersebut hingga menjadi lokasi pengungsian bagi warga etnis Tionghoa.
"Sudah dalam keadaan aman justru banyak pengungsi yang memilih tinggal di sini. Akhirnya banyak umat juga yang berlari ke sini dan mengungsi. Makin lama banyak orang, maka terus dibangun, dan berlanjut ke perkumpulan Boen Hay Bio," kata Tatang.
Sejak kala itu material demi material sesuai kepercayaan etnis Tionghoa mulai diletakkan pada vihara itu dan menjadi bangunan ibadah bagi umatnya.
Setelah cukup lama menjadi lokasi pengungsian bagi warga etnis Tionghoa, vihara tersebut dipilih menjadi lokasi perkumpulan Boen Hay Bio.
Namun pada era kepemimpinan Presiden RI Soeharto, keberadaan perkumpulan etnis Tionghoa tersebut mulai terancam.
Sebab, kala itu Soeharto mengaluarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 dengan kebijakan larangan tradisi keagamaan maupun adat istiadat etnis Tionghoa secara terbuka dan di depan publik.
"Boey Han Bio itu klenteng atau leluhur yang menjadi kepercayaan, kalau vihara itu umat Buddha. Dulu Boen Hay ini berdiri di depan, terus jaman Soeharto kepercayaan itu mau dihilangkan, jadi alat kepercayaan Buddha yang kita ke depankan (klenteng)," kata Tatang.
Dari masa ke masa, tepatnya pada era kepemimpinan Presiden RI Gus Dur, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967.
Mulai saat itu etnis Tionghoa tak terkecuali di Vihara Karuna Jala Boen Hay Bio ini mulai kembali melangsungkan aktivitas kepercayaan dan ibadah serta kegiatan adat istiadatnya secara terbuka.
"Jadi sekarang Boen Hay kembali dan didekatkan dengan sang Buddha. Jadi kelenteng dengan Boen Hay disatukan kembali," ucapnya.
Baca juga: BPJamsostek Kebayoran Lama Lindungi Agen, Oranger dan Deliver PT Pos se-Jaksel dengan Layanan Pospay
Baca juga: Warga Perum Citra Swarna Karawang Resah Permukiman Sering Banjir dan Fasos Fasum Belum Dibangun
Sejak saat itu, vihara tersebut banyak dikunjungi warga etnis Tionghoa maupun individu pemeluk kepercayaan agama lain.
Selain itu, kata Tatang, vihara ini masih memiliki satu kesatuan riwayat dengan dua vihara tertua yang terletak di Kota Tangerang.
Menurutnya saudara tertuanya yakni Vihara Boen Tak Bio di Sukasari, Kota Tangerang, kemudian Vihara Boen San Bio di Pasar Baru, Kota Tangerang.
"Sebenarnya Boen Hay Bio ini ada saudara. Di daerah Tangerang tertua ada Boen Tak Bio, itu paling tertua umurnya mungkin sudah 500 tahunan. Kedua Boen San Bio, dan yang bungsu ini Boen Hay Bio," papar Tatang.
"Karena kalau ditarik kisahnya di Tangerang ini ke Boen Tak, Boen San, dan Boen Hay itu garisnya lurus kelihatan dari garis Kali Cisadane," pungkasnya. (riz)