Ketua KPK Minta Presidential Threshold Dihapus Agar 'Bohir' dan 'Balas Budi' Politik Lenyap

Firli mengatakan, KPK telah mengkaji penyebab korupsi atas dasar pencarian dana untuk pengembalian modal saat kampanye.

YouTube@Sekteratriat Presiden
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menginginkan presidential threshold di Indonesia dihapuskan. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menginginkan presidential threshold di Indonesia dihapuskan.

Firli menyebut langkah itu bisa menghilangkan 'bohir' dan 'balas budi' politik yang cenderung menimbulkan tindakan korupsi yang dilakukan kepala daerah.

"Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi 'balik modal'."

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 15 Desember 2021: 237 Pasien Sembuh, 205 Orang Positif, 9 Meninggal

"Di sisi lain mencari bantuan modal dari 'bohir politik' akan mengikat politisi-politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup," ujar Firli melalui keterangan tertulis, Rabu (15/12/2021).

Firli mengatakan, KPK telah mengkaji penyebab korupsi atas dasar pencarian dana untuk pengembalian modal saat kampanye.

Data itu didapat KPK dalam enam forum bersama kepala daerah, terkait pendidikan dan pencegahan korupsi yang dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia.

Baca juga: Didakwa Terlibat Terorisme, Munarman Tuding Ada Motif Mencegahnya Berpartisipasi di Pemilu 2024

Dalam enam forum itu, KPK mendapatkan keluhan tentang mahalnya presidential threshold di Indonesia.

Sehingga, calon kepala daerah yang mau maju harus mencari modal dengan bantuan 'bohir' untuk bertaruh mendapatkan jabatan.

"Fakta data KPK terakhir, 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada mereka," ungkap Firli.

Baca juga: Program Kartu Prakerja Lanjut Tahun Depan, Pemerintah Siapkan Anggaran Rp11 Triliun

Pemberian modal itu, katanya, tidak gratis.

KPK mencatat kepala daerah yang sudah menjabat harus melakukan 'balas budi' kepada bohir, usai mendapatkan kursi di pemerintahan daerah.

'Balas budi' dalam hal ini bukan berupa pengembalian uang kampanye.

Baca juga: Keliling PN Jaktim 3 Kali Saat Sidang Munarman Sambil Merekam, Polisi Amankan Dua Orang Mencurigakan

"Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan."

"Atau, 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa)," jelas Firli.

Firli menyebut prinsip 'balas budi' dari 'bohir' ini membuat kepala daerah melakukan tindakan koruptif dengan jabatannya.

Baca juga: Didakwa Terlibat Terorisme, Munarman Merasa Jadi Orang Paling Bodoh Sedunia

Kepala daerah, kata Firli, menggunakan kuasanya untuk menciptakan birokrasi yang korup untuk membalas budi si 'bohir'.

"Karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara?" Cetus Firli.

Firli juga menyebut biaya politik yang mahal untuk mencari dana kepada 'bohir', bukan cuma saat kampanye.

Baca juga: Tersangka Teroris yang Diciduk di Sumsel Pelatih Bela Diri Anggota Jamaah Islamiyah

Beberapa transaksional yang biasa disebut dengan mahar juga masih sangat mahal dalam berpolitik di Indonesia.

Dia mencontohkan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Oku) yang tidak mempunyai bupati definitif saat ini.

Firli menyebut, dari sembilan partai politik yang ada di Oku, tidak ada satu pun mengajukan calon bupati pengganti sampai saat ini.

Baca juga: Anak di Bawah Usia 18 Tahun Belum Boleh Donor Darah, Apalagi Plasma Konvalesen

"Kenapa ini terjadi? Ya karena politik transaksional dengan mahar."

"Persoalannya politik transaksional akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar," ulas Firli.

Atas dasar itulah, Firli meminta presidential threshold di Indonesia menjadi nol persen.

Baca juga: 30.761 Polisi Bakal Amankan Ibadah Natal di Gereja Protestan, 13.821 Personel di Gereja Katolik

Menurutnya, biaya politik yang mahal membuat potensi korupsi yang dilakukan kepala daerah meningkat.

"Selain adanya indikator memperkaya diri, upaya 'balik modal' dan 'balas budi' pada donatur oleh para kepala daerah dan legislatif setelah terpilih, membuat KPK merasa penting bersikap."

"Sehingga pemberantasan korupsi bisa diselesaikan dari hulu ke hilir," beber Firli. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved