TIGA Alasan Cina Protes Pengeboran Minyak di Natuna Utara, Pemerintah Diminta Jangan Tanggapi

Dalam perspektif Cina, pengeboran yang dilakukan berada di wilayah yang diklaim oleh Cina berdasarkan sembilan garis putus.

ANTARA/HO/pri
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana meminta pemerintah tak perlu menanggapi protes Cina, terkait aktivitas pengeboran lepas pantai di Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Pemerintah diminta tak perlu menanggapi protes Cina, terkait aktivitas pengeboran lepas pantai di Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara.

Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, kepada Tribunnews, Jumat (3/12/2021).

"Oleh karenanya bagi Indonesia, kegiatan pengeboran perlu terus dilakukan," ujar rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani ini.

Baca juga: KPU dan Pemerintah Tak Kunjung Sepakat, Pembahasan Jadwal Pemilu 2024 Bakal Dilanjut Tahun Depan

"Bahkan (pengeboran) perlu mendapat pengamanan dari Bakamla bila ada gangguan dari Coast Guard Cina," tutur Hikmahanto.

Dia menjelaskan, pengeboran yang dilakukan Imdonesia sudah sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menteri ESDM, saat rapat di KRI Imam Bonjol pada 2016 silam.

"Saat itu Presiden meminta agar perkembangan ekonomi di wilayah Kepulaun Natuna dan sekitarnya dikembangkan, terutama untuk dua hal, yaitu perikanan dan migas," ucapnya.

Baca juga: Siap-siap! Varian Omicron Sudah Sampai di Singapura

Hikmahanto melihat ada tiga alasan mengapa protes dilayangkan.

Pertama karena dalam perspektif Cina, pengeboran yang dilakukan berada di wilayah yang diklaim oleh Cina berdasarkan sembilan garis putus.

Kedua, protes dilakukan sebagai prosedur standar agar Cina tidak dikesankan melepaskan klaimnya atas wilayah, di mana Indonesia melakukan pengeboran yang menurut Cina masuk dalam sembilan garis putus.

Baca juga: DAFTAR 48 Calon Anggota KPU-Bawaslu Periode 2022-2027, Mayoritas Petahana Lulus Seleksi Tahap Tiga

Ini mengingat kini klaim Landas Kontinen oleh Indonesia tidak sekadar klaim di atas peta, melainkan telah diwujudkan secara nyata.

Bila Cina tidak melakukan protes, maka secara hukum internasional berarti Cina mengakui wilayah tempat pengeboran sebagai Landas Kontinen Indonesia.

Terakhir, Cina melakukan protes agar di dalam negeri, otoritas yang berwenang akuntabel di mata para pemangku kepentingan, termasuk rakyatnya.

Baca juga: Legislator PDIP: Solusi Damai untuk Papua, Status KKB Organisasi Teroris Harus Dicabut

"Otoritas ingin menunjukkan telah benar-benar menjalankan fungsinya dalam mengamankan klaim sembilan garis putus."

"Perspektif Cina tersebut tentu bertolak belakang dengan perspektif Indonesia," ulas Hikmahanto.

Sebelumnya, Reuters melaporkan  Cina meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim, yang dianggap kedua negara sebagai milik mereka sendiri.

Permintaan itu belum pernah terjadi sebelumnya.

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Melonjak Jadi 53, Sumatera Mendominasi

Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR mengungkapkan, surat dari diplomat Cina kepada Kementerian Luar Negeri dengan jelas meminta Indonesia menghentikan sementara pengeboran di rig lepas pantai, karena itu terjadi di wilayah Cina.

"Jawaban kami sangat tegas, bahwa kami tidak akan menghentikan pengeboran karena itu adalah hak kedaulatan kami," kata Farhan kepada Reuters.

Reuters melaporkan, Kedutaan Besar Cina di Jakarta juga tidak menanggapi permintaan komentar.

Baca juga: Tes PCR Masih Bisa Deteksi Varian Omicron Meski Tak Mampu Pantau Gen S

Tiga orang lainnya, yang mengaku telah diberi pengarahan tentang masalah tersebut, membenarkan adanya surat tersebut.

Dua dari orang-orang itu mengatakan Cina berulang kali menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran.

Negara terbesar di Asia Tenggara itu mengatakan, ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan menamakan wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.

Baca juga: Diajak Konsultasi, Komisi II DPR Minta KPU dan Pemerintah Sepakati Dulu Jadwal Pemilu 2024

Cina keberatan dengan perubahan nama tersebut, dan bersikeras jalur air tersebut berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut Cina Selatan yang ditandai dengan "sembilan garis putus-putus" berbentuk U.

Ini adalah sebuah batas yang tidak memiliki dasar hukum oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016.

"(Surat itu) sedikit mengancam, karena itu adalah upaya pertama diplomat Cina untuk mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," beber Farhan kepada Reuters.

Baca juga: Dianggap Sepelekan MPR karena Potong Anggaran dan Tak Hadiri Rapat, Ini Jawaban Sri Mulyani

Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua, menjadikannya bagian penting dari ambisi Indonesia untuk menjadi ekonomi papan atas.

Para pemimpin Indonesia tetap diam tentang masalah ini, untuk menghindari konflik atau pertengkaran diplomatik dengan Cina, kata Farhan, dan dua orang lainnya yang berbicara kepada Reuters.

Farhan mengatakan, Cina, dalam surat terpisah, juga memprotes latihan militer Perisai Garuda yang sebagian besar berbasis darat pada Agustus lalu.

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 2 Desember 2021: Suntikan Pertama 140.885.229, Dosis Kedua 97.318.649

Latihan yang melibatkan 4.500 tentara dari Amerika Serikat dan Indonesia itu, menjadi kegiatan rutin sejak 2009. Ini adalah protes pertama Cina terhadap mereka, menurut Farhan.

"Dalam surat resmi mereka, Pemerintah Cina mengungkapkan keprihatinan mereka tentang stabilitas keamanan di daerah itu," terangnya. (*)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved