Omnibus Law
UU Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945, Legislator Golkar Tetap Yakin Omnibus Law Jalan Keluar
Christina menyatakan, pihaknya di DPR menghargai putusan MK, dan akan menindaklanjutinya sesuai mekanisme yang berlaku.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Christina Aryani menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyatakan Undang-undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Christina menyatakan, pihaknya di DPR menghargai putusan MK, dan akan menindaklanjutinya sesuai mekanisme yang berlaku.
Artinya, kata dia, DPR sangat terbuka untuk melakukan perbaikan hal-hal yang dianggap inkonstitusional sebagaimana diputuskan MK.
Baca juga: Inisiasi Perdamaian dengan Anggiat Pasaribu, Puan Maharani Bilang Arteria Dahlan Orang Galak
"Mekanismenya seperti apa, tentu DPR akan bersama pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan."
"Saya rasa ini harus ditindaklanjuti segera, sehingga sebelum tenggat waktu dua tahun harusnya sudah bisa selesai," ujar Christina ketika dihubungi Tribunnetwork, Jumat (26/11/2021).
Politikus Partai Golkar ini mengatakan secara substansi, Indonesia memerlukan metode Omnibus Law, sebagai salah satu cara untuk melakukan pembenahan peraturan perundang-undangan yang ada.
Baca juga: Farid Ahmad Okbah Sempat Bertemu Jokowi di Istana Sebelum Ditangkap, Densus 88: No Comment
Utamanya, lanjut dia, menyangkut masalah tumpang tindih peraturan, ketidaksesuaian materi muatan, hiperregulasi, sampai pada problem ego sektoral.
"Saya berpendapat Omnibus Law menjadi jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia secara cepat, efektif, dan efisien."
"Serta dapat menjadi solusi untuk melakukan penataan dan harmonisasi existing regulasi," tuturnya.
Baca juga: Pesan Dudung kepada Prajurit Kodam XVIII Kasuari: Cintai Masyarakat Papua Seperti Diri Sendiri
Christina berpendapat, pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode Omnibus Law bukanlah barang baru di Indonesia.
Metode ini sudah diterapkan sejak lama, sebagai contoh untuk menyederhanakan sekitar 7.000 peraturan peninggalan Hindia Belanda menjadi sekitar 400 peraturan.
Namun demikian, metode yang digunakan tersebut belum diperkenalkan ke publik sebagai omnibus law.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 26 November 2021: Dosis Pertama 137.505.204, Suntikan Kedua 93.105.029
Menurutnya, praktek pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law baru benar-benar dikenal publik, ketika proses legislasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja dimulai.
Dan hingga kini sudah lahir setidaknya 4 peraturan perundang-undangan yang disusun menggunakan metode ini.
"Dimulai dari UU Cipta Kerja, Perppu 1/2020, PP 9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha, dan Permenkeu 18/PMK.03/2021."
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Bilang Pemerintah Berpotensi Lumpuh Jika UU Cipta Kerja Tak Segera Diperbaiki
"Oleh karena itu, kami sepakat bahwa revisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan akan menjadi jalan terbaik untuk mengadopsi teknis aplikasi metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia."
"Sekaligus menjadi kesempatan untuk memikirkan solusi permasalahan tumpang tindih peraturan dan ketidaksesuaian materi muatan," ucapnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11/2020, bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 26 November 2021: Dosis Pertama 137.505.204, Suntikan Kedua 93.105.029
"Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6573) bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945."
"Dan tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan Chanel YouTube MK, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: KRONOLOGI Cekcok Ibu Arteria Dahlan di Bandara, Anggiat Pasaribu Ternyata Pengidap Leukimia
MK pun memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan.
"Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," kata Anwar.
Anwar juga mengatakan, jika tak dilakukan perbaikan, maka materi muatan atau pasal UU yang dicabut UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali.
Baca juga: Diperiksa Polisi karena Mimpi Bertemu Rasulullah, Haikal Hassan: Terjadi Saat Anak Saya Meninggal
"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas."
"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ucap Anwar
Dalam putusan ini, empat hakim MK menyatakan dissenting opinion, yakni Anwar Usman, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul.
Baca juga: AHY: Moeldoko Tidak akan Berhenti Sampai Keinginannya Tercapai, Bahkan Menghalalkan Segala Cara
Putusan MK ini merujuk pada uji formil yang diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas.
Lalu, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta tiga orang mahasiswa, yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.
Uji formil tersebut tercatat dalam 91/PUU-XVIII/2020.
MK Minta Buruh Tawarkan Solusi Kekosongan Hukum Jika UU Cipta Kerja Diputuskan Inkonstitusional
Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 turut menawarkan solusi hukum, jika UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.
Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan gugatan serikat buruh terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, tak mau mengabulkan sebuah permohonan dengan alasan ketidakpastian hukum, tapi berdampak pada memunculkan ketidakpastian hukum baru.
Mengingat, para pemohon dalam petitumnya meminta majelis menyatakan sejumlah aturan di UU 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga: Pangdam Jaya Usulkan FPI Dibubarkan, Sekjen PKS: Aneh, Offside
"Kalau memang nanti ada yang dikabulkan lalu memunculkan kekosongan hukum, apa yang harus dilakukan?
"Karena bagaimanapun Mahkamah tidak ingin mengabulkan permohonan karena alasan ketidakpastian hukum, lalu menciptakan ketidakpastian hukum baru," kata Saldi dalam sidang yang digelar daring di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020).
Saldi menjelaskan, permohonan pemohon yang meminta sejumlah aturan UU Cipta Kerja inkonstitusional, bisa berdampak pada kekosongan norma.
Baca juga: Dapat Izin dari Pemerintah Pusat, Pemprov DKI Tak Mau Langsung Gelar Belajar Tatap Muka di Sekolah
Lantaran, produk hukum yang lama sudah dicabut dan digantikan dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja.
Bila sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja diminta dinyatakan inkonstitusional, maka dampaknya tidak ada hukum yang mengatur persoalan yang gugatannya dikabulkan.
"Makanya harus ditawarkan juga apa jalan keluar yang mestinya dilakukan kalau ini dikabulkan."
Baca juga: Cuma Sekolah yang Lolos Kualifikasi Protokol Kesehatan Boleh Belajar Tatap Muka Mulai Januari 2021
"Itu sisi lain yang harus diperhatikan betul oleh pemohon dan kuasa hukumnya."
"Agar kami bisa diberi pengayaan masing-masing pasal itu mengapa dia dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," imbuhnya.
Adapun perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 Indonesia 23 November 2020: Pasien Positif Tembus 502.110 Orang, 16.002 Wafat
Juga, Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FS. Faskes-R), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), hingga pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya.
Dalam permohonan ini, pemohon mencantumkan 92 petitum. Secara garis besar, pemohon menyoal 12 poin utama, meliputi persoalan lembaga pelatihan kerja.
Juga, Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pekerja Alih Daya, Waktu Kerja, Cuti, Upah, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Baca juga: Peringatan Dini Cuaca Jabodetabek 23 November 2020: Batuceper Hingga Mauk Hujan Sedang-Deras
Kemudian, Uang Pesangon (UP), Penghargaan Masa Kerja (PMK), Uang Penggantian Hak (UPH), Penghapusan Saksi Pidana, dan Jaminan Sosial.
Terdapat 3 Pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digugat, yakni pasal 81, pasal 82, dan pasal 83.
Salah satu yang digugat yaitu frasa "Alih Daya" dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja.
Baca juga: 169 Warga Petamburan yang Dites Gratis oleh Polda Metro Jaya Non Reaktif Covid-19, Besok Terakhir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Alih dan Daya merupakan kata sendiri- sendiri, dengan alih berarti pindah atau ganti, dan daya berarti kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.
Bila digabungkan, pemohon menilai dalam konteks hubungan kerja Alih Daya diartikan sebagai menukar atau mengganti pekerja yang berstatus tetap dengan pekerja dari perusahaan alih daya.
Alias frasa itu bisa memunculkan perbudakan moderen, perdagangan manusia untuk dipekerjakan orang lain.
Baca juga: Lingkungan Rumah Rizieq Shihab Sudah Disemprot Disinfektan, Ada Warga yang Menolak
Menurut pemohon, diubahnya pasal UU Ketenagakerjaan berpotensi menciptakan perbudakan zaman modern kepada pekerja.
Karena, syarat tentang jenis dan sifat pekerjaan yang sebelumnya diatur dalam pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan telah dihapus melalui UU Cipta Kerja.
92 Petitum
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang gugatan uji materil UU Cipta Kerja yang diajukan oleh serikat pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Selasa (24/11/2020).
Sidang perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 itu digelar perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Sidang dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Presiden KSPI Said Iqbal dan Sekjen KSPI Ramidi selaku pemohon I, serta Sekjen KSPSI Hermanto Achmad selaku pemohon II.
Baca juga: Sebelumnya Kena DBD, Kini Surya Paloh Dinyatakan Positif Covid-19
Dalam gugatan ini, para pemohon membuat berkas permohonan setebal 304 halaman, termasuk mencantumkan 92 poin petitum di dalamnya.
Kuasa hukum para pemohon, Muhammad Andi Asrun, menjabarkan sejumlah petitum yang mereka minta.
Antara lain menyatakan tanda baca titik koma (;) dan kata "atau" setelah frasa "lembaga pelatihan kerja swasta" dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b yang termuat dalam pasal 81 angka 1 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: Doni Monardo Akui Kasus Covid-19 di Jakarta Melonjak Akibat Aktivitas Rizieq Shihab
Yang mengubah ketentuan pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi "lembaga pelatihan kerja swasta".
Pemohon juga meminta hakim konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 37 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.
Ddan dinyatakan tidak punya ketentuan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum".
Baca juga: Kepala KUA Tanah Abang Dicopot Gara-gara Pernikahan Putri Rizieq Shihab, Kini Jadi Penghulu
Para pemohon meminta majelis hakim mengabulkan seluruh permohonan mereka, dan menyatakan para pemohon punya kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana semestinya."
"Atau apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya," kata Andi membacakan petitum. (Vincentius Jyestha)