Tolak Penetapan Upah Minimum 2022, Buruh KSPSI Besok Gelar Unjuk Rasa di Patung Kuda

Menurutnya, PP Nomor 36 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang kini sedang diuji di MK.

Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha
Ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) bakal menggelar aksi unjuk rasa di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021) besok. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) bakal menggelar aksi unjuk rasa di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021) besok.

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengatakan, ada tiga tuntutan dalam aksi tersebut.

Pertama, KSPSI sebagai konfederasi buruh terbesar di Indonesia menolak formula penetapan upah minimum menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Baca juga: Nihil Zona Merah Covid-19 di Indonesia Terus Berlanjut, Kuning Menyusut Lagi Jadi 480 Daerah

Menurutnya, PP Nomor 36 Tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang kini sedang diuji di MK.

Jadi, tidak layak jika penetapan upah tetap memakai formula tersebut.

"Kami dengan tegas menolak formuka PP ini, karena kami mempunyai prinsip PP ini tidak punya rasa keadilan terhadap buruh."

Baca juga: Jabatan 57 Bekas Pegawai KPK di Polri Sudah Ditentukan, Bakal Ada yang Jadi Penyidik Hingga Keamanan

"Maka kami menolak dan akan menyatakan dalam aksi damai kami besok," ujar Andi dalam konferensi pers, Rabu (24/11/2021).

Kemudian yang kedua, Andi Gani mengungkapkan besok merupakan sidang pembacaan putusan gugatan uji materi terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sehingga, KSPSI meminta MK yang besok akan mengumumkan keputusan formil uji materi UU Cipta Kerja, bisa berlaku adil.

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Bertambah Jadi 37, di Jawa dan Bali Tetap Nihil

"Kami berharap hakim MK bisa berlaku seadil-adilnya."

"Karena, saya yakin MK merupakan benteng keadilan terakhir yang bisa memutuskan secara adil dan selalu ada untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia," tuturnya.

Ketiga, Pimpinan Konfederasi Buruh Se-ASEAN (ATUC) ini juga meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian merevisi atau bahkan mencabut instruksi Mendagri ke kepala daerah, dalam rangka penetapan upah minimum.

Baca juga: Polri Pastikan Tak Lakukan Penyekatan Saat Penerapan PPKM Level 3 Nasional, Penindakan Masih Digodok

Andi Gani menegaskan, aksi besok merupakan rangkaian dari rencana aksi besar yang rencananya dilakukan pada 29 dan 30 November 2021.

Namun, rencana aksi besar gabungan dari beberapa konfederasi buruh masih terus dikoordinasikan.

Andi Gani menginstruksikan seluruh anggotanya tetap menjaga ketertiban dalam aksi unjuk rasa, dan tetap mengedepankan protokol kesehatan.

Baca juga: Hari Ini Polresta Bandara Soetta Periksa Arteria Dahlan, Besok Giliran Wanita Mengaku Anak Jenderal

Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit KSPSI Roy Jinto mengatakan, aksi besok tidak hanya di Jakarta tapi juga dibeberapa wilayah, salah satunya Jawa Barat.

Roy memastikan ribuan buruh di Jawa Barat akan turun ke jalan besok.

Pertama, di depan Gedung Sate Bandung yang rencananya akan dihadiri oleh 3.000 buruh. Kemudian, sekitar 5.000 buruh akan datang ke Jakarta.

Baca juga: Ketua DPRD DKI Ingin Jembatani Permintaan Maaf Brigjen Zamroni, Arteria Dahlan Malah Anggap Dekingan

"Tuntutannya sama. Pertama, meminta MK membatalkan UU Cipta Kerja."

"Kedua, meminta upah minimum tahun 2022 diputuskan secara adil dan bijaksana," jelasnya.

Turut hadir dalam konferensi pers tersebut, Sekjen KSPSI Hermanto Achmad, Ketua Umum PP FSP KEP SPSI R. Abdullah, dan Bendahara Umum KSPSI Mustopo.

Upah Minimum di RI Terlalu Tinggi Dibandingkan Produktivitas

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan, upah minimum (UM) di Indonesia terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan nilai produktivitas tenaga kerja.

Menurutnya, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia masih berada di urutan ke-13 Asia.

"Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional."

Baca juga: Tunjuk Bambang Pacul Jadi Ketua Komisi III DPR, PDIP Dinilai Ingin Amankan Sesuatu yang Strategis

"Komparasinya ketinggian itu dengan produktivitas," kata Dita Indah Sari lewat keterangan pers, Jumat (19/11/2021).

Selain itu, menurut Dita, dari sisi jam kerja saja, di Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja.

Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara saja, jumlah hari libur di Indonesia masih terlalu banyak.

Baca juga: Uni Eropa Bolehkan Warga Indonesia Pelesiran ke Benua Biru, Wajib Vaksin Covid-19 Dosis Lengkap

"Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak," ujar Dita.

Dibanding Thailand misalnya, jam kerja di Indonesia per minggu lebih sedikit.

Di Thailand dalam seminggu jam kerja mencapai 42 hingga 44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.

Baca juga: Sisir Pakai Drone, TNI-Polri Ciduk Dua Orang Usai Baku Tembak Lawan KKB di Polsek Sugapa Papua

Untuk hari libur, di Indonesia dalam setahun dapat mencapai 20 hari libur.

Belum lagi ditambah dengan beragam cuti. Sedangkan di Thailand dalam setahun tidak lebih 15 hari libur.

Dengan semakin sedikitnya jam kerja, kata Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi sedikit.

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 19 November 2021: 360 Orang Positif, 516 Pasien Sembuh, 5 Meninggal

Sehingga, hal ini berpengaruh terhadap nilai produktivitas yang rendah.

Dita menambahkan, produktivitas Indonesia pun masih kalah dari Thailand, di mana Thailand poinnya mencapai 30,9, sedangkan Indonesia hanya 23,9.

Adapun dari sisi upah, upah minimum di Indonesia justru lebih tinggi dari Thailand.

Baca juga: Molnupiravir Tiba Bulan Depan, Menkes: Kalau Ada Gelombang Baru, Kita Sudah Siap dengan Obatnya

Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp 4.104.475, upah minimum tersebut diberlakukan di Phuket.

Sementara itu di Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp 4.453.724, nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin saja.

“Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian, enggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja,” paparnya.

Baca juga: Tiga Tersangka Kasus Pendanaan Terorisme yang Diciduk di Bekasi Terancam Dibui 15 Tahun

Untuk itu, ia menyatakan kebijakan pengupahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional.

Sehingga, diharapkan upah menjadi pembanding yang adil terhadap nilai produktivitas.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah ungkap tujuan pemerintah menetapkan UM sesuai aturan yang diamanatkan dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.

Baca juga: Mardani Ali Sera: Penetapan Jadwal Pemilu 2024 Penting untuk Akhiri Isu Masa Jabatan Presiden

Ida mengatakan, kebijakan penetapan UM adalah salah satu program strategis nasional.

Kebijakan UM ditujukan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan, serta untuk mendorong kemajuan ekonomi Indonesia melalui pengupahan yang adil dan berdaya saing.

“UM dimaksudkan sebagai perlindungan kepada pekerja/buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah, akibat posisi tawar mereka yang lemah dalam pasar kerja,” kata Ida pada konferensi pers virtual, Selasa (16/11/2021).

UM adalah upah terendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan.

Menaker mengatakan, besaran UM saat ini hampir di seluruh wilayah sudah melebihi median upah.

Bahkan, Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan Kaitz Index lebih besar dari 1, di mana idealnya berada pada kisaran 0,4 s.d. 0,6.

“Kondisi UM yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya, dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” jelas Ida.

Menurutnya, hal tersebut sudah sangat terlihat, yaitu dengan UM dijadikan upah efektif oleh pengusaha, sehingga kenaikan upah cenderung hanya mengikuti upah minimum tanpa didasari oleh kinerja individu.

Hal ini juga yang kemudian membuat serikat pekerja/buruh lebih cenderung menuntut kenaikan UM dibandingkan membicarakan upah berbasis kinerja/produktivitas.

Menaker berujar, UM berdasarkan PP 36/2021 hanya berdasarkan wilayah, yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Sehingga tidak ada lagi penetapan UM berdasarkan sektor, namun UMS yang telah ditetapkan sebelum tanggal 2 November 2020 tetap berlaku, hingga UMS tersebut berakhir atau UMP/UMK di wilayah tersebut telah lebih tinggi.

“Dengan demikian UMS tetap berlaku dan harus dilaksanakan oleh pengusaha,” ujarnya.

Pihaknya di Kemnaker telah menyampaikan data-data yang bersumber dari BPS dalam penetapan UM kepada seluruh gubernur.

Dengan demikian, seluruh kepala daerah dapat menetapkan upah minimum sesuai ketentuan dan sekaligus mencermati kondisi di daerahnya berdasarkan indikator makro daerahnya.

“Gubernur harus menetapkan UMP paling lambat tanggal 21 November 2021."

"Karena tanggal 21 November merupakan hari libur nasional, maka penetapannya harus dilakukan paling lambat 1 hari sebelumnya, yaitu tanggal 20 November 2021,” paparnya. (Fahdi Fahlevi)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved