Upah Minimum 2022 Cuma Naik 1,09 Persen, KSPSI Ancam Gelar Aksi Unjuk Rasa Nasional

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengaku kecewa atas keputusan tersebut.

Kompas.com
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea (kiri) mengaku heran dengan formula yang dipakai pemerintah dalam menetapkan upah minimum sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menolak kenaikan upah minimum sebesar 1,09 persen, yang ia nilai sangat tidak layak dan merugikan para pekerja.

Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengaku kecewa atas keputusan tersebut.

"Kenaikan upah ini tidak adil. Kami sangat menolak," ujar Andi Gani dalam konferensi pers usai Rapat Koordinasi Nasional Anggota Dewan Pengupahan KSPSI di Jakarta, Jumat (19/11/2021).

Baca juga: Takkan Ada Penyekatan Saat Libur Nataru, Pelaku Perjalanan Belum Divaksin Bakal Disuntik di Tempat

Andi Gani menilai, kenaikan sangat tidak adil karena menyamaratakan semua industri.

Menurutnya, ada sejumlah sektor usaha yang punya pertumbuhan di atas angka tersebut, seperti rumah sakit, farmasi, telekomunikasi, dan sektor pertambangan.

Andi Gani mengaku heran dengan formula yang dipakai pemerintah dalam menetapkan upah minimum sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Baca juga: Anggota Komisi Fatwa Diringkus Densus 88, Jubir Wapres: Tuntutan Bubarkan MUI Kurang Relevan

Saat ini Undang-undang Cipta Kerja tengah digugat di Mahkamah Konstitusi untuk uji formil dan materiel.

Dengan begitu, belum ada keputusan hukum yang tetap untuk UU Cipta Kerja tersebut.

"Karena aturan turunan dari UU Cipta Kerja ini belum inkrah, belum ada keputusan MK, maka harusnya formula lama yang dipakai."

Baca juga: Stafsus Presiden: Kesalahan Personal Jangan Dibebankan kepada MUI yang Punya Ribuan Ulama Moderat

"Kami minta Menaker menentukan formula yang tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi buruh," tutur Andi Gani.

Dirinya meminta agar Anggota Dewan Pengupahan dari KSPSI baik itu melalui DPD dan DPC KSPSI, berupaya memperjuangkan kenaikan upah minimum 2022 secara maksimal.

"DPP KSPSI meminta perangkat organisasi DPD dan DPC KSPSI mengawal perundingan dan memberikan arahan kepada Anggota Dewan Pengupahan dari KSPSI, untuk mencapai hasil yang terbaik," ujar Andi Gani.

Baca juga: Fadli Zon Tak Lagi Berkicau di Twitter Usai Ditegur Prabowo, Riza Patria: Tanya Langsung Aja

Andi Gani mengaku sudah menemui beberapa petinggi negara untuk melakukan dialog intensif terkait penetapan upah buruh. Namun, ia enggan merinci hasil pertemuan tersebut.

Andi Gani juga menjelaskan, hingga kini pihaknya masih terus berkoordinasi untuk mengambil keputusan selanjutnya, jika menemui jalan buntu dalam dialog-dialog yang dilakukan dengan pemerintah.

"Kami tidak akan tinggal diam."

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 20 November 2021: Suntikan Pertama 134.025.009, Dosis Kedua 88.760.197

"Kami masih menunggu, masih ada waktu 10 hari sebelum diputuskan secara resmi pemerintah. Saya harap ada perubahan."

"Kalau tidak, terpaksa akan ada aksi besar nasional di seluruh wilayah Indonesia, yang akan ditentukan dalam waktu dekat," papar Andi Gani.

Namun, ia mengimbau untuk daerah yang sudah menetapkan akan berunjuk rasa, tetap mengedepankan unjuk rasa damai dan menerapkan protokol kesehatan ketat.

Upah Minimum di RI Terlalu Tinggi Dibandingkan Produktivitas

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari mengatakan, upah minimum (UM) di Indonesia terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan nilai produktivitas tenaga kerja.

Menurutnya, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia masih berada di urutan ke-13 Asia.

"Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional."

Baca juga: Tunjuk Bambang Pacul Jadi Ketua Komisi III DPR, PDIP Dinilai Ingin Amankan Sesuatu yang Strategis

"Komparasinya ketinggian itu dengan produktivitas," kata Dita Indah Sari lewat keterangan pers, Jumat (19/11/2021).

Selain itu, menurut Dita, dari sisi jam kerja saja, di Indonesia sudah terlalu banyak hari libur bagi pekerja.

Bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara saja, jumlah hari libur di Indonesia masih terlalu banyak.

Baca juga: Uni Eropa Bolehkan Warga Indonesia Pelesiran ke Benua Biru, Wajib Vaksin Covid-19 Dosis Lengkap

"Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak," ujar Dita.

Dibanding Thailand misalnya, jam kerja di Indonesia per minggu lebih sedikit.

Di Thailand dalam seminggu jam kerja mencapai 42 hingga 44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.

Baca juga: Sisir Pakai Drone, TNI-Polri Ciduk Dua Orang Usai Baku Tembak Lawan KKB di Polsek Sugapa Papua

Untuk hari libur, di Indonesia dalam setahun dapat mencapai 20 hari libur.

Belum lagi ditambah dengan beragam cuti. Sedangkan di Thailand dalam setahun tidak lebih 15 hari libur.

Dengan semakin sedikitnya jam kerja, kata Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi sedikit.

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 19 November 2021: 360 Orang Positif, 516 Pasien Sembuh, 5 Meninggal

Sehingga, hal ini berpengaruh terhadap nilai produktivitas yang rendah.

Dita menambahkan, produktivitas Indonesia pun masih kalah dari Thailand, di mana Thailand poinnya mencapai 30,9, sedangkan Indonesia hanya 23,9.

Adapun dari sisi upah, upah minimum di Indonesia justru lebih tinggi dari Thailand.

Baca juga: Molnupiravir Tiba Bulan Depan, Menkes: Kalau Ada Gelombang Baru, Kita Sudah Siap dengan Obatnya

Di Thailand dengan nilai produktivitas 30,9 poin, upah minimumnya mencapai Rp 4.104.475, upah minimum tersebut diberlakukan di Phuket.

Sementara itu di Indonesia, dengan upah minimum di Jakarta mencapai Rp 4.453.724, nilai produktivitasnya cuma mencapai 23,9 poin saja.

“Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian, enggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja,” paparnya.

Baca juga: Tiga Tersangka Kasus Pendanaan Terorisme yang Diciduk di Bekasi Terancam Dibui 15 Tahun

Untuk itu, ia menyatakan kebijakan pengupahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional.

Sehingga, diharapkan upah menjadi pembanding yang adil terhadap nilai produktivitas.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah ungkap tujuan pemerintah menetapkan UM sesuai aturan yang diamanatkan dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.

Baca juga: Mardani Ali Sera: Penetapan Jadwal Pemilu 2024 Penting untuk Akhiri Isu Masa Jabatan Presiden

Ida mengatakan, kebijakan penetapan UM adalah salah satu program strategis nasional.

Kebijakan UM ditujukan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan, serta untuk mendorong kemajuan ekonomi Indonesia melalui pengupahan yang adil dan berdaya saing.

“UM dimaksudkan sebagai perlindungan kepada pekerja/buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah, akibat posisi tawar mereka yang lemah dalam pasar kerja,” kata Ida pada konferensi pers virtual, Selasa (16/11/2021).

UM adalah upah terendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan.

Menaker mengatakan, besaran UM saat ini hampir di seluruh wilayah sudah melebihi median upah.

Bahkan, Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan Kaitz Index lebih besar dari 1, di mana idealnya berada pada kisaran 0,4 s.d. 0,6.

“Kondisi UM yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya, dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” jelas Ida.

Menurutnya, hal tersebut sudah sangat terlihat, yaitu dengan UM dijadikan upah efektif oleh pengusaha, sehingga kenaikan upah cenderung hanya mengikuti upah minimum tanpa didasari oleh kinerja individu.

Hal ini juga yang kemudian membuat serikat pekerja/buruh lebih cenderung menuntut kenaikan UM dibandingkan membicarakan upah berbasis kinerja/produktivitas.

Menaker berujar, UM berdasarkan PP 36/2021 hanya berdasarkan wilayah, yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Sehingga tidak ada lagi penetapan UM berdasarkan sektor, namun UMS yang telah ditetapkan sebelum tanggal 2 November 2020 tetap berlaku, hingga UMS tersebut berakhir atau UMP/UMK di wilayah tersebut telah lebih tinggi.

“Dengan demikian UMS tetap berlaku dan harus dilaksanakan oleh pengusaha,” ujarnya.

Pihaknya di Kemnaker telah menyampaikan data-data yang bersumber dari BPS dalam penetapan UM kepada seluruh gubernur.

Dengan demikian, seluruh kepala daerah dapat menetapkan upah minimum sesuai ketentuan dan sekaligus mencermati kondisi di daerahnya berdasarkan indikator makro daerahnya.

“Gubernur harus menetapkan UMP paling lambat tanggal 21 November 2021."

"Karena tanggal 21 November merupakan hari libur nasional, maka penetapannya harus dilakukan paling lambat 1 hari sebelumnya, yaitu tanggal 20 November 2021,” paparnya. (Fahdi Fahlevi)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved