Eksklusif Warta Kota
Imbas Covid-19, Inilah Pembangunan Infrastruktur DKI Jakarta yang Jadi Fokus Utama
Meski anggaran DKI Jakarta "terpukul" buntut pandemi Covid-19, namun sejumlah proyek tetap dikerjakan. Bahkan ada yang sudah rampung.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Dian Anditya Mutiara
Lalu bagaimana status kepemilikan lahannya?
Kami buat perjanjian kerja sama (PKS), saya mewakili Pemerintah DKI yang ditunjuk Gubernur agar meneken PKS dengan pemilik lahan-lahan itu.
Saya tanda tangani kontrak, ada hak dan kewajiban. Masalah luas lahan mereka, itu tidak habis artinya tidak hilang di sertifikat. Hanya berkurang fungsinya karena untuk pembangunan fasilitas publik.
Misalnya di sertifikat punya luas 1.000 meter persegi, terkena 200 meter persegi untuk trotoar, tapi di sertifikat tetap 1.000 meter persegi.
Untuk lahan 200 meter persegi itu tidak kami bebankan pajak bumi dan bangunan (PBB), saat bayar PBB mereka hanya dikenakan beban 800 meter persegi. PKS itu berlaku selama tidak ada perubahan peruntukkan.
Ada berapa total lahan warga di sana yang diserahkan untuk trotoar?
Banyak, beberapa kan ada hotel dan kuliner. Alhamdulillah kami kontrak hampir 100 PKS di wilayah itu, baik di Kemang 1 maupun di Kemang Raya.
Untuk total luas lahannya juga cukup besar, tanpa kami kolaborasi dengan masyarakat di sekitar dan aparatur wilayah, itu tidak akan terjadi.
Waktu mau dibangun trotoar, kami juga sampaikan model dan desainnya. Sosialisasi kami lakukan secara terus menerus sampai 10 kali.
Mereka kami ajak bicara model dan desainnya sehingga begitu selesai dibangun mereka merasa senang karena ikut terlibat.
Dengan adanya penataan itu, otomatis ada perubahan di lahan mereka yang awalnya dari zona permukiman akan diubah menjadi zona perekonomian. Itu harus diubah, daripada peruntukkannya sebagai zona permukiman, namun nyatanya sebagai zona ekonomi.
Apa kendala yang dihadapi saat ingin menjalin kolaborasi dengan masyarakat pemilik lahan tersebut?
Pada saat kami membangun, pro dan kontra memang biasa terjadi dalam penataan kawasan. Di sinilah peran pemerintah daerah membangun, jadi pihak yang pro dan kontra itu tetap kami fasilitasi.
Kalau pihak yang pro kami enak memfasilitasi, tapi yang kontra ini kami harus bisa melihat apa keinginan mereka.
Kami gali antara satu, dua sampai tiga orang tapi ada juga yang menjadi provokator. Jadi, provokator sebetulnya tidak punya lahan di situ, tapi dia berkepentingan mem-back up salah satu pemilik dari pihak yang kontra. Istilahnya mereka jadi pengacaranya.
Pada saat itu saya sempat disomasi dan mendapat tekanan tapi kami sudah punya niat baik dan bicara lanjang lebar.
Ini tidak serta semudah membalikkan telapak tangan, tapi rencana ini sudah lama. Dulu perkumpulan Kemang itu ingin mengubah kawasan dengan dana mereka, lalu kami tunggu-tunggu rupanya tidak terlaksana.
Akhirnya kami menangkap ide mereka dan menawarkan, nanti dibiayai pakai APBD. Hal itu disambut luar biasa kepada orang yang pro tersebut, akhirnya kami kolaborasi dengan mereka. Kemudian yang kontra kami fasilitasi kemauannya, karena itu dalam kontrak dituangkan di sana.
Di kontrak kami tanyakan mau Anda apa, nanti kami tuangkan tapi Anda punya tanggung jawab ini, misalnya. (faf/eko)