Virus Corona
KISAH Lansia Lolos dari Maut Covid-19, Nugroho F Yudho: Jangan Berhenti Berikhtiar Untuk Sembuh!
Wartawan senior Kompas Nugroho Fery Yudho yang termasuk lanjut usia berhasil bertahan dan sembuh dari Covid-19 yang nyaris berakibat fatal.
Dengan begitu, sambil mengobati diri dari Covid, secara simultan kita juga mengobati gangguan pada organ atau fungsi tubuh lain yang dirusak oleh virus tersebut.
Kenaikan D Dimer misalnya, hampir pasti terjadi pada semua penderita Covid.
Apalagi buat mereka yang memang punya kecenderungan darah kental.
Jadi obat pengencer darah bisa dikonsumsi bersamaan dengan obat untuk mengatasi Covidnya.
Begitu juga obat-obat untuk komorbid yang Anda miliki.
Periksa laboratorium
Rangkaian tes laboratorium ini terutama wajib bagi anda yang memilih isolasi mandiri sebagai pilihan cara berobat.
Saya tidak melakukannya.
Itu kesalahan saya.
Saya melakukannya setelah saya dinyatakan negatif dari Covid.

Nah, ini sebenarnya juga wajib Anda lakukan.
Buat apa?
Supaya kita tahu apa saja PR yang tersisa setelah Covid-nya pergi.
Bahkan setelah sembuh dari Covid, Anda juga harus periksa thorax untuk melihat kondisi paru-paru.
Biasanya paru-paru juga dirusak oleh Covid.
Jadi pemeriksaan laboratorium yang wajib dilakukan itu dua kali, yaitu pada akhir minggu pertama dan setelah Anda dinyakan negatif.
Kalau mau afdol periksakan lagi sebulan setelahnya untuk tahu apakah Anda sudah pulih atau belum.
Varian baru
Jika Anda merasa bahwa Anda terkena Covid dengan varian baru seperti saya, maka kalau bisa jangan memilih isolasi mandiri sebagai opsi perawatan.
Usahakan dirawat di rumah sakit saja.
Kalau tidak, Anda akan merasakan siksaan yang saya rasakan.
Saya merasa gejala Covid saya berbeda dengan yang umum saya dengar.
Saya tidak batuk, tidak sesak napas, tidak demam dengan suhu tinggi, tidak mual, muntah maupun diare, saya juga tidak kehilangan indera penciuman atau perasa.
Happy hipoxia
Yang saya rasakan cuma 4 hal, yaitu sakit kepala yang terus menerus, menggigil dengan suhu tubuh normal 35-36 derajat Celcius (jadi kalau saya mau masuk mal atau tempat publik saya pasti lolos deteksi panas tubuh).
Dua gejala lain adalah saturasi turun terus (tanpa ada sesak napas dan tanpa ada gejala ) dan kelainan pada indra perasa.
Dua gejala yang belakangan ini saya baru ngeh resikonya setelah saya diberi tahu tentang resiko happy hypoxia.
Yang dimaksud happy hypoxia adalah kondisi dimana saturasi turun terus tanpa ada keluhan atau gejala.
Ternyata happy hypoxia ini bisa menyebabkan kematian seperti yang sudah terjadi pada salah satu kerabat istri saya.
Baca juga: Dibuka Hingga 31 Juli 2021, Sentra Vaksinasi RPTRA Citra Permata Layani Vaksin Anak, Dewasa & Lansia
Sedangkan untuk kelainan pada indra perasa, sebenarya saya tidak kehilangan rasa, tapi apa pun yang saya makan, rasanya hanya dua di mulut saya, yaitu pahit atau asin sekali.
Ini menurut saya lebih berat dari kehilangan rasa.
Makan menjadi hal yang sangat menyiksa buat saya.
Bobot saya turun 7-8 kg karena siksaan ini.

Mas Nug mengatakan, andai saja dirawat di RS, ia mungkin bisa minta infus untuk membantu asupan makanan.
Yang lebih membingungkan adalah bagaimana mengonsumsi obat-obatan yang diterimanya.
"Saya memilih isolasi mandiri sebagai cara penyembuhan dan memilih telemedicine untuk pengobatan. Saya memilih dokter dari Halodoc untuk konsultasi dan meminta resep. Dokter menuliskan resepnya dan saya menebusnya di apotik, karena Halodoc ternyata tidak memiliki persediaan obat Covid saat itu," tuturnya.
Belakangan, lanjutnya, saya baru ngeh, dari 9 obat yang saya terima, hanya beberapa yang saya pakai.
Obat batuk, obat sesak napas, obat penurun panas, obat anti mual tidak saya pakai karena saya tidak punya gejalanya.
Sementara untuk sakit kepala saya yang berkepanjangan, saturasi yang turun terus, saya bingung harus minum obat apa.
Tidak tidur dan gelisah
Saya juga kebingungan karena selama 14 hari isolasi, saya tidak bisa tidur!
Setelah konsultasi dengan dokter, awalnya saya diberi obat penenang.
Karena tidak mempan, akhirnya diberi obat tidur.
Setelah minum, akibatnya lebih parah, saya tetap tidak bisa tidur tapi sepanjang hari saya sempoyongan karena efek obat tidur itu.
Saya tidak tidur karena gelisah, khawatir, kesepian karena hanya sendirian dan ketakutan.
"Bagaimana mungkin saya tidur kalau setiap tiga jam saturasi saya drop, sehingga saya harus pasang selang oksigen sampai saturasi saya cukup," tuturnya.
Ini semua mungkin tak perlu terjadi kalau saya memilih dirawat di rumah sakit.
"Saya sendiri akhirnya bisa survive dengan mencari-cari sendiri upaya untuk bertahan," lanjutnya.
Baca juga: Dijadikan Layanan Kesehatan Khusus Lansia, Lahan yang Dikuasai Warga di Duren Sawit Bakal Digusur
Inilah upaya itu; Untuk sakit kepala misalnya, saya lawan dengan berjemur selama 1-1,5 jam di panas terik jam antara pukul 11.00 hingga 13.00.
Kalo orang Jawa bilang, sakit kepala saya unda undi dengan sakitnya seluruh badan karena sengatan sinar matahari.
Pada hari ke-7 saya latihan fisik. Mulai dari berjalan kaki, lari-lari kecil sampai push up.
Sakitnya latihan fisik mengalihkan sakit kepala saya.
Makan buah
Untuk makan, pada hari ke-7 saya memakan buah-buahan saja yang ternyata rasanya tidak berubah menjadi pahit atau asin.
Pelan-pelan saya menemukan bahwa telur ayam mentah juga tidak berasa pahit.
Telur rebus, nasi putih atau segala makanan yang tidak punya rasa, ternyata tidak menjadi pahit.
Setiap hari saya mencari makanan yang bisa diterima lidah saya untuk survive atau bertahan hidup.
Untuk tidur saya memilih mengistirahatkan tubuh, meski tidak tidur.
Saya tetap mengambil posisi tidur, memejamkan mata, tapi bangun setiap 3 jam untuk mendongkrak saturasi lewat tabung oksigen selama 3 menitan, lalu mengambil posisi tidur lagi.
Intinya saya ribet sendiri dengan pilihan isolasi mandiri.
Untuk lansia
Kalau anda sudah berusia lanjut seperti saya, maka sebaiknya jangan terkena covid.
Hiduplah di rumah saja, terapkan protokol kesehatan secata ketat.
Mengapa?
Saya ceritakan sedikit tentang kondisi fisik saya sebelum Covid.

Saya berumur 60 tahun (akhir tahun ini 61 tahun). Sudah lansia.
"Tapi saya berani membanggakan diri bahwa saya adalah lansia yang sehat, fit dengan stamina bagus. Saya berolahraga setiap hari, bersepeda setiap hari. Saya tidak pernah ke dokter. Ke dokter terakhir tahun 2016, karena flu berat. Cuma sekali itu dalam 5 tahun," tuturnya.
Tapi, lanjut Mas Nug, semua itu tidak ada artinya ketika kita terpapar Covid.
"Stamina saya hancur sehancur-hancurnya," tuturnya.
Bagaimana pun fitnya badan kita, umur tidak bisa dikesampingkan.
Itu sebabnya, manula masuk kelompok yang rentan.
Jadi kalau Anda lansia, sebaiknya lakukan apa pun untuk menghindari diri terpapar Covid.
Kalau pun masih kena juga, sebaiknya lakukan semua tips yang saya sampaikan tadi.
Rawatlah diri anda di RS, usahakan jangan isolasi mandiri.
Saya bukan ingin menakut-nakuti (sebab covid memang menakutkan).
Saya justru ingin mengajak anda untuk tidak mudah putus asa dan tidak berhenti mencari ikhtiar untuk sembuh.
Saya percaya dengan data pemerintah atau ungkapan dokter atau ahli kesehatan bahwa 90 persen dari penderita Covid-19 bisa sembuh dan pulih seperti sebelumnya.
Itu artinya kita harus menebalkan semangat meningkatkan ikhtiar untuk sembuh sehingga tidak termasuk yang 10 persen. Begitu bukan?
Sejak 20 Juli lalu Mas Nug sudah dinyatakan negatif Covid-19 dan punya gelar baru sebagai lansia penyintas Covid.

Selesaikan kisahnya? Belum.
Sejak ia dinyatakan sembuh dari Covid, ia juga mendapati hasil periksa thorax atau foto paru-paru, ia terkena pneumonia, infeksi viral.
Paru-parunya penuh kabut dan bercak.
Ini ditambah lagi D-Dimer atau penggumpalan darah yang tinggi.
Baca juga: Pemprov DKI Wajibkan Vaksin Covid-19, Ariza: Beda dengan Penyakit Cacar
Seharusnya dibawah 500, ia angka D Dimernya 2.093.
Menurut Mas Nug, ini yang orang perlu tahu mengapa banyak penderita Covid kondisi kesehatannya parah atau beberapa meninggal dunia, justru beberapa hari setelah dia dinyatakan negatif dari Covid.
Setelah Covid-nya bablas, kata Mas Nug, kita justru harus memeriksakan kondisi darah, paru-paru, atau organ-organ lain yang mungkin sempat dirusak oleh Covid-19.
"Jadi seminggu setelah sembuh ini saya lalui lagi dengan berbagai obat, ditambah latihan fisik setiap pagi, dan kondisi saya sekarang membaik. Walaupun stamina hancur, saya menjalani hari-hari dengan lebih semangat. Saya berjalan kaki setiap pagi, mulai dari berjalan sejauh 2 km minggu lalu, tadi pagi sudah 15 km (selama 4 jam hahaha). Jadi meski belum pulih, saya sudah berani bilang, saya punya status baru: Penyintas Covid-19," tuturnya.