Berita Nasional
Cara Gus Dur Tangani Konflik Papua Dikenang, Ini yang Dilakukan KH Abdurrahman Wahid Semasa Hidupnya
Sosok almarhum Presiden ke-4 Indonesia KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenang dalam menangani konflik Papua.
Setahun setelahnya, Megawati Soekarno Putri menggantikan posisi Gusdur.
Imlek menjadi hari libur nasional dimulai pada 2003.
Masa kecil Melansir situs NU, Gus Dur, mempunyai nama asli Abduraahman Addakhil.
Ia merupakan putra sulung dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Sementara itu, dari pihak ibu, Gus Dur adalah cucu dari KH Bisri Sanuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur.
Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikarunia empat putri.
Mereka, yaitu Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid alias Yenni Wahid, Alissa Qotrunnada Wahid, Anita Hayatunnufus Wahid, dan Inayah Wulandari Wahid.
Gus Dur mempelajari agama Islam sejak kecil.
Bahkan di usia 5 tahun, dirinya sudah bisa membaca Al-Qur'an.
Pendidikan dan karir
Setelah lulus dari sekolah dasar, Gus Dur menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan.
Pada saat yang sama, ia juga mengaji di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Selesai dari SMEP, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun.
Lalu, dia menempuh studi ke Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang.
Gus Dur diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci di usianya yang terbilang muda, saat berusia 22 tahun.
Setelah itu Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) dari tahun 1964 sampai 1966.
Ia melanjutkan ke Universitas Baghdad Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970.
Gus Dur juga sempat pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Leiden.
Namun ia merasa kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui.
Dia pun berpindah ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma, di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama, sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.
Selanjutnya, Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis.
Ia menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikel-artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas intelektualnya, Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuatnya harus pulang pergi Jakarta-Jombang.
Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas.
Satu tahun kemudian, ia menambah pekerjaannya menjadi Guru Kitab Al-Hikam.
Pada 1977, Gus Dur bergabung di Universitas Hasyim Asy’ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam.
Ia mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam, dan misiologi.
Pada 1984, Gus Dur berkiprah di NU hingga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah sampai tahun 2000 atau tiga periode.
Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Ia wafat di usia 69 tahun.
(Tribunnews.com/Kompas.com/Mela Arnani)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Mengenang Cara Gus Dur Menghadapi Konflik Papua, Ini yang Dilakukannya" dan Kompas.com ""Profil Presiden Keempat RI: Abdurrahman Wahid"