Pegawai Tak Lulus: Tak Ada Lagi Kolektif Kolegial di KPK, Firli Bahuri yang Getol Dorong TWK
Harun adalah Ketua Satuan Tugas Penyelidikan dalam giat OTT terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat bersama Bareskrim Polri.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harun Al Rasyid menyebut keputusan penyelenggaran tes wawasan kebangsaan (TWK), tidak dibuat oleh seluruh pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
Ia mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri lah yang getol mendorong TWK.
"Saya beberapa kali komunikasi dengan pimpinan yang lain, dan ini sudah dinyatakan oleh pimpinan lainnya, ternyata bahwa di KPK itu sudah tak ada kolegial."
Baca juga: Moeldoko: Terima Kasih kepada Anda yang Memilih Tidak Mudik, Itu akan Menyelamatkan Kita Semua
"Ketua KPK yang gigih dan getol mendorong untuk dilakukannya tes wawasan kebangsaan," kata Harun lewat pesan singkat, Rabu (12/5/2021).
Harun adalah Ketua Satuan Tugas Penyelidikan dalam giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat bersama Bareskrim Polri.
Ia menjadi satu di antara 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos tes, dan saat ini dibebastugaskan oleh Firli Bahuri.
Baca juga: 5 Opsi Ini Bisa Ditempuh 75 Pegawai KPK yang Dibebastugaskan, Patut Diduga Terjadi Diskriminasi
Harun diminta memahami kondisi KPK belakangan.
Namun, ia menyayangkan sikap pimpinan lainnya yang hanya diam saja mengenai terancam dipecatnya 75 pegawai lewat dalih TWK.
Harun berharap pimpinan lainnya mau mengungkapkan ke publik, pernyataan Firli Bahuri yang menyatakan tes ini adalah keputusan lima pimpinan adalah tidak benar.
Baca juga: Menaker Ida Fauziyah: Kita Tunda Mudik Demi Akhiri Pandemi, Tunda Kebahagiaan Sesaat Agar Lebih Baik
Ia yakin, bila pimpinan lainnya mau bersuara, maka permainan ini akan segera berakhir.
“Andai saja pimpinan lainnya berani menyatakan ke publik bahwa yang disampaikan oleh Ketua KPK, bahwa pelaksaan tes itu adalah keinginan pimpinan secara kolektif kolegial tidak benar dan omong kosong, pasti sudah game over permainan ini,” beber Harun.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai TWK menyalahi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.
Baca juga: Mau Liburan ke Monas tapi Ditutup, Warga: Lebaran Masa di Rumah Saja
Dalam UU KPK hasil revisi itu, tidak ada pernyataan bahwa untuk melakukan alih status pegawai menjadi ASN harus melalui TWK.
“Ini adalah upaya untuk menyingkirkan orang-orang yang sedang melakukan pengusutan kasus besar di KPK,” duga peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
Anggota Dewan Pengawas: Keputusan Pembebastugasan 75 Pegawai KPK Tidak Bermasalah Secara Hukum
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menilai, pembebastugasan 75 pegawai yang tak lulus TWK, sesuatu yang wajar.
"Sebaiknya pendapat lebih dikemukakan dengan obyektif dan menghindari subyektivitas yang emosional," ujar Indriyanto kepada wartawan, Kamis (13/5/2021).
Menurut Indriyanto, keputusan KPK ini harus dilihat dari tupoksi wewenang dan fungsi lembaga penegak hukum.
Baca juga: Tak Lagi di Jawa, Peningkatan Kasus Covid-19 Kini Terjadi di Sumatera, Naik Hingga 27,22 Persen
Jadi, lanjutnya, keputusan pimpinan KPK itu dipastikan kolektif kolegial, sama sekali bukan individual Ketua KPK.
"Bahkan Dewas termasuk saya, turut serta hadir pada rapat tersebut, walau selanjutnya substansi keputusan menjadi domain pimpinan kolektif kolegial KPK," tuturnya.
Dia juga mengatakan, keputusan KPK dan Diktum Kedua tentang penyerahan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung itu (dengan istilahnya bukan penonaktifan) haruslah diartikan secara hukum.
Baca juga: Jokowi: Semoga Hari Kemenangan Ini Jadi Momentum Kita Bangkit dan Menang Lawan Pandemi Covid-19
Artinya, yang terbatas dan memiliki kekuatan mengikat yang memang hanya terhadap pegawai di mana hasil ujiannya TMS (Tidak Memenuhi Syarat) yang memegang jabatan struktural.
"Dan keputusan pimpinan KPK masih dalam batas-batas kewenangan terikat yang dimiliki pimpinan KPK," katanya.
Indriyanto menilai hal ini merupakan prosedur hukum yang wajar dan masih dalam tataran proper legal administrative procedures.
Baca juga: Berlebaran Aman dan Nyaman di Masa Pandemi Covid-19, Jangan Bersalaman Atau Berpelukan
Karena itu, kata Indriyanto, memang harus ada penyerahan sementara kepada atasan langsung.
Walau, misalnya saja terjadi arahan atasan berupa keputusan dilakukan secara lisan atau mondelinge beschikking sebagai keputusan tertulis yang ada, tetap sah sebagai keputusan.
Sebab, makna dan tujuan keputusan tidak bertentangan dengan isi dan tujuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Pegawai KPK Dinonaktifkan: Ada yang Sudah Ngebucin Sama Firli Bahuri tapi Masih Tetap Disingkirkan
"Keputusan Aparatur Negara, termasuk Pimpinan KPK ini harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip Presumptio Lustae Causa."
"Bahwa setiap keputusan Aparatur Negara, termasuk polemik Keputusan Pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut, harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku."
"Karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan ada kesalahan."
Baca juga: Masjid Al-Itishom Gelar Salat Idulfitri 1442 Hijriah, Wali Kota Tangsel dan Wakilnya Absen
"Jadi bagi saya, keputusan tersebut tidak bermasalah secara hukum."
"Walau selalu disadari bahwa kalau terkait produk apa pun di kelembagaan KPK akan selalu bisa jadi polemik yang dipermasalahkan," paparnya.
Dia lantas mencontohkan ruang publik melalui peradilan Tata Usaha Negara misalnya, sebagai sarana dalam makna legal solution menjadi basis yang menghargai prinsip negara hukum.
Baca juga: Anggota Paspampres Berpangkat Serda Jadi Imam dan Khatib Salat Idulfitri di Halaman Istana Bogor
"Menurut saya dari sisi hukum, KPK hanya executioner maker, tidak menjadi dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan kajian ulang terhadap hasil assessment BKN-RI sebagai decision makernya."
"Maka sebaiknya keberatan terhadap Keputusan Pimpinan KPK tersebut diserahkan lembaga yang dapat menilai, sepanjang Keputusan sudah dianggap konkret dan final."
"Ini menjadi Hak Penuh (menggugat) bagi siapapun yang merasa dirugikan."
"Namun saya berharap semua organ KPK sebaiknya taat dan patuh hukum, dan bila ada keberatan atas keputusan, ada mekanisme atau prosesual hukum untuk menguji keberatan tersebut," bebernya. (Ilham Rian Pratama)