MK Putuskan KPK Tak Perlu Izin Dewan Pengawas untuk Menyadap, Menggeledah, dan Menyita

Dewas berharap putusan MK tersebut memperkuat kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mahkamah Konstitusi menilai tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justisia. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan memberikan izin tertulis kepada lembaga antikorupsi terkait penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Dewas berharap putusan MK tersebut memperkuat kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

"Dewas tentu menghormati keputusan MK yang bersifat final dan mengikat."

Baca juga: Angin Prayitno Aji dan 5 Orang Lainnya Jadi Tersangka Kasus Suap Pajak, Teriam Uang dari Tiga PT

"Dengan tidak adanya keharusan minta izin Dewas, semoga saja bisa meningkatkan kinerja penindakan KPK," kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris saat dikonfirmasi, Rabu (5/5/2021).

Hal senada dikatakan Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Dengan putusan MK, kata Tumpak, Dewas tidak akan lagi menerbitkan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 4 Mei 2021: Suntikan Pertama 12.672.864, Dosis Kedua 7.981.055 Orang

"Tentunya kita harus menghormati putusan MK yang sejak diucapkan telah mulai berlaku, dan selanjutnya Dewas tidak menerbitkan izin sadap, geledah, dan sita lagi."

"Tiga tugas lain dari Dewas tetap dilaksanakan secara efektif," kata Tumpak.

Tumpak mengaku belum mengetahui sejauh mana pengaruh putusan itu terhadap kerja KPK.

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 4 Mei 2021: Pasien Baru Tambah 4.369, 5.658 Sembuh, 188 Meninggal

Namun, Tumpak berharap putusan itu semakin memperkuat kerja KPK dalam menindak korupsi.

"Tentang apakah KPK akan menjadi lebih kuat dengan dicabutnya tugas Dewas memberikan izin tersebut, tentunya kita lihat dalam pelaksanaannya ke depan."

"Harapannya tentu akan lebih baik," tuturnya.

Baca juga: Isu Puluhan Pegawai KPK Tak Lulus Jadi ASN, Saut Situmorang: Jangan Saring Orang-orang Tough Guy

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji materil terhadap UU 19/2019 tentang KPK, pada perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 yang digugat oleh Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dkk.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, dalam sidang yang disiarkan secara virtual, Selasa (4/5/2021).

Fathul menggugat pasal 12B, 37 B ayat 1 huruf B, dan pasal 47 ayat 2 UU KPK, yang mengatur tentang penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Baca juga: Beda Pendapat, Satu Hakim MK Yakin UU 19/2019 tentan KPK Adalah Undang-undang Baru, Bukan Revisi

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK merupakan bagian dari tindakan pro justisia.

"Maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur penegak hukum menjadi tidak tepat," ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Atas dasar itu, Mahkamah menyatakan frase di Pasal 47 ayat 1 yang berbunyi "atas izin tertulis dari Dewan Pengawas", akan dimaknai menjadi "dengan memberitahukan Dewan Pengawas."

Baca juga: Lulusan Akpol, Novel Baswedan Diragukan Tak Lulus Tes Wawasan Kebangsaan

Mahkamah mengatakan, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, hanya diwajibkan memberitahukan tindakan mereka kepada Dewan Pengawas atau Dewas KPK paling lambat 14 hari kerja, sejak penyadapan dilakukan.

"Sedang penggeledahan dan penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas 14 hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan/penyitaan," ucap Mahkamah.

Sebelumnya, MK menolak gugatan uji formil UU KPK, yang diajukan sejumlah mantan pimpinan KPK seperti Agus Rahardjo, Laode M Syarif, hingga Saut Situmorang.

Dalam sidang agenda pembacaan putusan perkara nomor 79/PUU-XVII/2019, MK menyatakan menolak permohonan provisi maupun pokok permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

"Mengadili dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon."

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Menyusut Jadi 14, Jateng dan Jabar Kembali Muncul

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman membaca amar putusan dalam sidang daring, Selasa (4/5/2021).

Dalam pertimbangannya, MK menolak dalil pemohon soal UU 19/2019 tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum.

Dalil tersebut menurut MK tidak beralasan hukum.

Baca juga: Mahfud MD Ungkap Ada 417 Orang dan 99 Organisasi di Indonesia Masuk DTTOT, Termasuk KKB Papua

MK berpendapat ternyata rancangan undang-undang a quo telah terdaftar dalam Prolegnas, dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas DPR.

Terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan undang-undang, hal tersebut berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut.

Sehingga, tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasinya.

Baca juga: Dikabarkan Tak Lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan, Novel Baswedan: Kalau Benar, Saya Terkejut

Sementara soal asas keterbukaan, anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan berdasarkan bukti lampiran dari DPR terkait rangkaian diskusi publik, DPR sudah melakukan sejumlah seminar nasional di beberapa universitas.

Seperti, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara, hingga Universtias Nasional Jakarta.

DPR juga telah melakukan RDPU dengan akademisi Universitas Ibnu Chaldun, RDPU dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia, RDPU dengan Yusril Ihza Mahendra, dan RDPU dengan Romli Atmasasmita.

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: 9 Daerah Ini Tetap Tak Tersentuh Virus Corona

Berdasarkan surat DPR, DPR tanggal 3 Februari 2016 mengundang pimpinan KPK untuk RDP pengharmonisasian RUU 19/2019.

Namun, Mahkamah menemukan fakta beberapa kali pihak KPK menolak hadir dalam pembahasan revisi UU KPK.

"Hal demikian berarti bukan pembentuk UU (Presiden dan DPR) yang tidak mau melibatkan KPK, tapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan," ujar Saldi Isra.

Baca juga: Isu Puluhan Pegawai Dipecat karena Tak Lulus Tes AWK, KPK Pastikan Hasil Asesmen Masih Disegel

Sedangkan soal dalil tidak kuorum, Mahkamah tidak punya keyakinan cukup soal kehadiran anggota DPR dalam rapat revisi UU KPK tersebut.

Sebab, pihak Pemohon hanya mengajukan bukti berupa fotokopi suasana rapat dan artikel media massa yang tidak menjelaskan keterpenuhan kuorum berdasarkan kehadiran fisik.

Di sisi lain, DPR juga hanya mengajukan bukti rekapitulasi yang memuat kehadiran anggota, serta video rapat paripurna.

Baca juga: Rizieq Shihab: FPI Tidak Setuju Pancasila Diganti karena Peninggalan Ulama

Menurut MK, pembuktian tidak cukup hanya dengan menyerahkan daftar hadir, apalagi jumlah rekapitulasi kehadiran.

"Berdasarkan fakta tersebut, untuk kepentingan pembuktian pengujian formil pemohon dan pembentuk UU tidak cukup hanya mengajukan bukti untuk membuktikan kehadiran anggota DPR hanya daftar hadir yang ditandatangani."

"Apalagi hanya menyerahkan jumlah rekapitulasi kehadiran," jelasnya. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved