Kemampuan Legislasi Dipertanyakan, Baleg DPR: Undang-undang Bukan Kitab Suci, Revisi Hal Normal

Baidowi mengatakan, dalam pembentukan UU ITE 2008 lalu, DPR telah mengundang para pakar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Wartakotalive.com/Budi Sam Law Malau
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi merespons pernyataan Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, yang mempertanyakan kemampuan DPR dalam membuat undang-undang. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, mempertanyakan kemampuan DPR dalam membuat undang-undang.

Hal itu lantaran masih adanya pasal karet dan multitafsir dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Merespons hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, pembentukan UU merupakan kesepakatan antara DPR dan pemerintah.

Baca juga: Polri Takkan Lakukan Penyelidikan Meski Ada Dugaan Penyimpangan Dana Otsus Papua, Ini Alasannya

"Itu orang tidak paham proses pembentukan undang-undang yang selalu menitikberatkan kepada DPR."

"Bilang ke teman-teman TII itu, bahwa proses pembentukan undang-undang itu dari DPR bersama pemerintah," kata Baidowi saat dihubungi Tribunnews, Senin (22/2/2021).

Baidowi mengatakan, dalam pembentukan UU ITE 2008 lalu, DPR telah mengundang para pakar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).

Baca juga: Relawan FPI Disuruh Copot Atribut Saat Bantu Korban Banjir, Kuasa Hukumnya Ogah Ambil Pusing

UU ITE yang dihasilkan memang sudah baik sesuai perkembangan zaman di kala itu.

"Kalau kemudian hari ini ternyata ada pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, ya itu biasa saja, tidak ada yang istimewa," ucap politikus PPP itu.

"Dan ini kan bukan kitab suci."

Baca juga: Mantan Ketua KPK Busyro Muqqodas: Ada Kesamaan Orde Baru dengan Sekarang, Buzzer Dilegalkan UU ITE

"Jadi sebuah produk undang-undang dikatakan bagus di 20 tahun yang lalu, hari ini belum tentu sesuai, sehingga harus dilakukan revisi," ucapnya.

Baleg, kata Baidowi, terbuka untuk merevisi UU ITE jika ada kesepakatan dengan pemerintah.

Sama seperti revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 lalu.

Baca juga: Agar Tak Ada Lagi Korban Seperti Dirinya, Baiq Nuril Berharap Revisi UU ITE Terlaksana

"Saya kira begitu ya, kalau mau direvisi bukan sesuatu yang istimewa, biasa saja, proses politik yang normal, dan itu memang proses legislasi biasa saja."

"Dan kesepakatan pemerintah bersama DPR yang tentunya sudah mendengarkan masukan-masukan dari para pakar di dalamnya," paparnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mempertanyakan kemampuan DPR dalam membuat undang-undang.

Baca juga: Banjir Jakarta, Anies Baswedan: Alhamdulillah, Atas Izin Allah Sehari Kemudian Surut 99,9 Persen

Hal itu ia sampaikan menyoroti pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta DPR merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), jika tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Dalam penerapannya, adanya pasal karet dan multitafsir, sehingga membuat UU ITE kerap dijadikan alat untuk saling lapor.

Baca juga: Kasus Pasien Sembuh Kembali Terinfeksi Covid-19 Ditemukan di Indonesia, Ini Dugaan Penyebabnya

Demikian disampaikan Adinda dalam diskusi daring Para Syndicate bertajuk 'Revisi UU Pemilu dan UU ITE: Substansi, Sensasi, Masturbasi Demokrasi?' Jumat (19/2/2021).

"Ini jadi menarik, karena kalau mau dikaitkan dengan DPR, sebenarnya kemampuan mereka membuat legisasi itu seperti apa?"

"Resources-nya seperti apa?"

Baca juga: Marzuki Alie Siap Mubahalah Soal SBY Bilang Mega Kecolongan 2 Kali, Andi Arief Minta Menahan Diri

"Sehingga kadang-kadang prosesnya jadi membuat parah satu legisasi yang multitafsir, dan day to day dia malah mengancam kebebasan sipil kita," tutur Adinda.

Adinda mengatakan, dalam iklim demokrasi, partisipasi publik diperlukan untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan.

Namun, ketika kritik tersebut malah disambut dengan persekusi, buzzer, dan ancama pidana, maka hal itu sangat mengkhawatirkan.

Baca juga: Ditunjukkan Rekam Medik Lengkap, Komnas HAM Juga Tak Mau Ungkap Penyakit Maaher At-Thuwailibi

UU ITE seolah menjadi alat legitimasi untuk memidanakan orang-orang kritis.

"Ketika ada peraturan perundang-undangan yang sebenarnya mengizinkan, bahkan mengamanahkan partisipasi masyarakat, seharusnya ini disambut baik, bukan malah dipersekusi."

"Dihadapkan oleh buzzer, bahkan dihadapkan pada hukum pidana."

Baca juga: PETA Surati Prabowo, Minta TNI Jangan Santap Hewan Hidup-hidup Saat Latihan Militer Cobra Gold

"Itu sangat menyeramkkan, karena kita sendiri tidak punya kuasa berhadapan dengan kekuasaan hukum negara apalagi aparat hukum," paparnya.

Adinda melihat revisi UU ITE ini mendesak untuk segera dilakukan.

Bila perlu, masyarakat pemilih juga perlu mengawasi jika ada partai politik yang cenderung mendorong peraturan perundang-undangan yang mengekang kebebasan berpendapat, harus dilawan dengan cara tidak memilih mereka saat pemilu.

Baca juga: DAFTAR 25 Pati dan Pamen Polri yang Dimutasi, Perombakan Pertama Jenderal Listyo Sigit Prabowo

"Revisi Undang-Undang ITE ini sangat mendesak dan memang harus dipastikan untuk menyisir pasal-pasal yang multitafsir," paparnya. (Chaerul Umam)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved