Setnov Baru Bayar Fredrich Yunadi Rp 1 Miliar dari Total Fee Rp 20 M, Harga Disepakati Secara Lisan
Mujahidin yang mengaku sebagai pengacara dan terlibat langsung dalam penanganan kasus KTP-el, diajak Fredrich menangani kasus tersebut.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Sidang gugatan advokat Fredrich Yunadi terhadap mantan kliennya, Setya Novanto, Rabu (17/2/2021), menghadirkan saksi fakta bernama Mujahidin.
Mujahidin yang mengaku sebagai pengacara dan terlibat langsung dalam penanganan kasus KTP-el, diajak Fredrich menangani kasus tersebut.
Mujahidin menjelaskan, dalam menangani kasus yang menimpa eks Ketua Umum Partai Golkar itu, Fredrich meminta bayaran Rp 3 miliar per satu surat kuasa kepada Setnov.
Baca juga: UPDATE Covid-19 Indonesia 17 Februari 2021: Pasien Baru Tambah 9.867 Orang, 8.002 Sembuh
Kendati demikian, kesepakatan yang tercipta antara Fredrich dan Setnov hanya sebesar Rp 2 miliar, dengan total 10 surat kuasa yang ditangani dalam persoalan tersebut.
"Awalnya minta 3 M per satu kasus, tapi terakhir akhirnya diputuskan 2 M per satu surat kuasa, untuk satu surat kuasa satu permasalahan," ungkap Mujahidin saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/2/2021).
Kendati demikian, kata Mujahidin, Setya Novanto baru membayar Rp 1 miliar dari angka yang disepakati tersebut.
Baca juga: IPW Prediksi Pekan Depan Sudah Ada Kabareskrim Baru
Oleh karena itu, Fredrich meminta Mujahidin menagih sisa uang yang telah disepakati kepada Setnov.
Karena dirinya tidak mendapatkan kepastian atas penagihan itu, Mujahidin memberi mandat kepada anak buahnya. Namun, usaha yang dilakukan tersebut juga tidak berhasil .
"Kami yang pasang badan untuk Setnov, ketika dilaporin ke KPK, sampai sekarang belum ada pembayaran," ucapnya.
Baca juga: Jokowi Wacanakan Revisi UU ITE, Ini yang Bisa Dilakukan Baleg DPR
Mujahidin mengatakan, kesepakatan yang dibuat oleh Fredrich dan Setya Novanto ini hanya terjalin melalui perjanjian lisan.
"Tidak secara tertulis hanya pembicaraan, saya sama beberapa teman di sana (di kantor) membahas, saya turun ke bawah saya dengar angkanya Rp 2 miliar per kasus," ucapnya.
Sebelumnya, Advokat Fredrich Yunadi menggugat mantan kliennya, bekas Ketua DPR Setya Novanto beserta istri, Deisti Astriani, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca juga: Kompolnas: Dalam Waktu Dekat Ada Penunjukan Kabareskrim Baru
Gugatan yang diajukan Maret 2020 lalu itu terkait biaya jasa hukum alias fee pengacara Fredrich yang tak kunjung dilunasi Setya Novanto.
Dinukil dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (SIPP PN Jaksel), Jumat (6/11/2020), perkara tersebut bernomor 264/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL tertanggal 20 Maret 2020.
Baca juga: Mahfud MD Bilang Rizieq Shihab Ingin Pulang Terhormat Meski Seharusnya Dideportasi karena Overstay
Fredrich meminta majelis hakim menetapkan tergugat I, yakni Setya Novanto dan tergugat II, Deisti Astriani, melakukan perbuatan wanprestasi karena tidak membayar seluruh biaya jasa kuasa hukum.
"Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya."
"Menyatakan sah secara hukum kesepakatan pembayaran biaya Jasa Kuasa Hukum antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I dan TERGUGAT II," demikian sebagian isi gugatan yang dikutip Tribunnews.
Baca juga: Gatot Nurmantyo Dapat Bintang Mahaputera, Mahfud MD: Tak Diberi Curiga, Dikasih Dibilang Mau Bungkam
Fredrich juga meminta majelis hakim menghukum Setya Novanto dan Deisti membayar segala kerugian kepada fredrich sebesar Rp2.250.000.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
1. Kerugian Materiel:
-14 Legal Action (upaya hukum) x Rp2.000.000.000 per-Legal Action (tiap upaya hukum) = Rp28.000.000.000 – Rp1.000.000.000 yang sudah dibayar = Rp27.000.000.000;
Baca juga: Mahfud MD: Rizieq Shihab Bukan Khomeini, Pengikutnya Tidak Banyak
- 2 persen x Rp27.000.000.000 per bulan bilamana dihitung dengan nilai investasi suku bunga bank, terhitung sejak somasi disampaikan dan diterima Tergugat I pada bulan Oktober 2019 hingga putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap.
2. Kerugian Immaterial:
Total Rp2.256.125.000.000 dari perincian:
Baca juga: Jaksa Agung Divonis Bersalah oleh PTUN, Jamdatun: Kami akan Banding Keputusan yang Tidak Benar
- 1 bulan pidana kurungan = Rp62.500.000 x 90 bulan (total masa pidana kurungan PENGGUGAT) = Rp5.625.000.000;
- Uang tunai pembayaran denda sebesar Rp500.000.000
- Kehilangan pemasukan nafkah sebesar Rp25.000.000.000 perbulannya x 90 = Rp2.250.000.000.000
Baca juga: Jurus Baru Lawan Covid-19, Pemkab Bekasi Ajak Warga Terapkan 3W
Dan bilamana perlu dengan cara lelang terhadap harta kekayaan TERGUGAT I dan TERGUGAT II, baik yang diletakkan sita jaminan maupun harta kekayaan lainnya sesuai ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku:
1. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk tunduk mentaati dan patuh melaksanakan putusan ini;
2. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp100.000.000 untuk setiap harinya, apabila TERGUGAT I dan TERGUAGAT II lalai memenuhi dan melaksanakan isi putusan ini;
Baca juga: Gatot Nurmantyo Dianugerahi Bintang Mahaputera, Deklarator KAMI: Cara Jinakkan Orang Beda Sikap
3. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah diletakkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara ini terhadap:
- Sebidang tanah dan bangunan dengan luas 290m2, yang terletak di Perum Tanah Kebon Jeruk Kav. Blok A 1, berdasarkan Sertipikant Hak Guna Bangunan No. 381 Tahun 1987, Surat Ukur Nomor : 105/5442/1986, atas nama Pemegang - Hak RADEN SETYA NOVANTO / TERGUGAT I ;
- Sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Wijaya XIII, No. 19, RT 003/RW 003, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160.
Baca juga: Gedung dan Hotel di Jakarta Boleh Ajukan Proposal Gelar Resepsi Pernikahan, Wajib Protokol Covid-19
Dengan batas depan Jalan Wijaya XIII, samping kiri, Jl Panglima Polim II, belakang Jalan Wijaya XIV, atas nama Pemegang Hak RADEN SETYA NOVANTO/TERGUGAT I ;
4. Menyatakan putusan atas perkara a quo dapat dijalankan terlebih dahulu (uitverbaar bij vorrad) meskipun TERGUGAT I dan TERUGAT II, melakukan upaya hukum banding, kasasi , peninjauan kembali dan verzet;
5. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar biaya-biaya yang timbul dalam perkara ini.
Baca juga: 3M Vaksin Paling Aman Tangkal Covid-19, Tak Ada Efek Sampingnya
Fredrich Yunadi divonis 7 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Ia terbukti merintangi penyidikan korupsi proyek KTP-el.
"Menyatakan terdakwa Fredrich Yunadi bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja merintangi penyidikan tersangka korupsi."
Baca juga: Hadapi Banjir, Pemkab Bekasi Bakal Lebarkan Sungai dan Bentuk Satgas Bebas Sampah Plastik
"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 7 tahun denda Rp500 juta atau diganti pidana kurungan 5 bulan," ucap Hakim Saifuddin Zuhri, Kamis (28/6/2018).
Majelis hakim menolak segala nota pembelaan atau pleidoi Fredrich dan tim kuasa hukum.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim juga mencantumkan hal yang memberatkan terhadap Fredrich Yunadi.
Baca juga: Mencoba Menyalip dari Kiri, Pemotor Tewas Terlindas Truk Trailer di Jalan Akses Marunda
Yakni, tidak berterus terang dan tidak mengakui perbuatannya, tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, serta kerap kali mencari-cari kesalahan saksi.
"Terdakwa juga menunjukan sikap dan tutur kata kurang sopan selama persidangan," kata hakim.
Sedangkan hal yang meringankan, Fredrich belum pernah dihukum dan masih memiliki tanggungan.
Baca juga: Marwan Batubara Minta Gatot Nurmantyo Tolak Bintang Mahaputera dari Jokowi
Fredrich sebelumnya dituntut oleh jaksa pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 600 juta.
Dalam dakwaan disebutkan, Fredrich Yunadi melakukan upaya perintangan, di antaranya memesan kamar inap Rumah Sakit Medika Permata Hijau, sebelum kecelakaan mobil Setya Novanto terjadi pada Kamis 16 November 2017.
Padahal, mantan Ketua DPR itu harus memenuhi panggilan penyidik KPK atas kasus korupsi KTP-el.
Baca juga: Dinobatkan Jadi Menteri Berkinerja Terbaik Versi Survei Indo Barometer, Prabowo Tak Nyaman
Selama di Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Fredrich Yunadi juga bertindak tidak kooperatif dengan mengusir tim satuan tugas KPK.
Sikap berbeda diberikan Fredrich terhadap kumpulan orang diduga simpatisan Novanto. (Rizki Sandi Saputra)