Berita Nasional
Kilas Balik Intimidasi terhadap Pengikut Ahmadiyah hingga Tudingan Moeldoko Terlibat Operasi Sajadah
Pengikut jema'at ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jema'at Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953
Beberapa kasus di antaranya, yang pernah ramai, adanya bentrokan antara pengikut Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah di wilayah Jawa Barat.
Bahkan, nama Jenderal TNI Moeldoko pernah terseret karena dituding menggelar "Operasi Sajadah' di wilayah Jawa Barat pada 2011. Saat itu ia masih berpangkat mayjen dan menjadi Panglima Kodam III/Siliwangi, Moeldoko diduga pernah terlibat Operasi Sajadah
Juru bicara Ahmadiyah saat itu, Firdaus Mubarik, mengungkapkan, setelah penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 2011, terjadi penekanan oleh TNI hampir di seluruh Jawa Barat.
"Sebelum peristiwa Cikeusik, gerakan intimidasi biasanya dilakukan oleh polisi dan pejabat pemerintah daerah, tapi setelahnya tidak," ucap Firdaus, Rabu, 31 Juli 2013, dikutip Wartakotalive.com dari laporan Tempo.
Menurut dia, setelah Cikeusik, personel TNI ikut serta dalam upaya mengintimidasi, mendatangi rumah, memanggil, hingga meminta Ahmadiyah untuk meninggalkan ajarannya.
Firdaus mengatakan saat itu Moeldoko masih berpangkat mayor jenderal dan menjabat Panglima Daerah Militer III Siliwangi. Dia dianggap bertanggung jawab atas intimidasi ini. "Tapi Moeldoko membantah bila TNI terlibat," kata Firdaus. Bantahan itu disampaikan ketika bertemu dengan aktivis hak asasi manusia, seperti Direktur Eksekutif Human Rights Working Group, Choirul Anam; dan aktivis Kontras, Syamsul Alam Agus.
Saat itu, Moeldoko masih menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi. Untuk menghadapi kerusuhan itu, Moeldoko mengaku mempelajari penyebab masalah sebelum membuat keputusan.
"Sebuah pukulan dalam kepemimpinan saya. Saya melarang orang-orang melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah, terhadap masjid maupun orangnya. Perusakan masjid dengan bom molotov harus dihentikan," kata Moeldoko dalam rapat uji kelayakan dan kepatutan calon panglima TNI di Komisi I DPR, Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Ratusan warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan merangsek dan mengusir seluruh jemaah Ahmadiyah di sebuah rumah di Jalan Bukit Duri Tanjakan Batu RT 02/08 Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (12/6) siang.
Bukan tanpa sebab, warga geram lantaran para jemaah Ahmadiyah kerap melakukan praktek peribadatan yang diduga menyalahi ajaran Islam.
Aksi warga yang sempat ramai itu terlihat dimulai sejak pukul 11.00 WIB. Ratusan warga RT 02/08 Bukit Duri yang dipimpin oleh Panti, Ketua RT 02/08 Bukit Duri itu terlihat menghalangi para jemaah Ahmadiyah yang hendak memasuki rumah.
Namun, seperti tidak kehabisan akal, memasuki waktu shalat Jumat atau sekira pukul 12.00 WIB, para jemaah Ahmadiyah yang terdiri dari sebanyak 11 orang pria dan dua orang perempuan itu justru terlihat menggelar karpet hijau untuk melaksanakan shalat jumat berjamaah di tengah jalan.
Aksi tersebut pun sontak menuai kemarahan dari warga setempat, pasalnya, ibadah Shalat Jumat yang dilakukan para jemaah Ahmadiyah dinilai telah melanggar ajaran Islam, seperti jumlah jemaah minimal harus sebanyak 40 orang, seluruh jemaah adalah laki-laki.
"Bisa dilihat sendiri, yang shalat cuma tiga belas orang, ada perempuan juga ikut. Ajaran Islam mana yang membenarkan hal itu," ungkap Esri (46) warga setempat melihat para jemaah Ahmadiyah melakukan shalat Jumat.
Walau disaksikan ratusan pasang mata, para jemaah Ahmadiyah terlihat tenang melaksanakan ibadah shalat Jumat.
Suasana justru kembali ramai dan nyaris ricuh saat para warga usai shalat jumat di masjid mendatangi jemaah Ahmadiyah di lokasi.
Beruntung, adu mulut tidak berakhir anarkis, Kapolsek Tebet, Kompol I Ketut Sudarma bersama anggota terlihat mengamankan beberapa orang yang diduga sebagai provokator dan meminta agar para jemaah Ahmadiyah membubarkan diri.
Pengusiran di NTB
Di lokasi dan waktu terpisah, terjadi penyerangan dan vandalisme terhadap Jemaah Ahmadiyah yang terus berulang di Dusun Grepek Tanat Eat, Desa Greneg, Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), 19 - 20 Mei 2018.
Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, Jemaah Ahmadiyah menjadi korban penyerangan dalam bentuk pengusiran, ancaman, intimidasi, dan perusakan rumah penduduk.
"Ada tujuh kepala keluarga Ahmadiyah yang menjadi sasaran, enam rumah rusak, empat sepeda motor rusak berat, peralatan rumah tangga dan barang-barang elektronik hancur," ujar Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali di kantornya, Senin (21/5/2018).
Sebanyak 24 perempuan, lansia, dan anak, saat ini terpaksa dievakuasi ke Mapolres Lombok Timur. Namun, aparat keamanan setempat tidak berhasil mencegah aksi-aksi intoleransi ini.
"Komnas Perempuan mencatat penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di NTB terjadi sejak 20 tahun yang lalu (Oktober 1998), dan terus berlangsung dengan tingkat eskalasi tinggi yang berujung pada pengusiran di tahun 2005 hingga tahun 2006, sehingga memaksa Ahmadiyah mendiami pengungsian di Transito dan Praya," ungkap Khariroh.
Mereka menjadi korban atas tindakan kelompok intoleran yang melakukan penyerangan secara fisik seperti perusakan tempat ibadah, penghancuran rumah, pengusiran, pemukulan, bahkan hingga pembunuhan.
Jemaah juga mendapat perlakuan kekerasan nonfisik seperti pelarangan beribadah, penyegelan tempat ibadah, caci maki, dan berbagai tindakan pelecehan seksual.
Bahkan, dua tempat pengungsian Jemaah Ahmadiyah di Transito dan Praya menjadi tempat pengungsian terawet yang pernah ada di Indonesia sejak 2006 hingga saat ini.
"Artinya sudah 12 tahun Jemaah Ahmadiyah di NTB menjadi pengungsi Transito, karena ketidakpastian jaminan keamanan dan perlindungan sebagai warga negara," jelas Khariroh.
Kondisi tersebut membuat lima lembaga yang terdiri dari tiga Lembaga Nasional HAM (Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI), LPSK, dan ORI, merekomendasikan langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus Ahmadiyah di NTB dan juga yang terjadi di wilayah lainnya seperti di Manis Lor (Jawa Barat), Cikeusik, dan Bekasi, sifat intoleransi terhadap kelompok agama minoritas menimbulkan dampak yang berkepanjangan untuk perempuan.
"Meskipun korban laki-laki juga mengalami kesengsaraan dan penderitaan yang sama, namun perempuan berhadapan dengan kerentanan khusus akibat peran gender yang dimainkannya, baik dalam perannya sebagai perempuan, istri, ibu, ataupun anggota masyarakat," papar khariroh.