Jaksa Agung Divonis Bersalah oleh PTUN, Jamdatun: Kami akan Banding Keputusan yang Tidak Benar

Kejaksaan Agung memutuskan akan mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta.

TRIBUNNEWS/DENNIS DESTRYAWAN
Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (23/10/2019). 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Kejaksaan Agung memutuskan akan mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta, yang memvonis Jaksa Agung ST Burhannudin bersalah terkait pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

"Kami 14 hari harus mengajukan keberatan ini."

"Kita sudah finalisasi dan tinggal merapikan saja."

Baca juga: UPDATE Penghitungan Suara Pilpres AS 2020: Joe Biden Cuma Butuh 6 Poin Lagi Menuju Gedung Putih

"Dan atas memori banding itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu akan dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara," kata Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (JAM Datun) Ferry Wibisono di Kejagung, Jakarta, Kamis (5/11/2020).

Ferry menilai hakim membuat banyak keputusan yang keliru dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

Satu di antaranya, perihal tak ada peraturan yang dilanggar oleh Jaksa Agung soal pernyataan itu.

Baca juga: Kasih Naskah Cacat UU Cipta Kerja untuk Diteken Jokowi, Pejabat Kemensetneg Kena Sanksi Disiplin

"Peraturan mana yang dilanggar dalam substansi tersebut?"

"Tetapi hakim tidak menunjukkan pasal mana yang dilanggar dalam putusan itu, karena memang tidak ada peraturan yang dilanggar."

"Jadi hakim memformulasikan berdasarkan keyakinan saja tanpa alat bukti yang memadai."

Baca juga: Ogah Perbaiki Surat Panggilan, Bareskrim Jadwalkan Periksa Ahmad Yani Pekan Depan

"Dan kemudian lalai dalam menjalankan kewajibannya, dan membuat pertimbangan yang tidak benar terkait perbuatan hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung," paparnya.

Ferry juga menyinggung pihak penggugat dinilai tidak memenuhi syarat kepentingan dalam mengajukan gugatan ke PTUN.

Menurutnya, orang tua korban tragedi 1998 sebagai penggugat tidak memiliki kepentingan menjawab pernyataan Jaksa Agung di rapat kerja DPR.

Baca juga: Ini Sebaran Suara Pilpres AS 2020, Joe Biden Unggul di Electoral College dan Nasional

"Kepentingan penggugat (orang tua korban) adalah pada penanganan perkara HAM berat."

"Bukan pada proses jawab menjawab pada rapat kerja DPR RI," jelasnya.

Ferry menilai majelis hakim tak mempertimbangkan rekaman video yang utuh terkait pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja DPR.

Baca juga: Cacat Teknis UU Cipta Kerja, Relawan Jokowi Sarankan Mensesneg Mundur Daripada Salah Terus

Sebab, ada kalimat yang disebut tidak pernah disebutkan oleh Jaksa Agung dalam putusan itu.

Kalimat yang tak ada di rekaman adalah: 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc."

"Berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM."

Baca juga: 47 Warga Kabupaten Bogor Jadi Pasien Baru Covid-19, Kecamatan Pamijahan Keluar dari Zona Merah

"Jaksa Agung tidak pernah menyatakan adanya kalimat ini."

"Seharusnya Komnas HAM ini menjadi objek sengketa, karenanya bapak ibu bisa melihat dalam keputusannya ada kalimat ini."

"Padahal di rekamannya tidak ada kalimat ini pada saat tanya jawab tersebut," bebernya.

Baca juga: Bukan Lapor ke Kejaksaan Agung, Pinangki Malah Ceritakan Keberadaan Djoko Tjandra kepada Temannya

Namun demikian, kata dia, pihaknya mengakui Jaksa Agung memang menyebutkan kasus Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Akan tetapi, hal itu mengacu pada laporan panitia khusus DPR yang dikeluarkan pada 2001 silam.

"Melihat banyaknya kesalahan yang dilakukan PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara ini, banyaknya kewajiban pemeriksaan alat bukti yang tidak dilakukan pengadilan PTUN."

Baca juga: Masuk Golongan 4A, Segini Gaji Sah Pinangki Sirna Malasari di Kejaksaan Agung

"Kami mempersiapkan diri bahwa keputusan ini tidak benar dan kami akan melakukan banding atas keputusan yang tidak benar," tegas Ferry.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Jaksa Agung ST Burhannudin bersalah, dalam sidang gugatan pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.'

Jaksa Agung dinyatakan bersalah dalam putusan nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang diketok pada Rabu (4/11/2020).

Putusan itu ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai hakim anggota.

Baca juga: Rizieq Shihab Mau Kembali, Polri: Ya Pulang Saja, Kita Tidak Pernah Usir

Dalam amar putusannya, majelis hakim juga mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.

"Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," begitu kutipan putusan perkara yang diunggah secara online (sistem e-court) pada Rabu (4/11/2020)

Dalam putusan itu, tindakan Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, merupakan tindakan melawan hukum.

Baca juga: Salah Ketik UU Cipta Kerja, Arteria Dahlan: Jangan-jangan Ada Motif Memperkeruh, Harus Diusut Tuntas

Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin saat rapat kerja antara Komisi III DPR pada 16 Januari 2016.

"Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020."

"Yang menyampaikan: "Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat."

Baca juga: Rizieq Shihab Pulang ke Indonesia Selasa 10 November 2020, Langsung Istirahat di Petamburan

"Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden."

"Untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM" adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan," jelas putusan tersebut.

Jaksa Agung juga diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi II dan Semanggi II, sesuai keadaan sebenarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berikutnya.

Baca juga: Bakal Tuntut Orang yang Menuduhnya Overstay di Arab Saudi, Rizieq Shihab: Buang ke Tong Sampah

"Selain itu menghukum untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000," bunyi putusan tersebut.

Jaksa Agung ST Burhanuddin digugat ke PTUN Jakarta karena pernyataannya yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dalam rapat kerja Komisi III DPR, pada 16 Januari 2016.

Gugatan tersebut didaftarkan pada 12 Mei 2020 lalu.

Baca juga: Partai Demokrat Siap Lakukan Legislative Review untuk Revisi Undang-undang Cipta Kerja

Salah satu penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih yang merupakan ibu dari almarhum Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).

Wawan dikenal sebagai mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.

Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Tambah 46 Orang, Kecamatan Sukamakmur Keluar dari Zona Merah

Hal itu ia katakan saat menyampaikan penanganan kasus HAM dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR, Kamis (16/1/2020).

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI."

 Pengamat Bilang Banjir Jakarta 1 Januari 2020 Bukan Kiriman, Ini Buktinya

"Yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," katanya di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.

Dalam rapat itu, Burhanuddin juga menjelaskan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM.

Ia mengatakan hambatan itu karena belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.

 Pria Disekap Teman Kantornya karena Gelapkan Uang Perusahaan, Makan Sehari Sekali dan Disundut Rokok

"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," tuturnya.

Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.

Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.

 Tawuran di Tanjung Duren Disiarkan Live Streaming, 10 dari 16 Tersangka Masih Bau Kencur

Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka. (Igman Ibrahim)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved