Wawancara Eksklusif
EKSKLUSIF: Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto: Dunia Industri Dilibatkan dalam Pengajaran SMK
Itu ibarat orang berhubungan, pacaran saja belum, baru kenalan. Link and match kami tidak hanya sekadar pacaran, tapi sampai menikah levelnya.
Sekolah, kampus dan industri sudah merancang. Kemudian ada sertifikasi kompetensi bagi lulusan.
Yang jelas ada komitmen menyerap lulusan (sekolah vokasi) walau tidak wajib.
Ini paket link and match level menikah yang kami rancang, tambah satu lagi, mengembangkan teaching factory. Jadi teaching industry masuk ke dalam kurikulum.
Jadi sejak awal industri dilibatkan dalam merancang kurikulum sekolah vokasi agar peserta didik benar-benar merasakan dunia kerja?
Benar, sangat tepat. Jangan sampai lulusan, diterima di dunia kerja harus dilakukan training ulang. Buang duit, buang waktu, buang tenaga.
Lebih baik kurikulum training industri ini masuk menjadi kurikulum pendidikan di SMK atau kampus vokasi, ikut mengajar juga orang-orang industrinya. Itu kan enak sekali.
Banyak anggapan di masyarakat, kalau saya mau pintar dan jadi pejabat, mestinya SMA, tidak SMK?
SMA atau SMK atau memilih akademik atau vokasi itu sama-sama baik. Dengan catatan, harus passionate.
Harus ada ketertarikan pada bidang ilmunya, bahagia belajar di situ plus punya visi ke depan mau ngapain.
Mau masuk kampus vokasi atau akademik S1, SMA atau SMK, dua-duanya bisa jadi pemimpin.
Pemimpin itu tidak hanya technical skill, tapi juga harus punya soft skill, leadership dan managerial. Itu yang buat mereka jadi pemimpin.
Mau menggunakan ilmu vokasi ataupun akademik, keduanya butuh soft skill. Jadi pemimpin bisa saja dari vokasi.
Bagaimana menjelaskan pada pelajar SMP terkait opsi memilih SMA atau SMK ini?
Anak-anak SD belajar keras untuk mendapatkan nilai tinggi agar masuk ke SMP favorit.
Ini yang menurut saya kurang tepat, karena bukan masalah sekolah favorit itu, melainkan belajar dengan passion tadi.