Pendidikan

Pembelajaran Jarak Jauh Tidak Ada Standar, IKA UPI Sebut Indonesia Butuh Kurikulum Era Pandemi

Dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas

Editor: Ahmad Sabran
Warta Kota/Alija Berlian Fani
Enggartiasto Lukita. 

Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan semikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.

“Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat mudul pembelajarann. Yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” ungkap Unifah.

Wali Kota Tangerang Tinjau Stasiun Tanah Tinggi Periksa Protokol Kesehatan

Secara kelembagaan, sambung Unifah, PB PGRI tengah menyusun konsep kurikulum era pandemi. Kurikulum ini didesain menjadi sangat praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran rasional. Ini membedakan dengan kurikulum sekarang yang padat konten, sulit mendorong anak untuk belajar secara mandiri di rumah. Kurikulum juga memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun pembelajaran yang mungkin dicapai oleh siswa.

“Dengan kurikulum era pandemi ini, guru tidak harus menyampaikan teori mata pelajaran, tetapi melatih anak belajar secara praktis untuk mencapai kompetensi minimum literasi dan numerasi. Basic literacy yaitu membaca, menulis, menyimak, mengomunikasi dan logika matemtatika untuk survival hidup di alam nyata,” urai Unifah.

VIDEO: Rian Sebut DMasiv Kehilangan Pemasukan Rp 3,5 Miliar Karena Virus Corona

Remodelling sistem belajar tersebut menciptakan proses pembelajaran yang memungkinkan anak termotivasi untuk terus belajar, menjadi pembelajar mandiri, bertumpu pada proses, dan guru berperan sebagai learning manager. Model pembelajaran berupa thematic instruction, collaborative learning, problem based learning, dan experimental learning.

“Era pascapandemi nanti, transformasi pendidikan akan sukses jika dalam kurikulum sekolah itu dirancang program-program pendidikan dengan standar-standar kompetensi yang jelas dan terukur. Kemendikbud harus merancang banyak aplikasi digital sistem mikro, mulai dari pembelajaran, asesmen, pelatihan guru termasuk manajemen sekolah, baik online maupun offline,” tandas Unifah.

Gara-Gara Covid-19, Pendapatan Bulanan Restoran di Depok Ini Anjlok

“Untuk memastikan sistem mikro bekerja, Kemdikbud juga perlu merancang berbagai aplikasi digital sistem makro tatakelola pendidikan, seperti perencanaan guru, keuangan pendidikan, pendidikan guru, pengadaan sarana-prasarana, pengawasan, dan sistem evaluasi. Aplikasi mikro dan makro tersebut hanya dapat dilakukan ketika arah transformasi kurikulum dan pembelajaran sudah semakin kredibel dan akseptabel secara politis,” tambah guru besar bidang ilmu manajemen pendidik dan tenaga kependidikan tersebut.

Dengan demikian, Unifah menegaskan bahwa kualitas pendidikan tidak bisa hanya ditentukan oleh guru semata. Saat ini berkembang stigma bahwa rendahnya kualitas pendidikan akibat rendahnya kualitas guru. Padahal, kualitas guru merupakan mencerminkan kualitas kebijakan. Artinya, kualitas guru saat ini merupakan cermin tata kelola dan kebijakan pendidikan.

Alumni IKIP Bandung ini mengkritik sistem remunerasi yang dampak buru terhadap guru sebagai jabatan profesional karena disamakan dengan pegawai administrasi. Tunjangan profesi guru bagi guru bersertifikat tidak memperhitungkan kinerjanya, tetapi ditentukan oleh syarat administratif, seperti mengajar minimal 24 jam per-minggu, tidak absen lebih dari tiga hari,  serta dengan peraturan yang berbelit-belit.

Menjaga Kesehatan Pengunjung, Senayan City Semprot Cairan Disinfektan Dua Kali Sehari

“Kurangnya pelatihan guru disebabkan oleh anggaran pelatihan yang minim atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Sangat jarang pemda menyelenggarakan program pelatihan guru yang sistematis dan terprogram. Selain karena belum menganggap  pentingnya pelatihan guru, Pemda juga tidak memiliki tenaga pelatih yang profesional dan kurang mampu bekerjasama dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) setempat,” imbuh Unifah.

Terkait hal itu, Unifah meminta jangan ada kesan meminggirkan LPTK di dalam agenda besar negara untuk “Peningkatan Mutu dan Keunggulan Pendidikan”. Baginya, kesan itu adalah sebuah phylosophical error. “Visi presiden tidak demikian. Dalam ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia’ berbagai solusi telah diangkat, namun memerlukan  pemikiran kebijakan yang mendasar. Sebaiknya bekerja sama dan bersinergi dengan para ahli pendidikan dan para ahli lain yang relevan,” ujarnya.

Menurutnya, rendahnya kemampuan literasi siswa yang diukur oleh PISA, berakar pada cara mengajar yang terlalu teoritis dengan kurikulum yang padat konten akademik. Menurut kurikulum yang berlaku, matematik, sains, dan membaca yang diajarkan di sekolah, sepenuhnya berbasis akademik seolah menyiapkan siswa semuanya menjadi ilmuwan. Padahal, yang diukur oleh PISA bukan aspek akademik, tetapi aspek literasinya. Selain itu, pendidikan di Indonesia harus berakar pada budaya bangsa.

Tekanan pada pendidikan akademik di sekolah, guru tidak dituntut mengaktifkan siswa untuk berlatih dan belajar secara aplikatif yang dilakukan oleh semua guru lulusan manapun, karena requirement kurikulum sekolah. Sejak tahun 2005, guru lulusan pendidikan tinggi umum semakin besar proporsinya, namun sejak saat itu pula skor PISA anak Indonesia tidak semakin baik, bahkan cenderung semakin menurun. Jadi, masalahnya bukan terletak pada guru dan LPTK.

UPDATE Selasa 9 Juni, Kasus Covid-19 di Jakarta Naik Pesat, Pasien Positif Corona Kini 8.276 Orang

“Hingga kini pemerintah belum melakukan diagnosa yang cermat terhadap faktor pengelolaan guru, seperti rekrutmen yang merit, pengelolaan yang profesional, asesmen kinerja, dan pembinaan profesional berkelanjutan. Padahal, itulah penyakitnya dan LPTK tidak berperan di situ.  Jadi, jangan sampai kesalahan mendiagnosa karena LPTK dalam Peta Jalan Pendidikan adalah kebijakan yang tidak luput dari  pemeo Solving the Wrong Problem (type 3 error),  seperti halnya dokter yang keliru mendiagnosa penyakit dan fatal akibatnya,” tandas Unifah.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved