Virus Corona Jabodetabek
Kritik Penanganan Corona DKI Berbuntut Polemik, BEM UHAMKA Tarik Diri dari Aliansi BEM DKI
BEM UHAMKA juga menyatakan tegas keluar dari Aliansi BEM DKI terhitung Senin, 6 April 2020
Kalangan yang takut penyebaran corona makin meluas, sepakat dengan dilakukannya lockdown parsial di DKI Jakarta.
• Tersinggung Ucapan Said Didu Soal Kepalanya Isinya Uang, Luhut Binsar Bakal Tempuh Jalur Hukum
• Ini Alasan Jokowi Tidak Lockdown dan Pilih Pembatasan Sosial Berskala Besar Hadapi Virus Corona
Di sisi lain, muncul sikap keberatan sebagian masyarakat yang menganggap lockdown akan mematikan penghidupan orang banyak, terutama mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak memiliki uang tabungan.
Jika berada di dalam rumah, mereka tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk menafkahi keluarga.
Menyikapi hal ini, aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Jakarta Bersuara menyampaikan pandangannya.
Mereka menyoroti dan memberikan kritik atas kinerja Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dalam menghadapi penyebaran wabah Covid-19 di DKI Jakarta
• Pendaftaran Kartu Pra Kerja Dibuka Minggu Depan, Begini Syarat dan Panduan Cara Membuat Akun
• Sudah Peringatkan Lockdown Tapi Tidak Digubris, Fadli Zon: Negara Sudah Kehilangan Pemimpin
• Dihina Sudah Menopouse dan Masa Tua Kelabu, Tamara Bleszynski Ultimatum Hatter, Beri Waktu 24 Jam
Ronaldo Zulfikar, mahasiswa UHAMKA, mewakili aliansi mengungkapkan, pihaknya mempertanyakan niat Anies Baswedan untuk melakukan karantina wilayah atau lockdwon.
"Yang kami pertanyakan sudah sejauh mana kesiapan Pemprov hingga akan melakukan lockdown. Apakah sudah dilakukan dengan langkah-langkah matang, seperti melakukan kajian dari berbagai aspek, sosialisasi menyeluruh hingga masyarakat paling bawah dan hal lain yang semestinya harus dipikirkan dengan matang," ujar Zulfikar saat menggelar konferensi pers bertajuk "Lockdown Solusi atau Politisasi" di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (4/ 20/2020).
Ginka, aktivis mahasiswa dari Universitas Esa Unggul menambahkan, lockdown sejatinya bukan satu-satunya opsi dalam penanganan pandemi Corona.
Menurutnya, semua bergantung pada sistem pengendalian penyebaran virus. Selama sistem yang dipakai dapat menekan laju penyebaran, maka kita dapat bernafas lega.
Pertanyaan yang muncul ialah tipe kebijakan mana yang cocok diterapkan di Indonesia?
Ginka mencontohkan, kasus Korea Selatan, lockdown tidak diperlukan karena aksi preventif mereka terbukti ampuh.
• Luna Maya Akhirnya Blak-blakan Soal Inisial Namanya yang Dikaitkan dengan Prostitusi Online
• Sempat Diisukan dengan Ariel Noah, Kini Lania Fira Dikabarkan Akan Menikah dengan Dikta Yovie & Nuno
Walaupun masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, fasilitas medis siap melaksanakan tes massal hingga belasan ribu dalam sehari sehingga mereka yang
terjangkit lebih mungkin diketahui keberadaannya dan dapat segera dikarantina guna mencegah penyebaran lebih lanjut.
Komunikasi terbuka juga dilancarkan dengan gencar mulai dari pemberitahuan kasus baru beserta keterangan lokasinya, update tata cara penanganan, hingga sistem yang
melacak mereka yang terinfeksi.
Upaya-upaya tersebut diperkuat dengan birokrasi pengadaan fasilitas
kesehatan yang cepat dan terdesentralisasi sehingga penanganan dapat dilakukan
dengan cepat.
"Sekarang di Indonesia sudaj ada WFH (Work From Home), bagi sebagian pegawai itu efektif. Namun, bagi pekerja harian, mereka yang harus mencari uang hari ini untuk makan hari ini, itu yang patut kita perhatikan," ujar Ginka.
• Mensesneg Klarifikasi Ucapan Fadjroel Soal Mudik, Roy Suryo: Memang Pak Jokowi Dikelilingi Kurawa
• Ini Surat Terbuka Presiden PKS Kepada Jokowi Terkait Corona, Sebut Ada Penjilat di Sekitar Jokowi
Ginka mempertanyakan urgensi dari Pemprov DKI Jakarta yang terus bersikukuh melakukan lockdown.