PPDB
KPAI Ungkap: Ada 9 Masalah Utama Sistem Zonasi yang Terjadi di PPDB 2018 dan PPDB 2019
Dari hasil analisis KPAI Bidang Pendidikan atas proses PPDB di sekolah negeri dengan sistem zonasi dua tahun teakhir, terdapat 9 permasalahan utama.
Penulis: Budi Sam Law Malau |
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, dari hasil analisis KPAI Bidang Pendidikan atas proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah negeri dengan sistem zonasi selama dua tahun terakhir, terdapat 9 permasalahan utama yang memengaruhi penerapan PPDB sistem zonasi.
Ke-9 permasalahan ini terjadi berulang, baik dalam PPDB 2018 maupun PPDB 2019.
"Akibatnya proses PPDB justru menyulitkan atau membingungkan ortu siswa," kata Retno, Rabu (19/6/2019).
Sembilan permasalahan PPDB zonasi itu dan harus dibenahi, kata Retno adalah:
1. Penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan, sementara banyak daerah yang pembagian zonasi pada awalnya, di dasarkan pada wilayah administrasi kecamatan.
• Ini Daftar Lengkap Pemenang MTV Movie & TV Awards 2019
• KUASA Hukum KPU Bongkar Fakta Permohonan Bambang Widjojanto dkk Bantah Klaim Prabowo Menang 62 %
• 7 Makanan yang Dianggap Bisa Picu Tumor Otak Seperti Agung Hercules, Salah Satunya Gorengan
2. Ada calon siswa yang tidak terakomodasi, karena tidak bisa mendaftar ke sekolah manapun.
Sementara ada sekolah yang kekurangan siswa, karena letaknya jauh dari pemukiman penduduk
3. Orangtua mengantre hingga menginap di sekolah, padahal kebijakan PPDB zonasi dan sistem online, memastikan bahwa siswa di zona terdekat dengan sekolah pasti diterima.
Jadi meski mendapatkan nomor antrian 1, namun jika domisili tempat tinggal jauh dari sekolah, maka peluangnya sangat kecil untuk diterima.
4. Minimnya sosialisasi sistem PPDB ke para calon peserta didik dan orangtuanya, sehingga menimbulkan kebingungan.
Sosialisasi seharusnya dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif.
5. Masalah kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran secara online.
6. Transparansi kuota per zonasi yang sering menjadi pertanyaan masyarakat, termasuk kuota rombongan belajar dan daya tampung.
Permendikbud 51/2018 menentukan maksimal jumlah Rombel per kelas untuk SD 28, untuk SMP 32 dan untuk SMA/SMK 36 siswa.
7. Penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang melibatkan kelurahan, sehingga di PPDB tahun 2019 titik tolak zonasi dari Kelurahan.
8. Soal petunjuk teknis (juknis) yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat, dan terkadang petugas penerima pendaftaran juga kurang paham.
9. Karena jumlah sekolah negeri yang tidak merata di setiap kecamatan maka beberapa pemerintah daerah membuat kebijakan menambah jumlah kelas dengan sistem 2 shift (pagi dan siang).
• STNK Kendaraan Mati 2 Tahun Langsung Hangus? Ini Faktanya dan 10 Syarat Perpanjangan STNK Kendaraan
• Seluruh Gugatan Prabowo-Sandi Tidak Jelas dan Kabur Hingga MK Tolak 16 Permohonan Pihak Terkait
• Berantem dengan Ahmad Dhani, Dul Jaelani Pilih Tinggal dengan Maia, Tak Mau Sebut Mulan Ibu Sambung
Dampaknya, banyak sekolah swasta di wilayah tersebut kekurangan peserta didik.
Di khawatirkan, kalau tidak dipikirkan maka sekolah swasta akan tutup.
Di DKI Jakarta, Retno mencontohkan pada 2016 Pemprov DKI berencana membeli sekolah-sekolah swasta itu dengan APBD agar mayoritas anak Jakarta bisa mengakses sekolah gratis di sekolah negeri.
"Antrian pendaftar yang mengular di sekolah-sekolah yang dianggap favorit oleh masyarakat, menunjukkan pemahaman masyarakat terkait prinsip zonasi dan online rendah atau tidak dipahami.
"Salah satunya dipicu oleh banyak pesan di grup-grup WhatsApp (WA) yang tidak benar," kata Retno.
Contohnya kata Retno pesan WA yang menyatakan sebagai berikut: 'Disarankan untuk mendaftar lebih awal karena, jika jarak zona, nilai UN dan USBN, serta usia calon siswa sama, maka yang akan diterima adalah yang mendaftar terlebih dahulu'.
Kalimat terakhir dalam pesan itu kata Retno sangat dipegang masyarakat dan jadi panduan.
"Padahal itu tak benar," katanya.
Kalimat yang dimaksud Retno adalah yang menyatakan bahwa siswa 'yang akan diterima adalah yang mendaftar terlebih dahulu'.
Padahal, kata Retno, dengan sistem zonasi ini, sekalipun siswa atau ortu siswa datang lebih awal atau mendapat nomor pendaftaran lebih dulu ke sekolah yang dituju, tetapi domisili tempat tinggalnya jauh dari sekolah, maka peluang siswa diterima di sekolah itu tetap kecil.
"Sedangkan ortu siswa yang mendapatkan nomor antrian pendaftaran belakangan atau misalnya diatas 500, tetapi domisili tempat tinggalnya dekat dengan sekolah, maka peluangnya diterima di sekolah negeri itu tetap sangat besar," katanya.
Selain itu kata Retno dengan pendaftaran sistem online, sebenarnya pendaftar dapat melakukan pendaftaran sendiri lewat situs atau website sekolah tanpa harus mengantri di sekolah.
"Kecuali si pendaftar memang tidak bisa melakukan pendaftaran online karena tidak bisa mengoperasikan computer," kata Retno.
Retno menjelaskan dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 disebutkan bahwa domisili calon peserta didik ditentukan berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan PPDB.
Kartu keluarga dapat diganti dengan surat keterangan domisili dari rukun tetangga atau rukun warga yang dilegalisir oleh lurah/kepala desa setempat yang menerangkan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah berdomisili paling singkat 1(satu) tahun sejak diterbitkannya surat keterangan domisili.
"Klausul afirmasi surat keterangan domisili paling singkat 1 (satu) tahun pada pasal 18 Permendikbud 51 tahun 2019 ini hendaknya di terapkan dengan benar oleh pihak terkait. Jika tidak, potensi kecurangan seperti PPDB tahun 2018 akan terulang," kata Retno
Demikian juga kata Retno dengan kelompok siswa dari masyarakat prasejahtera, dimana harus melakukan verifikasi terlebih dahulu kepada sekolah tempat mendaftar.
• Lowongan Kerja untuk Lulusan Sarjana di Lembaga KPPU, Simak Syaratnya, Batas Akhir 28 Juni
"Kepala Sekolah berkewajiban melakukan verifikasi faktual tentang keberadaan keluarga prasejahtera," katanya.
Untuk kelompok prasejahtera, selain harus mematuhi zona domisili, kata Retno, juga harus dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Peserta Program Keluarga Harapan (PKH), atau Memiliki surat keterangan hasil verifikasi dari kepala sekolah tempat mendaftar.
"Sebab sekarang tidak dikenal istilah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang banyak menjadi masalah seperti pada PPDB 2018," kata Retno.
Meski cukup banyak masalah kata Retno, KPAI tetap melakukan pengawasan PPDB 2019 dan sudah membuka posko pengaduan baik secara langsung atau online. (bum)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/kpai-zonasi.jpg)