Kisah Mariyani Wanita Minang yang Menikah dengan Tentara Soekarno
Untuk menafkahi kedua anaknya, Mariyani bekerja di pasar sebagai penjahit pakaian. Kadang ia keliling kampung menjajakan pakaian hasil jahitannya.
Penulis: AchmadSubechi | Editor: AchmadSubechi
Oleh-oleh dari pabrik itu lalu dibawanya ke rumah. Dan selanjutnya, semuanya dibagikan ke warga. "Keluarga kami tidak boleh menyentuh sama sekali makanan itu. Ini buat orang-orang miskin," kenang Mariyani yang bangga karena suaminya dimakamkam di Taman Makam Pahlawan Surabaya.
Tidak hanya itu saja. Suatu hari, Mariyani sedang sakit. Anak-anaknya meminta kepada bapaknya agar segera membawa ibunya ke rumah sakit.
"Kalian naik becak saja. Mobil ini adalah mobil dinas dari neara dan kalian tidak berhak untuk naik di mobil itu," tutur Mariyani menirukan ucapan suaminya. Akhirnya Mariyani, berangkat juga naik becak diantar suaminya.
Kehidupan tentara jaman dulu, sangat pasa-pasan. Bagi Witomo, pindah dari rumah satu ke rumah kontrakan lainnya adalah hal biasa.
Ia sangat sederhana dan mengetahui kondisi ekonomi keluarganya, apalagi setelah pensiun. Uang pensiunnya sangat kecil. Untuk bisa makan dan menyekolahkan anak-anaknya, Mariyani bekeja menjadi penjahit pakaian bayi.
Bahkan, untuk beli beras saja, ia terpaksa antre bersama warga lainnya menyetorkan hasil jahitannya kepada sang majikan. Ketika beas sudah ada, lauk tidak punya, Kadangkali, ia mencari kangkung di belakang rumahnya. Kangkung-kangkung itu direbusnya lalu dibuatkan sambal untuk anak-anaknya.
Selain menjahit, Mariyani juga merawat ayam. Telur ayam inilah yang menjadi makanan anak-anaknya sehari-hari. Kadang ketika butuh biaya untuk membayar sekolah, anak-anaknya masing-masiing dibekali satu ekor ayam untuk dijual ke pasar.
Lantaran kondisi ekonomi itu pula, salah satu anak tirinya yang dibawa dari Padang, pernah diterima di Fakultas Kedoteran Unair setelah lulus dari SMAN 4 Surabaya.
Sayang ketika itu, sang bapak tak memiliki uang pangkal. Sementara semangat ibunya untuk menyekolahkan anaknya begitu tinggi.
Lantaran ingin anaknya menjadi dokter, sang ibu rela mengusung kursi rotan satu-satunya keliling kampung untuk dijual.
Apa boleh dikata, tak ada satupun warga di sekitar rumah kontrakannya di Jalan Gersikan Gang 1, Surabaya, tertarik untuk membelinya. Gagalah sang anak menjadi seorang dokter.
Waktu terus berjalan. Tuhan akhirnya merubah nasib keluarga Witomo. Sudirman akhirnya diterima di Telkom. Ia sempat menjadi pejabat di kantor Telkom dan kini sudah pensiun.
Suatu hari, Mariyani meminta anaknya yang bekerja di Telkom untuk mencari bapaknya di Minang. Berbekal secarik alamat, sang anak akhirnya pergi juga.
Setelah tanya kesana-kemari, sang bapak akhirnya ditemukan di sebuah surai kecil. Saat bertemu, sang bapak kandung tidak laggi mengenai anaknya yang sejak kecil ia tinggalkan.
Hujan tangis sepontan meledak, manakala Sudirman bercerita bahwa dirinya adalah anaknya. Sejumlah oleh-oleh diberikannya, separangkat alat shalat.