Kriminalitas

Setelah Kasus SMPN 19 Tangsel, Pengamat Ungkap Kegagalan Sekolah Cegah Bullying

Pengamat JPPI sebut sekolah masih berbahaya bagi anak usai kasus bullying SMAN 72 dan SMPN 19 Tangsel. Pemerintah diminta serius.

dok Deliksatu
KORBAN PERUNDUNGAN - Polres Tangerang Selatan periksa 4 saksi kasus dugaan perundungan siswa SMPN 19 yang kini dikabarkan kritis di rumah sakit 

WARTAKOTALIVE.COM, PALMERAH — Maraknya kasus perundungan di sekolah, termasuk insiden di SMAN 72 Jakarta dan meninggalnya siswa SMPN 19 Tangsel, membuat banyak pihak menilai dunia pendidikan tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan.

Pasalnya, bullying yang terjadi tidak hanya berupa verbal tetapi juga mengancam nyawa seseorang.

Kejadian ledakan yang dipicu perundungan di SMAN 72 Jakarta hingga meninggalnya siswa SMPN 19 Tangerang Selatan berinisial MH karena dijedotkan teman sebangkunya, menjadi salah satu potret miris dunia pendidikan saat ini.

Lantas siapa yang disalahkan dalam hal ini?

Pengamat Pendidikan sekaligus Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Martaji menyatakan rasa duka yang mendalam karena banyaknya kasus perundungan di sekolah.

Baca juga: Pengamat UI Ungkap 2 Pola Bullying di Sekolah, Dikaitkan Kasus Siswa SMPN 19 Tangsel

Menurutnya, hal ini bukanlah kasus biasa yang tidak seharusnya pemerintah titup mata, sebab sudah mengancam nyawa anak dan masa depannya.

"Pemerintah harus serius menciptakan lingkungan sekolah yang ramah anak. Mana janji-janji sekolah dan pemerintah tentang sekolah ramah anak? nyatanya masih wacana dan belum ada dampaknya di sekolah-sekolah," kata Ubaid saat dikonfirmasi Warta Kota, Minggu (16/11/2025). 

"Sekolah masih menjadi tempat yang berbahaya bagi anak-anak," lanjutnya.

Karena itu, dengan banyaknya kasus bullying ini, pihaknya menyatakan 'Darurat Kekerasan di Sekolah'.

Baca juga: BREAKING NEWS: Korban Dugaan Bully SMPN 19 Tangsel Meninggal, Sempat Kritis

Ia menyebut bahwa dalam hal ini, pihak yang harus dievaluasi adalah Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satgas Pencegahan Kekerasan yang dibentuk di setiap satuan pendidikan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan di lingkungan sekolah.

"Buat apa dibentuk kalau enggak ada kerjanya. Janganlah makan gaji buta. Juga, Pemda harus dievaluasi, karena tidak pernah serius dan terkesan menyepelekan kasus-kasus kekerasan ini," kata Ubaid.

Di samping itu, Ubaid menilai perlu adanya evaluasi di tubuh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen)  selaku pembuat kebijakan.

"Jangan hanya bikin kebijakan, tapi harus memastikan bagaimana bisa dilaksakan di lapangan dengan baik. Juga bagaimana APBN fan APBD ini didorong untuk bisa mencegah kekerasan di sekolah," pungkasnya. 

Untuk informasi, kasus bullying kembali mewarnai instansi pendidikan di Indonesia. Dimana seorang siwa SMP berinisial MH mengalami tindak kekerasan di dalam kelas saat jam istirahat Senin (10/11/2025).

Korban diduga dijedotkan kepalanya ke kursi besi oleh teman sebangkunya, RI.

Kepala SMPN 19 Tangsel, Frida Tesalonika, membenarkan adanya peristiwa tersebut dan mengatakan pihak sekolah telah melakukan mediasi antara orang tua korban dan pelaku. 

Namun, kondisi MH saat ini dikabarkan meninggal dunia di RS Fatmawati setelah sebelumnua kritis dan mendapatkan perawatan intensif di ICU, Minggu (16/11/2025) pukul 06.00 WIB. (m40)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved