Putusan MK

Jenderal Purn TNI AL Duga Kisruh Putusan MK Soal Polri Ulah Intelijen Asing, Bisa Makzulkan Presiden

Soleman Ponto sebut pola beda tafsir akademisi dan pakar soal putusan MK tentang UU Polri, pola permainan intelijen asing lemahkan negara

YouTube channel Fristian Griec Media
DUGA INTELIJEN ASING - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda TNI AL (Purn) Soleman B Ponto, memberikan pernyataan keras dan lugas, bahwa putusan MK soal UU Polti, wajib dijalankan dimana 4.351 Anggota Polri yang kini menjabat di luar Polri mesti ditarik kembali atau jika tidak maka harus pensiun dari Polri. Menurut Ponto, tafsir berbeda dari sejumlah pakar dan profesor atas putusan MK itu dengan mengatakan boleh menduduki jabatan sipil dengan syarat tertentu, adalah pola operasi intelijen asing untuk melemahkan negara dan bisa makzulkan Presiden. 
Ringkasan Berita:
  • MK membatalkan penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang otomatis mengharamkan penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil.
  • Soleman B. Ponto menegaskan 4.351 polisi aktif wajib ditarik atau harus pensiun; semua kewenangan mereka gugur sejak putusan dibacakan.
  • Ia menyebut kekacauan tafsir mirip pola intelijen asing dan memperingatkan Presiden wajib melaksanakan putusan MK.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 13 November 2025 tentang pembatalan frasa penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menjadi salah satu keputusan paling berdampak dalam sejarah reformasi kepolisian.

Putusan itu tidak hanya menggugurkan dasar penempatan anggota Polri aktif di kementerian dan lembaga negara, tetapi juga secara otomatis “mencabut” kewenangan ribuan pejabat Polri aktif yang telah lama menempati posisi struktural di luar tubuh Polri.

Namun yang terjadi atas putusan MK itu justru sebaliknya.

Bukan kepastian hukum, melainkan kekacauan tafsir, silang pendapat akademisi, perdebatan lama dan baru, hingga polemik politik yang tidak kunjung selesai.

Pakar berbicara dengan tafsir yang berbeda-beda, sebagian pejabat mengaku bingung, sebagian lain menunggu arahan, bahkan beberapa pihak menyebut tidak ada kewajiban langsung untuk menarik anggota Polri dari lembaga sipil.

Melihat situasi yang membingungkan itu, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Laksamana Muda TNI AL (Purn) Soleman B Ponto, memberikan pernyataan keras dan lugas, bahwa putusan MK itu wajib dijalankan dimana 4.351 Anggota Polri yang kini menjabat di luar Polri mesti ditarik kembali atau jika tidak maka harus pensiun dari Polri.

Baca juga: Polri Tarik Irjen Argo Yuwono dari Kementerian UMKM Usai Putusan MK

Pernyataan Soleman B Ponto soal putusan ini yang ditayangkan di saluran YouTube Fristian Griec Media, adalah yang paling komprehensif sejauh ini dari penelusuran WartaKotalive.com.

Bahkan menurut Soleman, pola yang membuat putusan MK ditafsirkan berbeda satu dengan lainnya adalah mirip pola intelijen asing untuk melemahkan negara.

Ini bukan multitafsir. Bunyinya sangat jelas. Anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah mundur atau pensiun. Titik," kata Ponto dalam perbincangannya di podcast YouTube Fristian Griec Media.

Ponto menegaskan bahwa kekacauan tafsir yang beredar di ruang publik saat ini tidak lain disebabkan oleh pihak-pihak yang “tidak membaca norma secara utuh” atau justru “sengaja membuatnya tampak rumit”.

“Saya baca pasal ini satu-satu. Bunyinya jelas. Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Itu batang tubuh undang-undang. Dan batang tubuh lebih tinggi daripada penjelasan. Tidak ada interpretasi lain," katanya.

Ia menegaskan bahwa pembatalan penjelasan oleh MK otomatis mengembalikan aturan pada naskah asli undang-undang—yang secara eksplisit membatasi anggota Polri aktif dari jabatan di luar struktur kepolisian.

Menurut Ponto, kesalahpahaman—atau kesengajaan—dimulai dari para pakar yang terlalu menggantungkan tafsir pada penjelasan pasal yang kini sudah dinyatakan inkonstitusional.

Penjelasan Tidak Boleh Bikin Norma Baru

Ponto menjelaskan dengan rinci bahwa secara teori perundang-undangan, penjelasan pasal hanya boleh menjelaskan, bukan menciptakan norma baru, apalagi norma yang bertentangan dengan batang tubuh undang-undang.

“Banyak pakar membaca penjelasan lama lalu menjadikannya dasar norma baru. Itu keliru. Penjelasan tidak boleh bertentangan dengan batang tubuh. Kalau yang dipegang penjelasan, ya salah besar," katanya,

Ia menilai bahwa selama ini, penyimpangan penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil terjadi karena beberapa hal. Yakni ada penafsiran keliru bertahun-tahun yang tidak ditegur, penjelasan pasal dibaca secara lebih dominan daripada batang tubuh, serta ada kepentingan politik dan birokrasi yang diuntungkan dari situ.

Putusan MK, menurut Pontom justru mengembalikan reformasi Polri kepada rel yang ditetapkan sejak Tap MPR No. VII/2000.

Yaitu pemisahan total Polri dari struktur jabatan sipil demi menjaga netralitas, profesionalitas, dan fokus fungsi penegakan hukum.

 
4.351 Anggota Polri Aktif Harus Pulang ke Institusi Polri

Menurut Ponto, jumlah anggota Polri aktif yang saat ini menempati jabatan sipil bukan sekadar beberapa orang, tetapi ada 4.351 personel.

Mereka termasuk deputi dan direktur di sejumlah Kementerian dan lembaga (K/L), pejabat struktural setingkat eselon I–III, Sekretaris jenderal di kementerian tertentu, penyidik dan penyelidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pejabat di Badan Narkotika Nasional (BNN), pejabat struktural di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta penempatan Polri di Kominfo, Setneg, BSSN, dan banyak lembaga lainnya.

“Ini bukan sekadar satu-dua orang. Ada lebih dari empat ribu polisi aktif yang harus ditarik. Kalau tidak ditarik, keputusan yang mereka buat setelah 13 November tidak lagi sah," kata Soleman Ponto.

Salah satu bagian paling krusial dari kritik Ponto adalah tentang posisi Polri di KPK.

“Penyidik KPK yang masih polisi aktif tidak lagi punya dasar hukum untuk menyidik. Kalau tidak mundur, setiap proses penyidikan bisa dibatalkan di pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, sejak putusan MK diucapkan maka penyidik Polri aktif, direktur penyelidikan dari unsur Polri, deputi penindakan yang masih berseragam Polri secara administratif, kehilangan kewenangan menandatangani surat perintah mulai dari penyelidikan hingga penetapan tersangka.

Hal ini dapat berdampak serius pada masa depan kasus-kasus korupsi karena para tersangka dapat mengajukan praperadilan dengan dasar sederhana: penyidik tidak punya kewenangan hukum sejak putusan MK.

 Dugaan Pola Intelijen Asing

Pernyataan paling keras dari Ponto berkaitan dengan kecurigaan bahwa kekacauan tafsir yang berkembang beberapa hari terakhir “memiliki pola yang sangat mirip dengan operasi intelijen asing”.

Sebagai mantan kepala BAIS, ia memahami bagaimana strategi tertentu digunakan untuk melemahkan institusi negara.

“Saya membaca polanya. Ketika hukum yang jelas dibuat seolah-olah multitafsir, ketika orang-orang pintar malah menggiring tafsir yang salah, dan ketika negara dibiarkan bingung… itu pola. Pola intelijen asing. Sasarannya selalu: melemahkan negara dari dalam" kata Ponto.

Baca juga: Mahasiswa Desak Pemerintah Implementasikan Putusan MK Soal Rangkap Jabatan Polri

Ia menegaskan bahwa ia tidak menuduh siapa pun, tetapi meminta publik berhati-hati terhadap manipulasi informasi.

Menurut Ponto, operasi seperti itu biasanya memanfaatkan akademisi yang tidak membaca norma secara benar, pejabat yang mencari celah untuk mempertahankan jabatan, perdebatan publik yang emosional dan tidak berbasis hukum.

“Kalau negara dibiarkan bingung, pintu intervensi asing terbuka lebar," ujarnya.
 
Perbandingan dengan TNI Salah Kaprah

Ponto mengkritik pihak yang membandingkan fleksibilitas penempatan TNI dengan Polri.

“Dasar hukumnya berbeda. TNI punya tiga komponen: utama, cadangan, dan pendukung. Itu membuat prajurit bisa ditempatkan di berbagai lembaga dalam konteks pertahanan. Polri tidak punya mekanisme itu. Jadi jangan dicampur aduk," katanya.

Sementara Polri, menurutnya, berdasarkan UU dan reformasi 2000, harus fokus pada fungsi penegakan hukum dan keamanan dalam negeri, bukan mengisi jabatan administratif di kementerian atau lembaga.

 
Jika Pemerintah Tidak Melaksanakan Putusan MK, Presiden Terancam Langgar Konstitusi

Soleman Ponto memberi peringatan bahwa penundaan atau pengabaian putusan MK oleh pemerintah dapat berkonsekuensi politik sangat serius.

“Tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi. Dan itu disebut jelas dalam Pasal 7A UUD 1945 sebagai salah satu alasan pemberhentian Presiden," katanya.

Ponto menekankan bahwa pernyataan ini bukan ancaman politik, melainkan konsekuensi hukum yang jelas.

Ia menambahkan bahwa sebenarnya isu ini tidak seharusnya menjadi kontroversi politik, tetapi cukup dilihat sebagai kewajiban konstitusional eksekutif.

“Jangan dibawa ke politik. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal negara hukum. Putusan MK final dan mengikat. Pemerintah wajib melaksanakan, titik," kata Ponto.
 
Ponto juga memperingatka tentang bahaya ketidakpastian hukum.

“Kalau semua orang tafsir sendiri, itu bukan negara. Itu rimba. Negara hukum berdiri karena ada aturan yang jelas. Putusan MK itu jelas. Eksekusi saja," katanya.

Menurutnya, hanya ada dua pilihan untuk menjalankan putusan MK ini, yakni menarik semua anggota Polri aktif dari jabatan sipil, atau meminta mereka melepaskan status sebagai anggota Polri dan menjadi pejabat sipil murni.

"Tidak ada opsi ketiga. Kalau bukan kita yang menghormati konstitusi bangsa ini, siapa lagi?” katanya.

Menurut Ponto, setelah putusan MK diucapkan, pemerintah tidak memiliki ruang untuk menunda.

“Semua harus dieksekusi. Kalau Presiden diam, itu pelanggaran konstitusi. Dan itu bisa dibawa ke ranah impeachment. Tapi jangan dibawa ke politik dulu. Kita bicara normanya dulu: ini sudah kewajiban konstitusional," ujar Ponto.

Ia meminta agar persoalan ini tidak ditarik ke perdebatan politik, melainkan diperlakukan sebagai kewajiban negara hukum.

“Jangan dibawa ke politik. Ini soal hukum. Putusan MK itu final. Tugas Presiden hanya satu: laksanakan," katanya.

Ponto menekankan bahwa negara hukum tidak boleh dibiarkan hidup dalam tafsir bebas yang tidak berdasar.

“Kalau semua orang tafsir sendiri, ya itu negara rimba namanya. Ini negara hukum. Laksanakan saja apa yang tertulis. Selesai," kata Ponto.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News dan WhatsApp

 

 

 

Sumber: WartaKota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved