Berita Nasional

Mahasiswa Desak Pemerintah Implementasikan Putusan MK Soal Rangkap Jabatan Polri

AMPHI menuntut pemerintah dan Kapolri segera tarik polisi aktif dari jabatan sipil, menuding implementasi putusan MK masih jauh dari nyata.

|
Editor: Dwi Rizki
Istimewa
RANGKAP JABATAN - Mahasiswa Penegak Hukum Indonesia (AMPHI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (17/11/2025). Mereka mendesak pemerintah segera memastikan implementasi penuh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil. 
Ringkasan Berita:
  • AMPHI turun ke jalan mendesak pemerintah patuhi Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil. 
  • Mahasiswa menyoroti maraknya konflik kepentingan akibat penempatan anggota Polri di posisi strategis kementerian dan lembaga negara. 
  • AMPHI menuntut Kapolri menarik seluruh personel aktif dari jabatan sipil, serta meminta MK mengawasi penuh implementasi putusan.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Aliansi Mahasiswa Penegak Hukum Indonesia (AMPHI) mendesak pemerintah segera memastikan implementasi penuh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.

Desakan tersebut disampaikan dalam aksi AMPHI di depan Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (17/11/2025). 

Ketua AMPHI, Sahrir Jamsin, menegaskan bahwa selama ini penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil telah menimbulkan beragam persoalan tata kelola, mulai dari potensi konflik kepentingan hingga melemahnya prinsip netralitas aparatur negara.

Menurutnya, putusan MK menjadi momentum penting untuk mempertegas supremasi sipil dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia.

“Aksi kami hari ini adalah bentuk komitmen untuk memastikan putusan MK tidak berhenti pada tataran normatif saja. Implementasi di lapangan masih jauh dari ideal karena masih ada anggota Polri aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara,” ujar Sahrir.

Menurut Sahrir, Ia menekankan bahwa Putusan 114/PUU-XXIII/2025 bersifat final dan wajib dilaksanakan tanpa penundaan. 

"Kami meminta MK melakukan pengawasan ketat atas pelaksanaan putusan, serta mendesak Kapolri menarik seluruh personel Polri aktif dari jabatan sipil atau mengalihkan status mereka sesuai peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari langkah reformasi internal Polri", tegasnya. 

Selain itu, AMPHI mendesak Presiden, pemerintah, dan DPR segera menyelaraskan seluruh regulasi agar tidak ada celah hukum yang memungkinkan praktik penempatan anggota Polri aktif di posisi sipil kembali terjadi. 

"Komisi Percepatan Reformasi Polri harus segera memainkan peran signifikan dalam memastikan implementasi putusan berlangsung efektif, transparan, dan bebas hambatan institusional", tandasnya. 

AMPHI menyatakan komitmennya untuk terus menjadi mitra pengawasan publik dalam menjaga marwah konstitusi.

Menurut Sahrir, Ia meminta agar pemerintah memastikan jabatan sipil tetap berada di bawah kendali pemerintahan sipil yang demokratis adalah tugas bersama seluruh elemen bangsa.

“Ini adalah bagian dari upaya menjaga integritas negara hukum. Kami akan terus mengawal agar supremasi sipil benar-benar ditegakkan,” pungkasnya.

7 Jenderal Polisi Terdampak Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) aktif tidak boleh merangkap jabatan sipil.

Hal tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (13/11/2025).

Dalam ketentuan tersebut, anggota Polri yang kini yang menduduki jabatan di luar kepolisian alias jabatan sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Dihimpun dari berbagai sumber, tercatat ada sebanyak tujuh perwira tinggi Polri yang kini menempati sejumlah posisi strategis, ntara lain:

  1. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen Pol Setyo Budiyanto.
  2. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo selaku Kepala BSSN.
  3. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho Sekjen Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).
  4. Komjen Panca Putra Simanjuntak yang bertugas di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).
  5. Komjen Pol Nico Afinta selaku Sekjen Menkumham.
  6. Komjen Pol Eddy Hartono selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
  7. Irjen Pol Mohammad Iqbal menjabat sebagai Inspektur Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Baca juga: Tindaklanjuti Putusan MK, Puan Tegaskan DPR akan Tindak Lanjuti Keterwakilan Perempuan

Dengan diterbitkannya putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite untuk seluruhnya.

Sehingga Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri tidak boleh merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta, kecuali di bidang pendidikan, penelitian, dan bidang lain yang sejenis atas izin Kapolri. 

Demikian pula dalam Pasal 17 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang layanan publik, terdapat larangan pejabat publik melakukan rangkap jabatan.

“Menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo dikutip dari antaranews.com.

Pasal yang diuji Pemohon

Adapun para pemohon, yakni advokat Syamsul Jahidin dan mahasiswa Christian Adrianus Sihite menguji konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Sementara itu, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri."

Dalam perkara ini, para pemohon mempersoalkan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’" yang termaktub dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Menurut mereka, frasa tersebut menimbulkan anomali hukum dan mengaburkan makna norma pasal keseluruhan.

Syamsul dan Christian menilai, dengan berlakunya frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri", seorang polisi aktif bisa menjabat di luar kepolisian tanpa melepaskan statusnya sebagai anggota Polri.

Para pemohon memandang, cukup dengan menyatakan telah “berdasarkan penugasan dari Kapolri”, seorang anggota Polri aktif bisa menduduki jabatan sipil. Mereka mendalilkan celah itu telah dimanfaatkan selama ini.

Dalam berkas permohonannya, Syamsul dan Christian mencontohkan beberapa anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil, di antaranya Komjen Pol. Setyo Budiyanto sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komjen Pol. Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Berdasarkan pertimbangan hukum, Mahkamah sependapat dengan dalil para pemohon.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan secara substansial, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sejatinya menegaskan satu hal penting, yaitu anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Artinya, kata Ridwan, jika dipahami dan dimaknai secara saksama, “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.

“Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis (jelas) yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” tuturnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan jika merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bagian penjelasan seharusnya tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

Dari konstruksi Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, Mahkamah menilai, frasa "yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian” dimaksudkan untuk menjelaskan norma dalam batang tubuh.

“Sehingga tidak mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002,” katanya.

Namun, Mahkamah menelaah, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” ternyata sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan terhadap norma pasal dimaksud.

“Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian,” ucap Ridwan.

Maka dari itu, Mahkamah menyimpulkan, frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bersifat rancu dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak sesuai dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved