Hari Pahlawan

35 Tokoh dari Rachland Nashidik hingga Rocky Gerung Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

Mereka menilai, pemberian gelar Pahlawan nasinal kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
PAHLAWAN NASIONAL - Kolase Rachland Nashidik dan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rocky Gerung menyampaikan 'Pernyataan Bersama' menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 

Seusai prosesi penyerahan, mereka sempat berbincang singkat dengan Presiden Prabowo di ruang tengah Istana.

Genggaman tangan hangat antara Prabowo, Tutut, dan Bambang menjadi simbol persaudaraan dan penghormatan lintas generasi antara murid dan guru, antara pemimpin masa kini dan warisan masa lalu.

Penganugerahan ini menandai babak penting dalam sejarah penghormatan negara kepada para tokoh bangsa.

Bagi sebagian kalangan, pengakuan terhadap Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menegaskan peran kompleks seorang pemimpin yang pernah membentuk arah Indonesia modern.

Bagi keluarga, ini adalah penghargaan atas pengabdian yang dikenang dengan bangga dan air mata.

Di halaman Istana, usai upacara, para tamu berdiri memberi penghormatan terakhir kepada para pahlawan yang baru diresmikan.

Lagu Gugur Bunga kembali berkumandang, mengiringi suasana haru yang menggema di tengah semilir angin Jakarta pagi itu, sebuah peringatan bahwa setiap perjalanan bangsa selalu berdiri di atas jasa mereka yang telah pergi, namun tak pernah dilupakan.

Pro dan Kontra

Direktur Eksekutif Veritas Institut, Aldi Tahir, menilai wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, seharusnya dilihat dari perspektif sejarah dan kontribusi nyata, bukan berdasarkan sentimen politik.

“Gelar pahlawan nasional bukan soal suka atau tidak. Ini soal menilai jasa seseorang secara objektif. Kalau setiap luka pribadi dijadikan alasan, maka bangsa ini akan kehilangan kemampuan untuk mengakui jasa tokohnya,” ujar Aldi dalam siaran tertulis pada Minggu (9/11/2025).

Menurut Aldi, bangsa yang besar tidak boleh membiarkan sejarah ditutupi oleh dendam politik atau persepsi subjektif. 

Ia menilai, Soeharto memiliki kontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional, seperti stabilisasi politik dan ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, ketahanan pangan, serta penguatan ekonomi rakyat.

“Tentu saja sejarah tidak bisa dilepaskan dari kritik. Tapi mengabaikan jasa besar Soeharto hanya karena kontroversi politik masa lalu adalah pendekatan yang tidak adil,” kata Aldi yang juga merupakan kader Gerakan Muda Demokrasi (GMD).

Ia menyoroti risiko munculnya 'politik dendam' apabila keputusan kenegaraan didasarkan pada pertimbangan pribadi atau pengalaman keluarga. 

“Jika alasan pribadi menjadi faktor utama penolakan, ini bisa menimbulkan politik dendam yang menghambat rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

Aldi mencontohkan beberapa tokoh bangsa yang dinilainya mampu bersikap bijak terhadap sejarah. 

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved