Hari Pahlawan

35 Tokoh dari Rachland Nashidik hingga Rocky Gerung Tolak Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

Mereka menilai, pemberian gelar Pahlawan nasinal kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
PAHLAWAN NASIONAL - Kolase Rachland Nashidik dan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rocky Gerung menyampaikan 'Pernyataan Bersama' menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 

Ringkasan Berita:
  • Presiden Prabowo resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, tapi keputusan ini langsung memicu gelombang penolakan publik.
  • Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional, termasuk Rocky Gerung mengeluarkan “Pernyataan Bersama” menolak gelar tersebut.
  • Mereka menilai penghargaan itu bisa “menyuntikkan bius amnesia sejarah” dan mengaburkan batas moral bangsa.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan Presiden Prabowo Subianto kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan.

Melalui pernyataan bersama yang diunggah di akun X (Twitter) pribadinya, @rachlannashidik, politikus dan aktivis Rachland Nashidik bersama 34 tokoh nasional lainnya menyatakan penolakan atas keputusan tersebut.

Dalam unggahannya pada Senin (10/11/2025), Rachland membagikan pernyataan berjudul 'Pernyataan Bersama' yang menyoroti keputusan negara menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Mereka menilai, pemberian gelar itu berpotensi mengaburkan sejarah dan mengaburkan batas moral bangsa.

“Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapa pun terhadap Republik ini, termasuk Soeharto. Tetapi kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang,” tulis pernyataan tersebut.

Pernyataan itu menegaskan bahwa kepahlawanan tidak semestinya digunakan untuk menutupi atau menyamarkan kesalahan dan kejahatan sejarah.

Para tokoh menilai, langkah pemerintah justru 'menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa'.

“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif, cara bangsa mendidik anak-anaknya membedakan benar dan salah dalam sejarah. Ia tidak boleh dikosongkan maknanya menjadi sekadar kemegahan personal, karena sesungguhnya ia adalah kompas moral bagi kehidupan bersama dalam menuju masa depan," jelasnya.

Dirinya setuju, rekonsiliasi bisa saja berguna untuk menyembuhkan luka-luka bangsa.

Namun, dirinya maupun para tokoh para mempertanyakan sikap inkonsisten negara yang dianggap hanya mengakui sebagian sejarah, tanpa membuka ruang bagi tokoh-tokoh kiri yang turut berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme, namun dihapus dari catatan resmi sejarah karena perbedaan ideologi.

"Kami bertanya: Apakah bangsa ini telah kehilangan keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri? Apakah nilai nilai yang hendak diajarkan kepada anak anak dan cucu kita dari sikap inkonsisten dan mau menang sendiri tersebut?" tanya Rachland.

"Bahwa kekuasaan boleh berbuat apa saja sepanjang mendatangkan kemakmuran? Bahwa kepatuhan pada negara lebih penting daripada kemanusiaan dan solidaritas sosial?" bebernya.

"Bahwa kebebasan adalah ancaman konstan pada pembangunan ekonomi? Bahwa korban-korban boleh jatuh dan dilupakan demi stabilitas politik?" tegas Rachland.

Apabila itu pelajaran moral yang akan diwariskan kepada generasi muda, maka bangsa Indonesia ditegaskannya bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang memperpanjang bayang-bayang masa lalu.

"Terhadap kemungkinan itu, kami menyatakan tidak setuju," tutupnya.

Sumber: Warta Kota
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved