Sekolah Rakyat

Dari Kerasnya Jalanan, Petinju Muda Papua Temukan Rumah di Sekolah Rakyat

Kerasnya kehidupan jalanan di Kota Jayapura, Papua, menjadi santapan sehari-hari Haris Okoka (17). Kini ia merajut asa di SRMA 29 Jayapura, Papua

Editor: Lucky Oktaviano
Dok Kemensos RI
Haris Okoka (17), kiri, adalah salah satu potret dari ribuan siswa Sekolah Rakyat yang kini merajut asa untuk keluar dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Dari kehidupan jalanan, kini Haris bersekolah di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 29 Jayapura. Sepanjang 2025 telah berdiri 166 Sekolah Rakyat yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia dengan 15.945 siswa.  

Selain digembleng teknik bertinju, fisik dan mentalnya juga ditempa sedemikian rupa.

Dia paham betul teknik pukulan jab, cross, hook, dan uppercut. Begitu pula dengan teknik bertahan slipping dan rolling, menangkis, serta irama kaki yang baik untuk menjaga keseimbangan dan jarak dari lawan.

Dia menjelaskan kunci dari semua teknik adalah posisi dan keseimbangan tubuh yang benar, siku selalu rapat dengan badan untuk melindungi bagian tulang rusuk, serta kepala merunduk di bawah kepalan kedua tangan.

“Kalau (kedua tangan) terlalu rendah dipukul muka masih kena,” jelasnya sambil memeragakan cara menahan pukulan lawan.

Dia pun mengaku tahu benar titik-titik rentan dari tubuh manusia untuk dilumpuhkan serta bahaya yang ditimbulkan. “Kita kan tahu tempat mati posisi lawan,” tuturnya.

Butuh Perhatian dan Kasih Sayang

Namun di balik sifat keras dan temperamennya, Haris sebagaimana remaja pada umumnya adalah anak-anak yang butuh perhatian dan kasih sayang.

Di Sekolah Rakyat, dia akhirnya belajar ada cara lain menyelesaikan persoalan selain dengan otot.

“Awalnya emosian, apa-apa langsung fisik. Terus kita ajarin teknik tarik napas dulu, keluarkan, tarik napas, baru kamu berbicara. Kalau ada sesuatu relaks dulu,” kata Sinta Ari Susanti, wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SRMA 29 Jayapura.

Sinta menjelaskan, setelah menggali kisah hidup Haris diketahui dia memiliki trauma kekerasan di masa kecilnya.

Salah satu dampaknya dia mudah tersulut emosi terutama dalam kondisi bising. “Ternyata ada trauma itu. Dia tuh enggak bisa mendengarkan suara-suara ramai gitu,” urainya.

Setelah Haris kehilangan kedua orangtuanya, Sinta juga mensinyalir pemuda ini kehilangan sosok pembimbing dan pengayom dalam hidupnya.

Untuk itu, Sinta dan para pendidik lainnya mencoba mencarikan solusi dengan menemukan tempat nyaman dan tenang, yaitu di perpustakaan.

Belakangan diketahui Haris suka dengan buku-buku sejarah dan hal itu manjur untuk menenangkannya.

Sementara untuk sosok pengganti orangtua, peran itu bisa digantikan oleh Kepala Sekolah SRMA 29 Jayapura, Janet Berotabui.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved