Lingkungan Hidup
Jika Tak Ada Tambang Nikel, Valuasi Ekonomi Hutan Morowali Capai Rp 2,8 T per Tahun
Hutan Morowali sendiri menyerap lebih dari 1,1 juta ton emisi karbon (CO₂e) per tahun dan menjadikannya aset dalam strategi mitigasi nasional.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA- Total Economic Value (TEV) hutan Kabupaten Morowali mencapai Rp 2,81 triliun per tahun atau 44,61 persen lebih tinggi dari realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Morowali tahun 2023 sebesar Rp 1,94 triliun.
Hal tersebut termuat dalam laporan terbaru dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) yang dipaparkan ke publik di Hotel Morrissey Jakarta Pusat, Selasa, 29 Juli 2025.
Namun, sekitar Rp 1,07 triliun per tahun dari nilai tersebut sudah berada dalam wilayah konsesi tambang dan terancam hilang. Jika ekspansi tambang terus dilakukan, potensi kerugian ekonomi dapat bertambah hingga Rp 568 miliar per tahun.
Laporan ini disusun dengan pendekatan valuasi total ekonomi yang mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Termasuk di dalamnya, manfaat langsung, tidak langsung, nilai keberadaan, pilihan dan warisan.
“Sulawesi adalah wilayah strategis yang menyimpan cadangan nikel besar, tetapi juga merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang paling kaya. Ketidakseimbangan antara eksploitasi dan perlindungan hutan akan berujung pada kerugian jangka panjang baik secara ekologis maupun ekonomi,” ujar Risky Saputra, peneliti AEER
Baca juga: Tidak Ada Unsur Pidana Dibalik Kematian Arya Daru, Polisi Tetap Lanjutkan Penyelidikan, Ada Apa?
Ia menjelaskan, analisis dilakukan dengan menggunakan data SDA Hutan dan perizinan pertambangan nikel periode 2023-2025 dari dokumen dan publikasi instansi resmi.
Penilaian spasialnya diukur menggunakan software Arcgis dengan teknik tumpang tindih (overlay), sementara nilai ekonominya dihitung menggunakan metode pendekatan pasar dan metode biaya pengganti (benefit transfer)—untuk melakukan penilaian manfaat hutan yang tidak tersedia di pasar.
Kabupaten Morowali merupakan pusat pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah, terutama karena keberadaan pusat industri nikel seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP). Namun, di balik pertumbuhan pesat itu, tekanan terhadap ekosistem hutan terus meningkat. Padahal, kawasan hutan Morowali tidak hanya menjadi penyangga lingkungan lokal, tetapi juga memiliki peran penting dalam menyerap karbon dan menjaga keseimbangan ekologis.
Baca juga: Polisi Temukan DNA Diplomat Arya Daru Pada Sisa Lakban, Tidak Ada Bercak Darah dan Sperma
Temuan ini menjadi sangat relevan menjelang pengajuan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia ke UNFCCC dalam Konferensi Iklim COP 30 pada November 2025. Sebagai dokumen resmi komitmen iklim nasional, SNDC akan menetapkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pencapaian FoLU (Forestry and Other Land Use) Net-Sink 2030 yaitu target serapan 140 juta ton emisi setara karbondioksida (CO₂e) pada tahun 2030.
Hutan Morowali sendiri menyerap lebih dari 1,1 juta ton emisi karbon (CO₂e) per tahun dan menjadikannya aset dalam strategi mitigasi nasional.
Namun, sepanjang 2019-2023, aktivitas pertambangan nikel nasional telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas 37.660 hektare yang setara dengan emisi 28,7 juta ton emisi karbon. Dari luas deforestasi tersebut, sekitar 16 % atau 6.110 hektare di antaranya, terjadi di pertambangan yang berada di Morowali
Saat ini, 35 % wilayah Morowali atau 157.935 hektare telah dikonversi menjadi konsesi tambang nikel untuk 70 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 133.256 hektare merupakan kawasan hutan dan 97.790 hektare berada di hutan primer yang seharusnya dilindungi.
Baca juga: Polisi Klarifikasi Kematian Diplomat Arya Daru, Tidak Ada Tanda Ikatan di Tangan dan Kaki
“Tanpa intervensi kebijakan yang kuat, tekanan industri nikel akan mempercepat deforestasi dan mengancam pencapaian target iklim serta keanekaragaman hayati nasional,” ujar Meity Ferdiana Pakual, peneliti dari Universitas Tadulako. “Valuasi ekonomi ini memberikan landasan kuat untuk moratorium izin baru di hutan primer dan kawasan bernilai keanekaragaman hayati tinggi.”
Morowali merupakan kawasan yang kaya dengan spesies endemik antara lain burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang kini berstatus Critically Endangered (CR), burung Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan Monyet Butung (Macaca ochreata). Ini belum termasuk puluhan flora dan fauna lain yang tercatat dalam basis data Global Biodiversity Information Facility (GBIF).
Dalam diskusi peluncuran laporan, Akhmad Fauzi, Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor menekankan pentingnya perubahan paradigma tentang sumber daya alam—bukan sebagai faktor produksi melainkan sebagai modal alam (natural capital).
Program SLV Apical Dorong Peningkatan Kapasitas Petani dan Rehabilitasi Lingkungan di Aceh Singkil |
![]() |
---|
Tekan Emisi Karbon Hingga 10 Ton Lewat Reverse Vending Machine, ASDP Gandeng Kemenhub & BUMN |
![]() |
---|
Program CarbonX 2.0 dari Tencent Buka Peluang Pendanaan Bagi Inovator Teknologi Karbon Indonesia |
![]() |
---|
Upaya Kurangi Emisi Karbon, ACC Tanam 1.000 Bibit Mangrove di Mangrove Arboretum Park Denpasar Bali |
![]() |
---|
Dorong Gaya Hidup Ramah Lingkungan, ASDP Kumpulkan 1,72 Ton Sampah dari Reverse Vending Machine |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.