Pilpres 2024

Ramai Soal Amicus Curiae di Sidang MK, Feri Amsari: ini Kekhawatiran Megawati yang Sangat Tinggi

Saat ini sedang ramai soal amicus curiae yang diajukan Megawati Soekarnoputri. Ternyata, hal ini bikin khawatir kubu 02, kok bisa? Ini kata pakar.

Editor: Valentino Verry
Kompas.com
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan amicus curiae yang diajukan Megawati Soekarnoputri sangat lumrah, karena ada perasaan khawatir yang sangat tinggi. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Jelang putusan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), kini ramai soal amicus curiae yang diajukan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Amicus curiae atau sahabat pengadilan ini tentu sangat mengkhawatirkan buat kubu 02, karena berpotensi menggiring opini hakim MK.

Apalagi amicus curiae ini diajukan oleh tokoh sekelas Megawati.

Baca juga: Tak Mau Kalah, Kubu Prabowo-Gibran Kerahkan 10 Ribu Pendukung Jadi Amicus Curiae ke MK, Jumat

Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan amicus curiae sangat membantu para hakim dalam mempertimbangkan putusan.

“(Amicus curiae) merupakan sesuatu yang lumrah terjadi dan biasanya sangat membantu dan dipertimbangkan hakim dalam putusan,” kata Feri saat dihubungi Tribunnews, Rabu (17/4/2024).

Menurutnya, Megawati sudah mencapai puncak kekhawatiran tertinggi tentang proses pemilu dan pilihan Megawati untuk menyerahkan amicus curiae ke Mahakmah Konstitusi (MK) merupakan langkah baik.

“Bahkan kalaupun Mega mengajukan sebagai tokoh, tentu itu sesuatu yang baik saja ya,” ujarnya.

Baca juga: Amicus Curiae Habib Rizieq Shihab Cs Tak Jadi Pertimbangan MK dalam Rapat Hakim, Ini Sebabnya

“Dan bagi saya apa yang dilakukan Mega itu menunjukkan dia sudah sampai ke tingkat kekhawatiran paling tinggi dan meneruskan pandangan sebagai sahabat peradilan,” ia menambahkan.

Sebelumnya, Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, sempat menyampaikan bahwa amicus curiae harusnya disampaikan dalam proses persidangan.

Feri menegaskan amicus curiae dapat disampaikan kapan saja selama proses peradilan belum selesai.

Sebab, amicus curiae bukan merupakan kewajiban hukum dan juga bukan standar hukum formil dalam hukum acara di Indonesia.

Sebagai informasi, Megawati meminta MK tak mengabdi kepada kekuasaan.

Baca juga: KPU Sebut Amicus Curiae di Sidang Sengketa Pilpres Tidak Ada di Peraturan MK dan UU Pemilu

Pernyataan ini disampaikan melalui amicus curiae-nya tentang sengketa Pilpres 2024 yang diajukan ke MK.

Megawati mengatakan, dengan memahami lahirnya konstitusi, setiap hakim MK wajib menempatkan Pembukaan UUD NRI 1945, pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya, dan penjelasan UUD NRI 1945, serta perubahan melalui Amandemen I hingga V sebagai satu kesatuan pemikiran yang dipahami dengan melihat konteks, suasana kebatinan, latar belakang, dan harapan seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, dia menyebut bahwa dengan mengingat sifat, tugas pokok, fungsi, dan kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai benteng konstitusi dan demokrasi, dirinya sengaja mencarikan sendiri lokasi MK.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Qurrata Ayuni, mengatakan amicus curiae bukan bagian yang bisa dimasukkan sebagai alat bukti dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, amicus curiae lebih diartikan sebagai sahabat pengadilan, dan hanya bersifat dukungan moral terhadap pengadilan sehingga tidak bisa dijadikan instrumen dalam menekan keputusan hakim.

"Semua pengadilan boleh punya amicus curiae, tapi enggak bisa memberikan sebagai bentuk dari salah satu alat bukti ya, itu enggak dikenal. Kedua, sifatnya itu sebagai bentuk dukungan saja, karena itu kan sebenarnya sahabat pengadilan ya," kata Qurrata Ayuni kepada wartawan, Rabu (17/4/2024).

Selain itu, Ayuni menekankan hakim MK tak bisa memasukkan pendapat amicus curiae sebagai bagian dari pertimbangan putusan.

"Itu bukan merupakan salah satu alat yang digunakan di dalam persidangan di MK, baik dari kedua belah pihak, baik dari pemohon maupun dari KPU," ujarnya.

Dia mengamini amicus curiae bisa diajukan oleh siapa saja.

Namun, amicus curiae tidak dapat digunakan sebagai tekanan terhadap MK karena hakim bersikap independen.

"Ada prinsip bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah independen, dia tidak bisa di-press by mass atau press by press, tidak bisa ditekan oleh massa atau ditekan oleh opini. Jadi dia tidak boleh ditekan oleh opini," ucapnya.

Pakar hukum tata negara lainnya, Abdul Chair Ramadhan mengatakan langkah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang mengajukan diri sebagai amicus curiae dianggap tidak tepat.

Menurutnya, pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae bukanlah orang yang sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK), sementara Megawati meskipun mengajukan sebagai warga negara Indonesia, tetapi pada dirinya melekat jabatan ketua umum parpol.

“Amicus curiae pada prinsipnya itu bisa siapa saja yang mengajukan baik organisasi, perorangan, akademisi, profesional, praktisi dan lain-lain tetapi sepatutnya amicus curiae itu hadir bukan pihak yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa atau sedang diputus oleh Mahkamah,” ujar Abdul.

Lebih lanjut, Abdul menjelaskan seharusnya yang mengajukan sebagai amicus curiae pihak independen yang memberikan dukungan kepada MK.

“Amicus curiae itu pada dasarnya pada prinsipnya dihadirkan diberikan kepada mahkamah orang-orang atau pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan langsung baik sebagai pemohon baik sebagai termohon maupun pihak terkait,” ucapnya.

“Jadi dia tidak berada pada tataran yang demikian, sehingga disebut sebagai sahabat pengadilan, maksudnya sahabat di sini yang memiliki keprihatinan yang memiliki dukungan," imbuhnya.

"Keprihatinan dukungan ini tidak menjadikan pihak pada posisi yang sedang bersengketa itu yang dimaksudkan,” tandasnya.

Megawati Ajukan Diri sebagai Amicus Curiae

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bersama Jokowi saat masih harmonis.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bersama Jokowi saat masih harmonis. (Kompas.com)

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024.

Megawati mengatakan kini rakyat Indonesia sedang menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres yang akan dicatat dalam sejarah.

Menurutnya, rakyat menunggu apakah MK dapat mengambil keputusan sesuai hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Megawati juga menyinggung soal etika presiden. Dia mengutip pernyataan budayawan dan rohaniwan Frans Magnis Suseno soal pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan Pilpres 2024.

Dia menuturkan, tanggung jawab presiden terhadap etika sangatlah penting sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi atas negara dan pemerintahan yang sangat besar.

Selain itu, Megawati menerangkan bahwa pernyataan Magnis menjadi landasan etis bagi hakim MK untuk mengurai seluruh akar persoalan Pilpres mulai dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.

Dia juga menyoroti mengenai temuan adanya penurunan kualitas demokrasi Indonesia seperti diungkapkan Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House.

Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

"Dengan mencermati pelbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi," ungkap Megawati.

Megawati juga mengurai adanya kecurangan dari masa ke masa selama pemilu berlangsung di tanah air.

"Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif, sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri," ucapnya.

Dia menjelaskan Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan presiden.

Menurutnya, nepotisme saat ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika presiden masih menjabat.

"Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah? Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah," ungkap Megawati.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved