Pilpres 2024

Sidang MK, Kubu 01 dan 03 Desak Diskualifikasi Prabowo-Gibran, Qodari: Gimana, Minta Setelah Kalah?

Pengamat politik M Qodari melihat materi gugatan kubu 01 dan 03 ke MK nyeleneh. Yakni permintaan diskualifikasi Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.

Editor: Valentino Verry
TRIBUNNEWS/DANANG TRIATMOJO
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai materi gugatan kubu 01 dan 03 tak substansial, karena ada permintaan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menyidangkan sengketa hasil Pilpres 2024.

Sejak disidangkan pada 27 Maret, masing-masing kubu melontarkan pendapat membela kepentingan mereka.

Namun, yang jadi sorotan permintaan seragam dari kubu 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD), agar Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi sebagai peserta Pilpres 2024.

Baca juga: Gugatan Anies-Cak Imin Pemilu Ulang Tanpa Gibran Diyakini Sulit Dikabulkan MK, Ini Alasannya

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, materi gugatan itu tidak substansial.

Qodari menyoroti dua hal. Pertama, terkait permintaan kubu 01 dan 03 yang relatif sama yaitu menuntut presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran didiskualifikasi dari peserta Pilpres 2024.

Menurutnya, tuntutan itu hanya pura-pura, sebab jika mereka serius, seharusnya sejak awal sudah membawa persoalan itu ke pengadilan tata usaha negara, sebelum proses pendaftaran peserta Pilpres 2024 ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Kalau buat saya sih pertama kalau misalnya mau ada diskualifikasi, harusnya diskualifikasi itu sudah dimintakan oleh 01 dan 03 dari jauh-jauh hari ya, bukan sekarang setelah hasil pemilunya ditetapkan dan ternyata kalah,” kata Qodari, Jumat (29/3/2024).

Baca juga: Pakar Hukum: Anies dan Ganjar Berpeluang Menang di MK, Prabowo-Gibran Bisa Didiskualifikasi

“Harusnya itu dilakukan pada saat Prabowo-Gibran mendaftar ke KPU, begitu mendaftar artinya potensial menjadi calon, maka segera saja itu diadang dengan upaya-upaya hukum, misalnya membawanya ke pengadilan tata usaha negara,” imbuhnya.

Menurut Qodari, tuntutan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran ke tata usaha negara pun sudah terlambat, karena pelaksanaan pilpres sudah selesai dan sudah ada ketetapan pemenangnya oleh KPU.

“Pesan saya adalah bahwa kalau memang masalah kandidasi dan ini memang persoalan yang substansial, maka Anda sudah harus melakukan upaya hukum dan upaya melakukan diskualifikasi semenjak awal begitu," ucapnya.

"Kalau Anda melakukan upaya diskualifikasi setelah hasilnya ditetapkan KPU dan selisihnya jauh begitu, kalau kata orang Palembang sih ini icak-icak bae ini alias pura-pura aja gitu lho,” lanjutnya.

Baca juga: Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma untuk Jelaskan Guyuran Bansos di Pilpres

Qodari sependapat dengan salah satu kuasa hukum Prabowo-Gibran, Hotman Paris yang mengatakan Gibran secara tidak langsung sudah diakui menjadi cawapres dalam dua momen penting yaitu pertama saat pengambilan nomor urut capres-cawapres dan kedua saat debat kandidat.

“Seperti kata Bang Hotman Paris bahwa tindakan itu adalah pengakuan, Bang Hotman mengatakan ada dua peristiwa di mana tindakan itu adalah pengakuan, pertama paslon 01, 02, 03 bersama partai politik pendukungnya dan ketua umum masing-masing itu hadir dalam acara pengambilan nomor undian termasuk misalnya 03 ada Ibu Mega. Berarti ada pengakuan di situ terhadap kandidasi kepada Prabowo dan Gibran,” ucapnya.

“Yang kedua dia bilang debat, buat saya enam ya, satu kali pengambilan undian, lima kali acara debat, acara debat itu tiga kali calon presiden, dua kali calon wakil presiden gitu lho,” lanjutnya.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, minta MK menghadirkan Presiden Jokowi sebagai saksi untuk menungkap secara tuntas kecurangan Pilpres 2024.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, minta MK menghadirkan Presiden Jokowi sebagai saksi untuk menungkap secara tuntas kecurangan Pilpres 2024. (Kompas.com)

Dari dua peristiwa tersebut, Qodari mengatakan sudah dianggap sebagai bentuk pengakuan atau legitimasi Gibran sebagai cawapres yang sah, tetapi ketika para penggugat kalah malah minta didiskualifikasi.

“Jadi, sudah ada pengakuan yang sudah jelas-jelas faktual di sana, bahwa saya ini bertarung dengan anda gitu loh, ini sama dengan pemilihan ketua senat si A si B si C sudah ngambil nomor undian, lalu kemudian sudah melakukan debat lima kali tiba-tiba begitu ternyata hasil coblosan mahasiswa memilih kandidat nomor B begitu, lalu A sama C bilang eh B Anda enggak layak jadi kandidat anda harus didiskualifikasi, menurut saya itu ilustrasi terhadap peristiwa yang sedang terjadi sekarang ini,” tuturnya.

Lebih lanjut, persoalan kedua yang disoroti Qodari adalah gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menyertakan gugatan selisih angka dari masing-masing kandidat yang angkanya dibandingkan dengan penghitungan rekapitulasi suara dari KPU.

“Nah, yang kedua pada hari ini ya kalau ada permohonan kepada MK mau tidak mau harus berbicara angka, ingat bahwa 01 sama 03 ini lawannya itu bukan 02 dan bukan Pak Jokowi, dalam Mahkamah Konstitusi lawannya adalah KPU,” katanya.

“Karena itu setahu saya kalau anda mau gugat, mau gak mau harus datang dengan angka, KPU menetapkan angka 01 sekian, 02 sekian, 03 sekian, yang menang adalah 02 sekali putaran karena angkanya sekian-sekian, di situ harus di-challenge oleh 01 oleh 03, masing-masing datang dengan angkanya sendiri-sendiri,” lanjutnya.

Dikatakan Qodari, syarat formil tersebut harus terpenuhi jika gugatannya ingin dipertimbangkan dan dikabulkan oleh hakim MK, bukan lagi bicara proses politik saat di persidangan.

“Nah, ini kan proses formil yang harus dipenuhi karena kita bicara hukum, kita bukan bicara proses politik karena itu syarat-syarat dalam proses hukum itu harus terpenuhi,” ujarnya.

“Di Mahkamah Konstitusi itu sudah ada formatnya, di Mahkamah Konstitusi itu tempatnya adalah sengketa hasil ya, yang namanya hasil itu mau gak mau kita bicara suara dan nanti harus didalilkan kenapa angka-angka KPU itu salah, harus didalilkan. Angka-angka yang berubah ini sumbernya dari mana harus dibuktikan,” pungkas Qodari.

Ada pun politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih cocok dihadirkan di sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), ketimbang para menteri.

Sebab, gugatan dari termohon ada kaitannya dengan 'cawe-cawe' Jokowi di Pilpres 2024.

Hal itu didukung oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari.

Menurut Feri, Presiden Jokowi memiliki hak untuk membela diri dari tuduhan tersebut dengan memberikan kesaksian dalam persidangan.

"01 dan 03 mendalilkan peran Presiden. Pertanyaannya, kalo orang dituduh melakukan kecurangan, dia punya satu hak penting, membela dirinya dalam persidangan di depan hukum," kata Feri, dalam diskusi bertema 'Dalil Kecurangan Pemohon PHPU Pilpres 2024 di MK: Mungkinkah Dibuktikan?' di Jakarta Selatan, Jumat (29/3/2024).

Oleh karena itu, Feri kemudian menyampaikan harapannya agar Presiden Jokowi bersedia hadir dalam persidangan PHPU Pilpres di MK.

"Saya berharap, 01 dan 03 meminta Presiden RI Joko Widodo bersedia memberikan keterangan sebagai saksi utntuk membela dirinya sendiri bahwa dia tidak terlibat dalam kecurangan itu. Meskipun sudah mengatakan cawe-cawe dan menggunakan data intelejen untuk mengetahui dapur partai politik," ucapnya.

Kata Feri, kalau pun permintaan para Pihak Pemohon tidak dipertimbangkan majelis hakim konstitusi, ia berharap MK sendiri yang melakukan pemanggilan untuk Presiden Jokowi hadir dalam persidangan.

Hal ini juga, menurutnya, sebagai cara untuk persidangan PHPU Pilpres di MK tidak hanya terkesan sebagai sarana mencari keadilan bagi kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud saja, melainkan juga pihak-pihak yang diduga terlibat di dalamnya.

"Jika pun 01 dan 03 tidak didengarkan, maka saya berharap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang dituntut adil mendengarkan seluruh pihak, memerintahkan dan meminta Presiden RI untuk menyampaikan keterangan sebagai saksi di dalam persidangan MK supaya fair, supaya ini tidak soal 01, tidak soal 03, apalagi soal anaknya (Jokowi)," jelas Feri.

Lebih lanjut, Feri menyampaikan, jika Presiden Jokowi enggan hadir di dalam persidangan tersebut, maka justru terdapat hal lain yang dapat dipertimbangkan terkait ketidakinginan RI1 untuk memberikan kesaksiannya untuk membela diri dari tuduhan yang diarahkan terhadapnya.

"Ini soal hak dia (Presiden Jokowi) membela diri karena dituduh berbuat curang. Kalau dia tidak berani hadir, di sinilah problematikanya. Apa yanh membuat Presiden tidak berkeinginan menyampaikan pandangannya membantah tuduhan-tudah ini? Kecuali memang Presiden terlibat dalam permainan kecurangan ini," tutur akademisi hukum itu.

Diberitakan sebelumnya, Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran yakni Otto Hasibuan menanggapi permintaan Tim Ganjar-Mahfud dengan meminta agar hakim MK menghadirkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam sidang berikutnya.

"Kalau kami minta Ibu Megawati dipanggil, kan enggak habis-habis. Kalau mereka butuh menteri, kami juga meminta Bu Megawati dipanggil, mau enggak?" ucap Otto di gedung MK, Kamis (28/3/2024).

Meski begitu, Otto memastikan pihaknya tak keberatan apabila memang hakim pada akhirnya memanggil menteri-menteri itu karena membutuhkan pertimbangan terkait putusan.

"Kalau majelis merasa perlu untuk menguatkan putusannya, majelis memanggilnya, fine-fine aja kami. Demi keadilan demi hukum kami tidak keberatan," ujarnya.

Menurut dia seharusnya menteri tak perlu dipanggil bersaksi.

"Kenapa? Karena ini adalah sengketa dua pihak," kata Otto.

Ia menilai perkara PHPU Pilpres ini merupakan sengketa antar dua pihak sehingga dalam hukum, katanya, berlaku asas yang sifatnya universal.

"Artinya, barang siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dia buktikan dalilnya. Dan barang siapa menyangkal sesuatu, dia harus buktikan penyangkalannya," ucap Otto Hasibuan.

"Jadi istilahnya adalah, terutama adalah berdeun proof, kalau you mau membuktikan sesuatu, you cari buktinya. Jadi jangan dia datang ke pengadilan, (lalu bilang) 'Pak Hakim saya ini benar, tolong Hakim panggil si anu', itu enggak bisa. Ini perkara dua pihak," jelasnya.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved