Pemilu 2024

Serangan Fajar atau Politik Uang Marak Jelang Pencoblosan Pemilu, Apa Kata Petinggi MUI dan NU?

Tiap kali Pemilu selalu marak seranan fajar atau politik uang. Boleh apa tidak sih? Ini penjelasan MUI dan NU.

Editor: Valentino Verry
Istimewa
Ilustrasi politik uang - Serangan fajar atau politik uang biasanya terjadi mendekati Pemilu, untuk itu masyarakat harus berani menolak demi kualitas demokasi yang lebih baik. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Hari ini, Rabu (14/2/2024), rakyat Indonesia akan melaksanakan hak pilihnya, yakni mencoblos di Pemilu.

Dalam pesta demokrasi lima tahunan kali ini, berbeda dari sebelumnya.

Untuk Pemilu kali ini pemilihan jauh lebih ribet, sebab setiap WNI yang terdata di DPT akan mendapat lima hingga enam surat suara.

Nah, biasanya ada caleg atau tim sukses dari kontestan Pilpres yang coba berderma lewat serangan fajar atau politik uang.

Tujuannya supaya mereka dipilih di bilik suara. Cara instan seperti itu apa diperbolehkan menurut agama?

Berikut penjelasan MUI dan Nahdatul Ulama (NU) terkait hukum menerima uang serangan fajar menurut Islam.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.

Baca juga: Film Dirty Vote Beredar, Maruf Amin Tuntut Pemilu Jurdil, Abhan Malah Takut Serangan Fajar

Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih.

Misalnya menyuap atau dikenal serangan fajar.

"Sehingga itu hukumnya haram," jelasnya di kantor MUI, Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Prof Niam menegaskan, praktik tersebut hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.

Diharapkan, memilih pemimpin berdasarkan kompetensi.

Baca juga: Bawaslu DKI Keluarkan 20 Indikator TPS Rawan Jelang Pemungutan Suara, Politik Uang Sampai Kekerasan

Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.

"Dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi," ungkap Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini.

Lebih jauh, para pelaku dan penerima uang serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.

Pihaknya juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.

Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.

Baca juga: Kerahkan Ribuan Personil, Bawaslu DKI Patroli Antisipasi Adanya Serangan Fajar Jelang Pencoblosan

Dari sudut pandang NU, uang suap politik atau materi lain kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka dalam pemilu dipandang sangat berbahaya bagi demokrasi dan telah menjadi sorotan utama dalam diskusi di Munas-Konbes NU tahun 2002 tentang Money Politic dan Hibah terhadap Pejabat.

Dalam Islam, hal ini dikategorikan sebagai suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah SWT, baik pemberi (raisy), penerima (murtasyi), maupun perantara (raaisy), semuanya berdosa.

Dengan demikian, Muktamar NU pada tahun 2002 dengan tegas memutuskan bahwa melakukan tindak politik uang bertentangan dengan syariat Islam dan karenanya diharamkan.

Pelanggengan sistem ini akan merusak sendi-sendi demokrasi, seperti merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kapabilitas.

Politik uang atau serangan fajar jelang Pemungutan Suara Pemilu 2024 menjadi sorotan publik.

Baru-baru ini viral sebuah video berdurasi 38 detik yang beredar di Whatsapp Grup warga Jember, Jawa Timur, Selasa (13/2/2024).

Dalam video tersebut memperlihatkan pengakuan pria yang mendapatkan undangan nyoblos dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Namun, di balik undangan pemberitahuan Pemungutan suara tersebut terlihat ada amplop warna putih bergambar Calon Anggota Legislatif (Caleg) tingkat Provinsi Jawa Timur, yang di dalamnya ada dua lembar uang Rp 10.000 atau senilai Rp 20.000.

"Saya dapat surat undangan nyoblos, tapi anehnya juga ada amplop di baliknya, oleh petugas KPPS disuruh mencoblos caleg nomer dua dari Partai," ujar pria dalam video itu.

Menurutnya, hal tersebut merupakan praktik kecurangan dalam pesta demokrasi.

Sehingga, dia mengaku tidak mau menerima uang pemberian itu.

"Yang jelas uang ini tidak akan saya ambil, masukkan kotak amal saja. Maka praktik seperti ini jelas membodohi masyarakat, tolong siapapun sampaikan ini pada Bawaslu," ucapnya.

Menanggapi beredarnya video tersebut, Komisioner Bawaslu Jember Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi (Datin), Devi Aulia Rahim mengaku masih melakukan penelusuran sumber audio visual tersebut.

"Belum jadi temuan masih ditelusuri. Karena ada info, terdapat video lagi bahwa amplop terpisah," ujarnya.

Devi, mengaku masih mengumpulkan bukti petunjuk. Serta mencari identitas pembuat video hingga KPPS yang bertugas di lapangan, untuk dimintai keterangan.

"Misal diduga terjadi pelanggaran, kalau arahnya politik uang maka jatuhnya pelanggaran pidana. Tapi harus kami cari tahu dulu subjeknya siapa, peristiwanya harus kami kaji, tidak langsung dijadikan temuan," katanya.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved