Pilpres 2024

Minta Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh berpihak, PP Muhammadiyah Keluarkan 6 Sikap

PP Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan keras kepada Jokowi. Ormas Islam ini minta Jokowi cabut pernyataan presiden boleh memihak capres

Editor: Rusna Djanur Buana
Dok. Sekretariat Presiden via Kompas.com
Presiden Joko Widodo saat menjelaskan soal aturan presiden dan wakil presiden boleh kampanye di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (26/1/2024). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA--Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa presiden boleh berkampanya dan berpihak kepada salah satu paslon capres-cawapres mendapat reaksi keras dari PP Muhammadiyah.

Ormas Islam besar tersebut meminta Presiden mencabut pernyataan tersebut. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden seharusnya bersikap netral.

Penegasan ini dikemukakan Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo.

Seruan ini dikeluarkan menjawab kontroversi menteri dan presiden boleh memihak dan berkampanye, asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, dengan mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau biasa dikenal dengan UU Pemilu, Pasal 281 dan 299.

“Pernyataan Presiden Jokowi itu tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata, tapi juga dengan optik yang lebih luas, yakni dari sudut pandang filosofis, etis dan teknis,” tegasnya sebagaimana dikutip Tribunnews pada Minggu (28/1/2024).

Baca juga: VIDEO Luhut Lontarkan Kritikan Pedas ke Tom Lembong soal Contekan buat Jokowi

Dari sudut pandang normatif adalah benar bahwa Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak melaksanakan kampanye.

“Tetapi pasal tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye,” ujarnya.

Dijelaskan Trisno, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan juga harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat sesuai Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.

Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai kata Trisno, jika presiden dan wakil presiden yang aktif menjabat kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan sangat mungkin menegasi kontestan lainnya.

“Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri,” papar Trisno.

Trisno menambahkan, dari sudut pandang filosofi, presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat, yang mana pada dirinya ada tanggungjawab moral dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk pemilu.

Baca juga: Ini Pembelaan Jokowi setelah Pernyataan Presiden Boleh Memihak Capres Mendapat Kritik Keras

Atas dasar sudut pandang tersebut, maka presiden lanjut Trisno berkewajiban memastikan penyelenggaran pemilu berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.

“Sebuah jabatan publik terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi, pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu, sehingga seharusnya, memang tidak ada aktivitas lain selain yang melekat pada jabatannya,” tegasnya lagi.

Dari sudut pandang etis dan teknis, sambung dia, sumpah jabatan penyelenggaraan negara, termasuk presiden adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945.

Kesetiaan itu, harus diwujudkan dalam segala kegiatannya, meskipun presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved