Pilpres 2024
Putusan MK Terkait Batas Usia Capres-Cawapres Sakiti Hati Rakyat, Pengamat: Jauh dari Rasa Keadilan
Putusan MK terkait syarat usia Capres dan Cawapres dianggap menyakiti hati rakyat disinyalir untuk mengakomodir hasrat politik kepala daerah tertentu.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Junianto Hamonangan
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia Capres dan Cawapres RI dianggap menyakiti hati rakyat.
Keputusan itu disinyalir untuk mengakomodir hasrat politik kepala daerah tertentu untuk mendapat karpet merah sebagai kandidat Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024 mendatang.
Pengamat komunikasi politik nasional Dr. Emrus Sihombing mengkritisi keputusan MK Nomor 90/PPU-XXI/2023 tertanggal 16 Oktober lalu.
Kata dia, keputusan MK justru menimbulkan keprihatinan berbagai kalangan.
“Pengajuan Capres dan Cawapres dari kepala daerah di bawah usia 40 tahun dikabulkan oleh MK, di tengah puluhan gubernur dan ratusan kepala daerah tingkat dua terjerat kasus korupsi. Artinya apa? MK memberikan suatu privilese (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun,” kata Emrus pada Sabtu (21/10/2023).

Hal itu dikatakan Emrus saat diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Gogo Bangun Negeri yang bertajuk ‘Keputusan MK, Adil untuk Siapa”.
Acara ini dihadiri Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus; Jubir TPN Ganjar-Mahfud Tama S. Langkung dan Emrus Sihombing.
Emrus melanjutkan, keputusan MK ini tidak sejalan dengan dasar negara Indonesia yaitu, Pancasila.
Salah satu poin yang dianggap tak sejalan adalah sila ke lima, ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.
Emrus heran, hanya kepada kepala daerah yang boleh menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun.
Padahal anggota legislatif dari DPRD Kota/Kabupaten/Provinsi, DPD, DPR RI hingga Kepala Desa juga dipilih oleh rakyat.
Baca juga: Ketum PBB Yusril Tak Yakin Besok Deklarasi Prabowo-Gibran: Tidak Mungkin Dicampur dengan Hari Santri
“Jadi, keputusan MK berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat karena keputusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam bidang politik demokrasi,” ujar Emrus.
Dia mempertanyakan, langkah MK tersebut karena yang berkontribusi membangun bangsa dan negara tidak hanya kepala daerah.
Tetapi legislatif maupun para dosen, pengusaha, dan sebagainya juga bisa berkontribusi bagi negara.
“Ada dosen di negeri ini masih muda, di bawah 35 tahun sudah doktor dan tulisannya berkualitas internasional. Secara kualitas, dosen tersebut tidak kalah, atau di atas kemampuan dari seorang kepala daerah yang mungkin maju sebagai calon presiden/wakil presiden pada pemilu 2024,” paparnya.
“Perlu kita ingat, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih. Oleh karena itu, keputusan MK tersebut, menurut hemat saya, jauh dari keadilan berdemokrasi bagi setiap WNI,” lanjutnya.
Baca juga: PBB Sepakat Dukung Gibran Cawapres Prabowo, Yusril: akan Dideklarasikan Koalisi Indonesia Maju
Emrus mengingatkan, hakim MK harusnya objektif dalam menentukan putusan.
Jangan sampai karena ada ikatan famili atau hubungan tertentu, mereka justru mendapat perlakuan istimewa dari MK.
“Pemberian privilese terhadap keputusan teman-teman hakim di MK bisa saja publik mempersepsikan bahwa itu merupakan suatu keputusan yang boleh jadi sarat muatan politis untuk kepentingan politik pragmatis sosok tertentu,” ungkapnya.
“Lihat saja, keputusan MK mendapat kritik dari berbagai kalangan, suatu akal-akalan, misalnya. Bahkan sudah muncul diksi di ruang publik ‘Mahkamah Keluarga’ sebagai singkatan dari MK,” sambungnya.
Sementara itu Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menambahkan, keputusan MK berpotensi melanggar konstitusi dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU Nomor 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.
Baca juga: Pakai Kemeja Kotak-kotak, Gibran Hadiri Indonesia Memanggil Gibran di Tugu Proklamasi
Selain itu, lanjut Petrus, Presiden Jokowi, Wali Kota Gibran Rakabuming Raka dan Ketua MK Anwar Usman bisa saja atau berpotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum.
Diketahui, mereka bertiga memiliki hubungan kekeluargaan, Gibran putra pertama Jokowi, sedangkan Anwar Usman ipar Jokowi.
Khusus Anwar Usman dapat diadukan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk diproses atas dugaan pelanggaran etik dan berujung pemecatan.
“Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi tidak sah,” jelasnya.
Jubir TPN Ganjar-Mahfud Tama S. Langkun menilai, putusan tersebut tidak general untuk kaum muda.
Baca juga: Dipilih Jadi Cawapres Prabowo, Pendukung Diminta Bersabar, Gibran: Tunggu Minggu Depan
Putusan MK, kata dia, justru mempermudah pihak tertentu untuk mendapat kesempatan dalam Pilpres 2024.
“Putusan ini bilang begini ‘Berusia pada usia 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah’.
Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan,” kata Langkun.
Dia juga heran dengan Ketua MK Anwar Usman yang dianggap berpihak dengan keponakannya, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Rasa heran itu ketika ada pihak yang mengajukan uji materiil karena kagum dengan Gibran, lantas disetujui oleh MK.
“Ada mahasiswa pengagum Wali Kota Solo, tiba tiba punya legal standing untuk menggugat. Alasannya, karena mahasiswa anak muda, kan tidak ada hubungannya juga. Sebab, yang digugat materi tentang kelapa daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden,” paparnya.
“Jadi, legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan gugatan ke MK, tapi ditolak karena legal standing tidak jelas. Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima,” jelasnya.
Selain itu, putusan ini telah merusak norma-norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi.
Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden/wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden.
“Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden,” pungkasnya. (faf)
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.
Tim Sinkronisasi Prabowo-Gibran Tegaskan Pemangkasan Makan Bergizi Rp 7.500 Cuma Isu |
![]() |
---|
Gibran Mundur dari Wali Kota Solo, Mardani Ali Sera Sebut Perlu Banyak Menyerap dan Siapkan Diri |
![]() |
---|
Menko PMK Muhadjir Sebut Transisi Pemerintahan Jokowi ke Prabowo Sudah Dibahas Dalam Rapat Kabinet |
![]() |
---|
AHY Dukung Prabowo Tambah Pos Kementerian dan Tak Persoalkan Berapa Jatah Menteri untuk Demokrat |
![]() |
---|
Prabowo-Gibran Ngopi Santai di Hambalang, Gerindra: Sangat Mungkin Bahas Format dan Formasi Kabinet |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.