Cak Nun Sakit
Jokowi Jenguk Cak Nun, Rudi 'Kurawa' Valinka Ungkit Kisah Rasulullah SAW saat Jenguk Pembencinya
Rudi Valinka memberikan gambaran sikap Jokowi tersebut dengan peristiwa yang pernah terjadi di masa Rasulullah SAW.
Dari penjelasan di atas, berikut profil Emha Ainun Nadjib dikutip Wartakotalive.com dari gramedia.com
Emha Ainun Nadjib memiliki nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib, merupakan salah satu tokoh keagamaan, penyair, dan budayawan yang terkenal.
Lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 yang berasal dari pasangan M. A. Lathief dan Halimah dan merupakan putra keempat dari lima belas bersaudara.
Ayahnya merupakan pemimpin lembaga pendidikan dan merupakan pengelola TK sampai SMP.
Oleh karena ayah Cak Nun merupakan pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan, Cak Nun merasa malu dan memilih untuk masuk ke sekolah dasar negeri yang tempatnya berada di desa tetangga.
Perjalanannya dalam menempuh pendidikan dimulai dari TK, SD, di mana setamat SD, Cak Nun melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Baca juga: Cak Nun Disebutkan Mulai Membaik, Band Letto hingga Kiai Kanjeng Minta Doa Agar Mbah Nun Cepat Sehat
Tetapi dalam perjalanannya menempuh pendidikan non formal ini tidak sampai diselesaikan oleh Cak Nun karena terdapat masalah di mana Cak Nun dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk melakukan demonstrasi menentang para guru hingga akhirnya Cak Nun dikeluarkan dari pesantren.
Kemudian dari peristiwa tersebut, Cak Nun memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang SMP melalui lembaga pendidikan yang dimiliki oleh ayahnya hingga kemudian Cak Nun mendapatkan ijazah SMP.
Selanjutnya, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SMA di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dengan memilih jurusan Paspal.
Tamat dari SMA, Cak Nun kemudian melanjutkan pendidikannya kembali di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tetapi, dalam jenjang perkuliahannya ini, Cak Nun hanya dapat bertahan selama empat bulan dan tidak melanjutkannya karena pada tahun 1974 Cak Nun mendapatkan musibah di mana ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.
Kegemaran Cak Nun di bidang teater mengantarkan dirinya untuk mengenal sosok Neneng Suryaningsih hingga Cak Nun dan Neneng kemudian menikah.
Neneng Suryaningsih merupakan seorang penari yang berasal dari Lampung.
Cak Nun dan Neneng bertemu ketika keduanya sama-sama aktif dalam kegiatan Teater Dinasti, Yogyakarta.
Awal perjalanannya dalam kepenulisan sudah dimulai sejak akhir tahun 1969. Di mana usia Cak Nun menginjak usia 16 tahun di mana saat itu Cak Nun meninggalkan pendidikan pesantrennya dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.

Kemudian pada tahun 1975 karya-karyanya telah dibukukan. Tulisan-tulisannya telah dibukukan dalam berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, esai, quotes, transkrip, hingga wawancara. Berikut perjalanan prestasi Cak Nun dalam ranah sastra.
Pada tahun 1980 hingga 1990 dengan rentang waktu 20 sampai 30 tahun setelahnya, bukunya masih terus diterbitkan karena dinilai masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia.
Karya-karyanya tersebut banyak terbit dan tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman.
Tak hanya di majalah, karyanya juga terbit sebagai rubrik kolom dan tersebar di surat kabar yakni di Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Surabaya Post.
Dari kumpulan karyanya tersebut menghasilkan buku yang berupa kumpulan esainya yang masuk ke dalam kategori sosial dan budaya.
Konsistensinya berkiprah di dalam dunia sastra dimulainya sejak muda di mana Cak Nun bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra pada tahun 1970 yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta.
Kegiatannya tersebut dimulai ketika Cak Nun menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional.
Tak hanya itu, Cak Nun juga menulis puisi di Majalah Muhibbah yang mana merupakan majalah terbitan UII Yogyakarta dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI.
Dari perjalanannya tersebut, Cak Nun kemudian banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta seperti Horison.
Ketidakpuasannya membuat Cak Nun menghasilkan sajak dan cerpen ringan yang kemudian berlanjut menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembahasan mengenai pameran lukisan. Cak Nun menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja dalam tulisan-tulisannya.
Aktif dalam berbagai festival sastra
Pada tahun 1975, Cak Nun mengikuti sebuah Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978.
Cak Nun juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Lowa University Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda pada tahun 1984, Festival Horizonte >III di Berlin, Jerman pada tahun 1985, dan berbagai pertemuan sastra dan kebudayaan sejenisnya.
Cak Nun pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Masa Kini sampai pada tahun 1977 dan menjadi pemimpin Teater Dinasti, Yogyakarta.
Selain itu, Cak Nun juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta.
Tak hanya itu, Cak Nun juga ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya.
Tak berhenti di situ, Cak Nun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Padhang Mbulan” pada tahun 1995.
Komunitas tersebut dibentuk untuk membentuk sebuah kelompok pengajar.
Cak Nun juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja.
Pada tahun 1979 keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan personil dari grup band Letto.
Namun, usia pernikahannya dengan Neneng tidak bertahan lama hingga keduanya memutuskan untuk bercerai.
Setelah keduanya berpisah, pada tahun 1995 Cak Nun menikah dengan seorang seniman film, panggung, dan penyanyi yang bernama Novia Kolopaking.
Pernikahannya dengan Novia dikaruniai empat anak yaitu Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan yang meninggal di dalam kandungan y
Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Usia Terpaut 19 Tahun, Begini Perjalanan Cinta Cak Nun-Novia Kolopaking, Lamaran Sempat Ditolak |
![]() |
---|
Banyak Beredar Kabar Hoaks soal Kondisi Cak Nun, Begini Update Terkini Keadaan Cak Nun |
![]() |
---|
Pernah Disamakan dengan Firaun, Jokowi Jenguk Cak Nun yang Terbaring Sakit di RSUP Dr Sardjito |
![]() |
---|
Seumur-umur Baru Sekali Dirawat di RS, Begini Kondisi Terkini Cak Nun usai Alami Pendarahan di Otak |
![]() |
---|
Terkini! Kondisi Cak Nun di ICCU RSUP Sardjito, Hanya Istrinya Yang Boleh Menemani |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.