Pemilu 2024

Pemilu 2024, Masyarakat Tolak Sistem Proporsional Tertutup Pilih Proporsional Terbuka, Kata Pengamat

Sistem proporsional tertutup dalam pemilu akan meningkatkan praktik politik uang. Sistem proporsional terbuka lebih pas untuk Pemilu 2024.

Editor: Suprapto
Koleksi pribadi Eman Sulaeman
Sistem proporsional tertutup dalam pemilu akan meningkatkan praktik politik uang. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih pas untuk Pemilu 2024, kata pengamat kebijakan publik Eman Sulaeman Nasihin. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Sistem Pemilu khususnya pemilihan anggota legislatif (Pileg) yang sesuai dengan dinamika dan sistem demokrasi di Indonesia saat ini adalah sistem proporsional terbuka.

Sistem ini melibatkan partisipasi aktif rakyat di berbagai daerah khususnya daerah pemilihan (Dapil) dan menuntut Caleg lebih dekat dengan konstituen. Selain itu, rakyat dapat berperan aktif dalam menentukan secara langsung wakil mereka. 

Demikian pandangan pengamat kebijakan publik Eman Sulaeman Nasihin dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi Wartakotalive.com, Kamis (13/4/2023).

"Sebagian besar masyarakat menginginkan  Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Masyarakat menolak sistem proporsional tertutup," ujar alumni Program Pendidikan Kepemimpinan Strategis Tingkat Nasional/ Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 64 Lemhannas RI ini.

Eman menanggapi sidang lanjutan judicial review terhadap UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini masih berlangsung.

Baca juga: Partai PRIMA Hormati Putusan PT DKI Jakarta, Verifikasi Faktual Berjalan agar Bisa Ikut Pemilu 2024

“Sistem proporsional terbuka menghargai aspirasi rakyat karena mereka diberi kesempatan  menentukan  wakil yang pantas duduk di DPRD maupun DPR," ujarnya. "Wakil rakyat itu ya harus populer dan dikenal  masyarakat."

Sistem proporsional terbuka, katanya, tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan UU mana pun dan partai politik jiuga  tetap berperan. Parpol yang menyeleksi dan menentukan nomor urut kader yang pantas menjadi caleg.

“Jika sistem proporsional tertutup yang diputuskan, otomatis hanya elite partai yang memutuskan. Rakyat hanya dijadikan obyek penderita karena bisa memilih langsung wakil mereka," katanya.

Dosen Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI ini menambahkan,  yang menginginkan sistem proporsional tertutup hanyalah politisi yang malas berjuang  serta enggan bertemu langsung  masyarakat. Mereka hanya akan memanfaatkan jabatan  di struktur partai sehingga mereka bisa ditempatkan di nomor urut 1-3," ujar Eman.

Dia juga menduga money politik dan pelanggaran akan semakin nyata terjadi jika pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup.

“Pelanggaran Pemilu juga banyak terjadi ketika kita menggunakan sistem proporsional tertutup. Lihat saja Pemilu yang dilakukan di masa Orde Baru atau sesudahnya yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Hanya tidak diekspose,”  papar Eman.

 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved