RUU PPRT

Pengamat Minta DPR tidak Politisasi RUU PPRT, karena Berpotensi Benturkan Negara dengan PRT

Pengamat hukum Erna Ratnaningsih minta DPR RI untuk tidak bermain saat pembahasan RUU PPRT, mengingat sudah 19 tahun tertahan.

Editor: Valentino Verry
istimewa
Pengamat hukum Erna Ratnaningsih, yang juga mantan Direktur LBHI, menyoroti pembahasan RUU PPRT di DPR RI yang sangat lama. Dia minta jangan dipolitisasi sebab bisa memecah belah bangsa. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pakar hukum dan mantan Direktur LBHI Dr Erna Ratnaningsih SH, LLM meyakini masalah pembahasan RUU PPRT yang lama tentu memiliki alasan yang kuat.

Namun, dia berharap jangan sampai hal ini dipolitisasi karena berpotensi memecah belah persatuan anak bangsa.

"Saya rasa, penundaan RUU PPRT yang dilakukan DPR punya alasan yang kuat, jangan sampai hal ini kemudian dipolitisasi dan berdampak pada perpecahan bangsa," ujarnya, Kamis (16/3/2023).

"Kita harus menunggu partisipasi masyarakat, baik akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh masyarakat, pemberi kerja maupun para PRT itu sendiri untuk menyempurnakan RUU PPRT yang sedang diproses DPR," bebernya.

Menurut Erna, perlindungan hukum dalam RUU PPRT tidak hanya menjamin kepastian hukum bagi PRT, namun juga bagi pemberi kerja dan penyalur.

Untuk itu, partisipasi seluruh pihak yang terkait diharapkan dapat melahirkan satu Undang–Undang yang mumpuni dan bisa mengayomi dan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, dalam kerangka pencapaian keadilan dan kesejahteraan sebagaimana janji negara.

Baca juga: Puan Maharani tak Mau Sahkan RUU PPRT, LSM: Tega Sekali Menggantung Nasib PRT selama 19 Tahun

Menurut Erna, sebagai negara yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi, Indonesia sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, Indonesia perlu memiliki perhatian yang sama akan perlindungan hukum, keadilan dan jaminan pemenuhan hak warga negara dalam bidang ketenagakerjaan.

Eksistensi UU Ketenagakerjaan saat ini sebagai payung hukum dalam bidang ketenagakerjaan tidak menyentuh pekerja rumah tangga (PRT) yang tergolong sektor informal.

Baca juga: Kisah PRT 18 Tahun Kerja 20 Jam Sehari, Empat Bulan Tidak Digaji Malah Disiksa dan Dilecehkan

Hal ini menyebabkan PRT tak mendapat perlindungan hukum, keadilan dan kesejahteraan.

"Ketiga hal mendasar inilah yang coba dibangun dalam konteks pekerja rumah tangga, melalui kelahiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT),” katanya.

Menurut Erna, perjalanan panjang RUU PPRT menunjukkan alotnya perdebatan pandangan berbagai fraksi yang melingkupi sektor pekerja informal ini.

Seperti diketahui, sejak tahun 2004 UU PPRT sudah dibahas DPR, dan selalu menjadi salah satu RUU Prolegnas di tiap periode, namun gagal dalam proses pembahasannya karena belum ditemukan formulasi yang tepat untuk meminimalkan dampak negatif.

Puluhan PRT menggelar aksi demo di DPR RI beberapa waktu lalu menuntut agar segera disahkan RUU PPRT.
Puluhan PRT menggelar aksi demo di DPR RI beberapa waktu lalu menuntut agar segera disahkan RUU PPRT. (tribunnews.com)

Karena PRT merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tingkat populasi tinggi di Indonesia.

Menurut Erna, saat ini adalah momen yang tepat untuk bersama-sama memberikan masukan bagi penyempurnaan draft RUU PPRT.

"Saat ini kita bisa melihat adanya keseriusan DPR secara kelembagaan untuk menyusun RUU PPRT," ujarnya.

"Dalam rangka penyempurnaan atas Draft RUU tersebut, DPR telah beberapa kali melakukan pembahasan intensif dan mendalam dengan berbagai narasumber yang kompeten di isu pekerja rumah tangga, termasuk Komnas Perempuan, aktivis perburuhan, perwakilan ILO, dan masih banyak lagi," katanya.

"Selain DPR, kita dapat lihat bagaimana pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo terus mendorong agar RUU PPRT ini segera disahkan,” imbuh Erna.

Menurutnya, willingness dari dua lembaga negara, baik dari legislatif dan eksekutif untuk segera melahirkan regulasi yang dapat melindungi pekerja di sektor rumah tangga menunjukkan bagaimana keseriusan Indonesia untuk menguatkan pekerja di sektor pekerjaan ini.

“Kita tentu tahu bahwa pengakuan dan perlindungan pekerja di sektor rumah tangga melalui kelahiran undang-undang akan berimplikasi pada perlakuan negara lain terhadap pekerja migran Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit tersebar di berbagai negara di dunia,” ucapnya.

Setelah mengetahui willingness dari legislatif dan eksekutif, tentu adalah penting melihat kesiapan dari substansi/materi yang ada di dalam RUU PPRT tersebut.

“Menurut saya, tentu dimaksudkan untuk melahirkan satu regulasi yang benar-benar dapat dipergunakan untuk melindungi pekerja, dengan mengedepankan distribusi keadilan yang seimbang, baik antara pekerja, pemberi kerja melalui keagenan serta pemberi kerja langsung misalnya perekrutan langsung pekerja oleh satu keluarga.” tuturnya.

Standar ketenagakerjaan yang diatur dalam Konvensi ILO No.189 untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga setidaknya diatur di dalam 10 hal, yaitu hak dasar pekerja, jam kerja, upah, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, pekerja rumah tangga anak, standar kehidupan pekerja di dalam satu rumah tangga, standar mengenai pekerja rumah tangga migran, keagenan/penyalur PRT, dan mengenai penyelesaian perselisihan.

Standar Konvensi Internasional ini dapat dijadikan pedoman dengan memperhatikan konsep dasar peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berlandaskan Pancasila, mengedepankan HAM, keadilan dan adanya persamaan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Di dalam RUU PPRT yang ada saat ini, masih diperlukan berbagai penyempurnaan, terutama terhadap parameter yang akan dipergunakan dalam menentukan (1) kemampuan pekerja (2) lingkup pekerjaan (3) sistem upah pekerja (4) hak dan kewajiban pekerja (5) waktu istirahat serta (6) ketentuan pidana yang overlapping dengan apa yang diatur di KUHP.

Penyempurnaan menjadi penting untuk dilakukan karena akan berimbas pada kemampuan para pemberi kerja.

Jangan sampai setelah diundangkan, RUU PPRT kemudian menimbulkan adanya gelombang PHK massal sebagai akibat ketidaksanggupan pemberi kerja untuk menerapkan regulasi yang ada.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved